Mohon tunggu...
Abit Sabita
Abit Sabita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ekonomi Syariah Universitas Alma Ata

Kadang suka menganalisis suatu objek yang dilihat oleh mata dan apa yang didengar oleh telinga

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Beratnya Beban Kerja pada Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024

15 Februari 2023   18:01 Diperbarui: 15 Februari 2023   18:00 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Doc. proses pemilu di TPS 

Menurut Yamin, Ilham dkk, Pemilu merupakan sebuah konsep dari demokrasi prosedural dan juga merupakan salah satu cara terkuat pada rakyat agar melaksanakan demokrasi kontemporer. Indonesia sebagai Negara demokrasi, seyogyanya melakukan pemilihan pemimpin secara periodik dan berkesinambungan, yang mana pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan 5 tahun sekali. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemda (Pilkada) dalam Pasal 24 ayat (5) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu pasangan pada daerah yang bersangkutan. Pilkada langsung sudah dilaksanakan semenjak tahun 2005 sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 dengan berlandaskan pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menetapkan bahwasanya Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih melalui sistem demokratis.

Pemilu Paralel 2024 adalah sebuah proses pemilihan yang menggabungkan tahapan pemilu serentak model "borongan" atau lima kotak dengan Pemilukada Serentak di sejumlah provinsi dan/atau kabupaten kota. Tahapan yang berhimpit bisa menyebabkan beban kerja penyelenggara dan kelelahan prosedural dalam pemilu yang bisa berdampak pada meningkatnya kasus-kasus laporan pelanggaran etik oleh penyelenggara pada Pemilu Paralel 2024 mendatang. 

Terdapat pro dan kontra di Komisi II DPR dalam rencana revisi Undang-Undang Pemilihan Umum (Pemilu) Nomor 7 Tahun 2017. Revisi tersebut mengatur tentang normalisasi Pilkada pada 2022 dan 2023. Namun, mengacu pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada), dalam UU tersebut pemilihan kepala daerah dilaksanakan berbarengan dengan Pemilu nasional yaitu pada tahun 2024.

Salah satu masalah yang disoroti dari revisi undang-undang ini adalah beban berat bagi penyelenggara pemilu yang harus menyelenggarakan pemilihan dengan tujuh jenis pemilu pada tahun yang sama (2024), yakni pemilihan presiden, pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota, Pemilihan Gubernur, dan Pemilihan Walikota/Bupati. Apabila pemilu besar dijadikan satu dalam kurun waktu 9 bulan di tahun yang sama, maka akan mempersulit penyelenggara pemilu dan berpotensi membuat penyelenggara pemilu menjadi tidak dapat melakukan pekerjaannya dengan maksimal dan tentunya akan berdampak kepada kualitas yang ada bagi penyelenggaraan pemilu.

Beban kerja yang bertambah dan waktu istirahat yang singkat seperti pada pilkada serentak 2019 masih menjadi kekhawatiran petugas KPPS. Hal ini sejalan dengan tanggapan dari salah satu petugas KPPS pilkada serentak 2019. Umi (28), yang pernah menjadi anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) di Bekasi, bercerita pengalamannya saat perhelatan Pemilu dan Pilkada pada 2019 sangat melelahkan. Waktu untuk beristirahat pun, menurut Umi sangat singkat.

"Untuk beban tugas sebenarnya tidak berat karena dikerjakan bersama-sama, cuma menjadi berat karena istirahat terbatas, peserta banyak dan memang tidak bisa istirahat lama-lama," kata Umi, Senin (1/2).

Himpitan target waktu, jumlah peserta yang banyak, kertas-kertas suara, juga dianggap Umi menjadi faktor tugas KPPS saat pemilu serentak 2019, banyak yang tumbang kelelahan. Umi mengaku sangat kelelahan bertugas sejak pukul 7 pagi sampai 12 malam, dengan waktu istirahat yang sangat hemat.

"Kondisi saya masih lebih baik, ada petugas KPPS bagian distribusi kotak suara baru selesai jam 2 dini hari," cerita dia.

Jika dapat memilih, ibu dari calon dua anak ini berharap agar Pilkada tidak dilakukan pada 2024, melainkan 2022.

Harapan Umi juga diaminkan Ali (28) yang menjadi petugas KPU wilayah Jakarta Utara. Kendati tahun tersebut DKI Jakarta tidak melaksanakan pemilihan gubernur, target waktu menyebabkan tugas sangat berat. Ia pun memilih agar Pilkada dilakukan pada 2022 dibanding 2024.

"Kalau diserentakan tahun 2024 bakal lebih berat terhadap psikologis penyelenggara," kata Ali.

Hal lain yang menambah berat tugas menurut Ali adalah persiapan logistik yang sangat banyak, karena kertas surat suara untuk Pilgub, Pileg, dan Pilpres. Belum lagi jika terdapat sela terhadap pengawasan.

Ali juga sepakat bahwa himpitan target waktu perhelatan Pemilu sangat berdampak terhadap fisik, dan psikis petugas.

"Waktu 2019 di tingkat kecamatan yang saya alami sangat berat sekali khususnya di fisik, fikiran, dan waktu yang sangat mepet," ujarnya.

Salah satu petugas KPPS lainnya, Dimas, bercerita KPPS bekerja sehari sebelum pemungutan suara dilakukan dan penghitungan suara berakhir pukul 24.00 WIB di hari yang sama dengan pemungutan suara. Selanjutnya, KPPS masih harus menyalin formulir berita acara pemungutan dan penghitungan suara sampai dengan pukul 02.00 dini hari bahkan ada yang selesai pukul 06.00 keesokan harinya. Dimas berharap beban kerja di Pemilu 2019 tidak terulang lagi pada Pemilu Serentak 2024 dan lebih manusiawi. Pengalaman Dimas tersebut bisa jadi terulang kembali oleh penyelenggara lainnya apabila model keserentakan Pemilu dan ketentuan tidak berubah.

Selain itu seperti yang kita ketahui, tingginya beban kerja penyelenggara Pemilu di tingkat TPS sangat berdampak pada petugas KPPS. Bahkan tidak sedikit yang akhirnya meninggal dunia karena kelelahan atau sebab lainnya pada saat Pemilu 2019, dah hal ini pasti akan berimbas pada keengganan masyarakat menjadi petugas TPS pada pemilu mendatang.

Peneliti Senior LIPI, Syamsuddin Haris melihat Pemilu Serentak 2019 tidak semata-mata terkait keserentakan Pemilu tetapi pada pengaturan durasi waktu pemungutan suara dan penghitungan suara di TPS oleh KPPS. Menurutnya, pembentuk UU semestinya dapat menghitung potensi kerumitan dan beban KPPS sehingga tidak memaksakan pemungutan dan penghitungan suara dalam waktu satu hari.

Syamsuddin menegaskan, salah satu sumber permasalahan tragedi kemanusiaan penyelenggara Pemilu dan kesulitan Pemilih pada Pemilu Serentak 2019 adalah penumpukan lima surat suara dalam satu waktu bersamaan serta implementasi sistem proposional terbuka dengan 16 (enam belas) Partai Politik Peserta Pemilu.

Sejalan dengan hal tersebut, Anggota Divisi Teknis Penyelenggara KPU Provinsi Jawa Tengah, Putnawati memandang beban kerja petugas KPPS menjadi salah satu potensi masalah yang akan dihadapi dalam keserentakan Pemilu 2024. Hal ini disampaikan pada diskusi Rabu Ingin Tahu yang diselenggarakan KPU Provinsi Jawa Tengah secara daring belum lama ini.

Menurutnya, perlu ada penyesuaian mekanisme kerja sehingga masalah beban kerja penyelenggara dapat diminimalisir. Tidak adanya jaminan kesehatan bagi penyelenggara dengan beban kerja yang berat dalam Pemilu Serentak, menurut Putnawati juga menjadi potensi masalah.

Ahli Hukum Tata Negara, Topo Santoso menegaskan perlu adanya jaminan keselamatan, kesehatan dan pemberian beban kerja yang manusiawi bagi seluruh pihak yang bekerja dalam pemilu, khususnya petugas Pemilu. Pengoptimalan teknologi dalam proses pemilu terutama pada penghitungan dan rekapitulasi suara menjadi salah satu pilihan menyelesaikan persoalan beban kerja petugas itu.

Beratnya beban kerja menjadi salah satu problematika pemilu serentak yang akan diadakan pada tahun 2024 mendatang. Beberapa ahli dan petugas KPPS sebelumnya juga telah menkhawatirkan beban kerja pada pemilu selanjutnya. Apabila tidak ada perubahan ditakutkan permasalahan seperti kelelahan petugas hingga tragedi kematian yang terjadi pada pemilu serentak 2019 akan terulang kembali.

Oleh karena itu diharapkan pemerintahan yang terkait bisa mempersiapkan dan merencanakan penyelengggaraan pemilu serentak mendatang agar tidak terulan kembali tragedi seperti yang sebelumnya.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun