Mohon tunggu...
Arsyad
Arsyad Mohon Tunggu... Guru - cerpen

Nama Arsyad Dengan satu istri dan dua orang anak,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Satu Jalan Lain Alam

11 Desember 2019   08:25 Diperbarui: 11 Desember 2019   08:27 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

SATU JALAN LAIN ALAM

Cerita ini bermula ketika pada malam itu hujan turun begitu derasnya, membasahi jalan desa berbukit yang masih berupa tanah merah tanpa aspal, licin dan berlumpur,jalan sunyi yang dikanan kirinya ditumbuhi pohon-pohon besar dan tinggi khas hutan hujan tropis, kilat bagaikan cambuk api menyala menyambar, langit seakan runtuh dengan suara guntur nyaring menggelegar memekakan gendang telinga. 20.03 jam ditangan kiriku samar terlihat, aku harus cepat sampai di dusun Umbulan, dusun tempat tinggal orang tua ku, berjarak sekitar 30 kilometer dari rumah yang kutempati sekarang.

Ku pacu sepeda motor jadulku, tanpa menghiraukan hujan yang dari tadi membasahi tubuh walaupun sudah menggunakan jas hujan, kuputar perlahan gas ditangan, tapi apa mau dikata, jalan licin berlumpur becek seakan menghalangi ku untuk secepatnya sampai, beberapa kali aku hampir terpeleset jatuh dibuatnya, siang tadi sepulang kerja, masih dalam keadaan lelah, aku mendapati kabar bahwa ayah dan abangku mengalami kecelakaan pada saat mencari rotan di hutan, sebuah pohon hutan besar tumbang tiba-tiba dan menimpa keduanya yang tidak sempat berlari  menyelamatkan diri.

"Besok saja pa kita kerumah ayah, hari nya sebentar lagi terlihat mau hujan" teringat ucapan istriku sore tadi sebelum berangkat, perkataan tulus dari seorang istri, tapi perasaan khawatir terhadap orang tua, teringat jasanya yang membuat aku jadi begini membulatkan tekat ku untuk tetap berangkat walaupun tanpa istriku. Aku fikir biarlah aku berangkat duluan, toh besok pagi istriku masih bisa dijemput  Abdul kemenakan ku.

Hujan mulai mereda, awan gelap mulai berganti dengan sinar rembulan temaram dibalik awan, terlihat jalan dengan genangan air bekas hujan, jalan menuju dusun Umbulan semakin berat, tanah liat merah berlumpur menempel berat diban motor ku, membuat ban sulit untuk berputar dan hingga akhirnya motorku tidak lagi bisa bergerak karena ban muka dan belakang dipenuhi tanah.

Sisa beberapa kilo lagi perjalananku, mustahil rasanya memaksakan sepeda motor jadul terus bergerak dijalan becek berlumpur ini, tanpa fikir panjang kuparkirkan motor jadul ditepi jalan becek berlumpur, kuberi kunci tambahan agar lebih aman, kuputuskan untuk jalan kaki saja menyusuri jalan sunyi menuju rumah orang tuaku.

Tidak lama kemudian...

"Bang Muslim, teriak ku" dari arah yang berlawanan nampak samar terlihat disinari cahaya bulan, Abang Muslim, kaka laki-laki pertamaku yang dikabarkan kecelakaan bersama ayah pada saat mencari rotan di hutan, terlihat jelas kepalanya yang masih diikat perban putih dan tangan kirinya digendong dengan kain kerudung yang diikatkan di leher.

"Katanya Abang kecelakaan, kenapa Abang berjalan sendirian ditempat ini", terasa dingin genggaman tangan Abang Muslim ketika bersalaman, kucium tangan nya yang terlihat berat dan kaku barangkali pengaruh bekas kecelakaan dan cuaca yang baru berhenti  hujan fikirku.

"Aku tidak apa-apa, malahan sekarang sudah lebih baik" jawab Bang Muslim singkat sambil tersenyum menampakan wajah nya yang nampak menggigil kedinginan. "Abah bagaimana Bang?" tanyaku penasaran "Abah tidak apa-apa, Abah yang menyuruhku untuk menjemputmu, dia khawatir terjadi apa-apa dengan mu, karena dia tahu kamu pasti akan datang mendengar peristiwa ini" jawab Bang  Muslim sambil membalikan badan dan berjalan tepat didepanku.

"Syukurlah" ujarku pelan, entah berapa jauh aku dan Bang Muslim telah berjalan, melewati jalan setapak sunyi, becek dan berlumpur, tidak ada kata-kata lagi yang terucap baik dari bibirku ataupun Bang Muslim. Cepat juga jalannya Bang Muslim gumamku, seperti tidak terjadi apa-apa  saja dengan nya, hampir-hampir kewalahan aku mengikutinya.

Dari jauh terlihat kerlap-kerlip cahaya lampu dari rumah-rumah penduduk di desa Umbulan, itu tandanya perjalanan ku sudah tidak jauh lagi. Desa yang dihuni hanya beberapa KK, desa yang sederhana. Mayoritas penduduk pekebun dan pencari rotan di hutan. Tapi akhir-akhir ini hutan sudah mulai tidak bersahabat terhadap penduduk desa.

Kerap terjadi longsor seiring tibanya musim penghujan, akibat ilegal logging yang dilakukan perusahaan tanpa izin, segelintir oknum yang mencari keuntungan pribadi, tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dan alam sudah beberapa kali kejadian longsor yang mengakibatkan korban, dan aku juga yakin, tumbangnya pohon yang menimpa ayah dan abangku juga akibat longsornya tanah dihutan.

"Kita sudah sampai, kau masuk sajalah dulu, temui abah, aku mau kesungai mencuci kaki" ucapan Bang Muslim mengagetkan ku, rumah sederhana berdinding papan kayu hutan, beratapkan daun, tempat aku menghabiskan waktu dimasa kecil, bersenda gurau dengan Bang Muslim. Perlahan aku berjalan mendekati rumah, terlihat beberapa penduduk memakai baju gamis dan mengenakan peci duduk diteras rumah.

Dari luar sayup ku dengar, lantunan ayat suci yang dibacakan oleh beberapa orang bersamaan, terlihat jelas ditengah rumah, diterangi bohlam pijar, satu tubuh terbujur kaku menghadap kiblat ditutup sarung batik tak berjahit, disebelah kanan jasad ku lihat Abdul yang tersedu menangis memanggil "ayah". Tubuhku sejenak kaku tak bergerak, tidak percaya dengan apa yang kulihat, kejadian sepanjang jalan bersama Bang Muslim, kucoba melangkahkan kaki yang terasa berat, memasuki rumah yang lantainya sudah mulai lapuk, mataku menyapu kesetiap sudut rumah,terlihat ayahku dengan mata sembab, duduk bersandar di dinding rumah, kaki yang diperban, memandangku sayu.

Perlahan ku buka penutup jasad, dan seperti dugaan ku, Bang Muslim, sejenak fikirku menerawang tidak jelas, mengingat kejadian barusan, siapa lelaki yang menjemputku di jalan sunyi becek berlumpur? Siapa lelaki yang kepalanya diperban dengan tangan yang digendong di leher? Siapa yang baru saja berjalan beriringan dengan ku?

Mataku memandang Abdul, anak lima tahun, kurus berambut ikal yang tidak henti menangis, kasian sekali kau nak, baru dua bulan yang lalu kau ditinggal ibumu, sekarang ayahmu, yatim piatu sekarang kau Abdul. Tidak terasa air mata ku mengalir deras memandang Abdul dan tubuh kaku Bang Muslim.

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun