Mohon tunggu...
Abid Dzikrulloh
Abid Dzikrulloh Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang pemikir dan penulis yang haus akan pengetahuan,hobi membaca,mendengarkan dan berolahraga

Selanjutnya

Tutup

Politik

Berdemokrasi Tidak Cukup Hanya dengan Mencoblos

28 Juni 2024   15:24 Diperbarui: 28 Juni 2024   17:58 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia adalah negara demokrasi, dimana salah satu wujud demokrasinya adalah diadakannya pemilu. Dalam hal demokrasi, rakyat biasanya mengartikan aktif dalam demokrasi hanya cukup dengan ikut mensukseskan pemilu, itu tidak salah, namun tidak cukup hanya sampai disitu, rakyat seharusnya juga aktif dalam mengawasi dan mengkritisi setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh para wakil-wakil rakyat (pemerintah) yang telah dipilih melalui pemiliu tersebut. 

Hal ini perlu dilakukan agar kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak merugikan rakyat, dan juga hak-hak rakyat/warga negara yang diberikan negara dapat terpenuhi, sehingga kesejahteraan rakyat dapat terjamin. Jika rakyat tidak aktif dan tidak kritis terhadap kebijakan pemerintah dikhawatirkan akan timbul banyak dampak negatif. Dampak negatif tersebut antara lain :

  • Terjadinya praktek korupsi,kolusi dan nepotisme (KKN)
  • Timbul ketimpangan dalam warga negara ( warga negara kelas satu (elite) dan warga negara kelas 2 (biasa))
  • Rakyat yang mudah dimanipulasi dengan uang (money politik)
  • Penyelahgunaan dan penyelewengan kekuasaan.

Mengenai terjadinya praktek korupsi,kolusi dan nepotisme (KKN). Jika rakyat tidak aktif dan kritis terhadap pemerintah maka akan banyak ditemui oknum pemerintah yang dengan wewenngnya membuat kebijakan yang dapat menghasilkan keuntungan pribadi.

Timbul ketimpangan dalam warga negara ( warga negara kelas satu dan warga negara kelas dua ). Timbulnya ketimpangan ini menyebabkan warga negara terpecah menjadi dua, yaitu : warga negara kelas satu (elite), dan warga negara kelas dua (biasa). Ketimpangan yang timbul ini menyebabkan terjadinya ketidak adilan pelayanan pemerintah, dimana rakyat elite akan mendapatkan pelayanan yang mudah dan cepat, sedangkan rakyat biasa mendapatkan pelayanan yang sulit dan lama.

Rakyat yang mudah dimanipulasi dengan uang (money politik). Sikap tidak kritis dan ketidaktahuan rakyat ini menyebabkan mereka dengan mudahnya mau menerima uang sebagai agenda politik. Hal ini lumrah terjadi karena biasanya rakyat miskin sibuk bertahan hidup sehingga tidak terlalu peduli pada hal politik dan pemerintahan.

Penyelahgunaan dan penyelewengan kekuasaan. Pejabat yang memiliki jabatan tinggi akan mudah mendapatkan akses tertentu dengan kekuasaannya tersebut, bahkan keluarga dan kenalannya juga akan dapat merasakannya dengan menggunakan nama besar pejabat tersebut.

Dari sini seharusnya membuat kita sadar akan betapa pentingnya sikap kritis tersebut. Upaya dan solusi yang dapat kita lakukan agar tumbuh sikap aktif dan kritis yaitu melalui pendidikan dan penguatan ekonomi. Dalam pendidikan yaitu dengan cara memberi pengajaran kepada siswa mengenai hak-hak warga negara, dan kewajiban negara terhadap warga negara. 

Dengan begitu maka kelak akan menumbuhkan sikap kritis kesejahteraan mereka tidak terpenuhi dengan baik. Untuk mendorong warga negara yang aktif dan kritis penguatan ekonomi juga perlu di perhatikan, agar jika ekonomi mereka kuat mereka tidak lagi hanya sibuk bertahan hidup, tetapi juga turut aktif dalam mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah.

Kritik-mengkritik merupakan sebuah hal yang lumrah di negara demokrasi. Pun demikian di negeri ini, kritik leluasa menjadi bunga-bunga yang mengharumkan demokrasi. Kritik terkadang terasa pahit, tetapi kritik sangat dibutuhkan untuk menyehatkan dalam pengelolaan negara. Tanpa kritik, pemerintah yang memiliki segala sumber daya dan kuasa rentan untuk menyimpang dari jalan kebenaran. 

Tanpa kritik, pemerintahan yang muncul melalui proses demokrasi pun dapat berpotensi menjadi otoriter. kebebasan berpendapat dilindungi oleh undang-undang dasar 1945, yaitu pasal 28 E ayat 3 “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Aktif dan kritis terhadap kebijakan pemerintah haruslah dibarengi dengan memberikan pendapat dan saran yang tepat mengenai masalah yang bersangkutan. Tujuannya agar antara pemerintah dan rakyat terjadi keseimbangan, dimana pemerintah dengan lapang dada menerima kritik dan saran tersebut juga rakyat yang merasa dihargai dan dilindungi pendapatnya tersebut.

Setiap orang bebas memberikan kritik kepada pemerintah yang lagi berkuasa. Dan berlaku juga kepada siapapun yang berkuasa, kita harus melawannya jika mereka memanfaatkan tangan-tangan hukum untuk membungkam kritik.

Kritikan memang dibutuhkan, tapi mengkritik juga butuh pengetahuan rambu-rambu hukum, yakni mengetahui dasar esensi kritik itu sendiri, karena kritik jelas berbeda dengan melecehkan.

Kritik jelas tak sama dengan mencemarkan nama baik, menabur kebencian apalagi menghasut. Bebas melontarkan kritik tentu tak sama dengan sebebasmya mengkritik hingga melanggar pasal-pasal pidana, bahkan menghina lalu berlindung di balik kebebasan untuk mengkritik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun