Mohon tunggu...
Abi Callysta
Abi Callysta Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang Pemula Yang Ingin Belajar Menulis

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sebuah Karya Fenomenal dari Penjara Kini Nangkring di Toko Buku Amazon

16 November 2012   15:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:14 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adalah seorang maestro sastra fenomenal bernama Pramodya Ananata Toer (lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 – meninggal di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun).Ada beberapa istilah dalam menamankan tetralogi karya sang maestro ini, Mulai dari Tetralogi Bumi Manusia, ada yang menamakan Tetralogi Pulau Buru, ada yang menyebutkan Tetralogi Buru merupakan empat seri roman yang mengungkapkan sejarah bagaimana terbentuknya Nasionalisme Indonesia pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke-20 (kurang lebih tahun 1898 – 1918). Pada masa ini menurut para ahli sejarah sedang berlakunya politik etis, awal masuknya pemikiran rasional ke Hindia Belanda, dan awal pertumbuhan organisasi-organisasi modern sebagai periode terbentuknya Kebangkitan Nasional. Tetralogi Pulau Buru pernah dilarang peredaraannya oleh Jaksa Agung Indonesia selama beberapa masa dengan tuduhan mempropagandakan ajaran atau paham Lenimisme, Marxis serta Komunisme.

[caption id="attachment_216701" align="aligncenter" width="1366" caption="Amazon Store Pramodya Ananta Toer Screen Shot Dokumen Pribadi"][/caption]

Tetralogi Pulau Buru terdiri dari Roman Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Cerita yang tertuang di masing-masing buku tersebut mungkin bisa juga disebut atau tergolong novel semi-fiksi. Tokoh utama Tetralogi Pulau Buru adalah Minke, nama samaran dari seorang tokoh pers generasi awal Indonesia yaitu Raden Mas Tirto Adhi Soerjo (RM TAS). Roman tersebut memang mengisahkan perjalanan hidup RM TAS, tapi sejauh mana apakah sesuai dengan kisah nyata sepenuhnya, barangkali hanya penulis dan RM TAS saja yang bisa menjawab hal itu.

Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu maestro yang fenomenal Indonesia, Dia dicaci dan di puji. Dicaci karena dianggap menyebarkan faham komunisme sedangkan di puji pernah mendapatkanRamon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" pada masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.

Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.

Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.

Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada zaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.

Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya pada masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.

Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran.

Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka. Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan fasilitas yang lumayan - apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya akan menjadi 'bintangnya'

kelahiran Blora Jawa Tengah. Pernah berkarier di bidang militer dan pernah tinggal di Belanda pada 1950-an. Pernah pula bergabung dengan Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Pramoedya Ananta Toer pernah menjadi tahanan politik selama 3 tahun pada masa kolonial, dan 1 tahun pada masa Orde Lama (karena friksi dengan pemerintahan Soekarno, karya ttg korupsi). Lalu selama masa Orde Baru, Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan. Ketika ditahan pada Agustus 1969 - 12 November 1979 di Pulau Buru, Tetralogi Pulau Buru dimulai pembuatannya. Awalnya hanyalah cerita lisan, lalu kemudian setelah bebas dari penjara mulai dicetak dalam bentuk buku.

1.Bumi Manusia

Bumi Manusia sebagai periode penyemaian dan kegelisahan dimana Minke sebagai aktor sekaligus kreator adalah manusia berdarah priyayi yang semampu mungkin keluar dari kepompong kejawaannya menuju manusia yang bebas dan merdeka, di sudut lain membelah jiwa ke-Eropa-an yang menjadi simbol dan kiblat dari ketinggian pengarahuan dan peradaban. Minke adalah seorang pelajar pribumi anak seorang Bupati. Tetapi Minke sama sekali tidak berkeinginan menjadi bangsawan. Bumi Manusia menceritakan bagaimana perjalanan hidup Minke hingga menikah dengan Annelis, anak dari Nyi Ontosoroh.

2.Anak Semua Bangsa

Anak Semua Bangsa adalah periode observasi atau turun ke bawah mencari serangkaian spirit lapangan dan kehidupan arus bawah pribumi yang tak berdaya melawan kekuatan raksasa Eropa. Di titik ini, Minke diperhadapkan antara kekaguman yang melimpah-limpah pada peradaban Eropa dan kenyataan di selingkungan bangsanya yang kerdil. Sepotong perjalanannya ke Tulangan Sidoarjo dan pertemuannya dengan Khouw Ah Soe, seorang aktivis pergerakan Tionghoa, korespondensinya dengan keluarga De la Corix (Sarah, Miriam, Herbett), teman Eropanya yang liberal, dan petuah-petuah Nyai Ontosoroh, mertua sekaligus guru agungnya, kesadaran Minke tergugat, tergurah, dan tergugah, bahwa ia adalah bayi semua bangsa dari segala jaman yang harus menulis dalam bahasa bangsanya (Melayu) dan berbuat untuk manusia-manusia sebangsanya.

3.Jejak Langkah

Jejak Langkah adalah fase pengorganisasian perlawanan. Minke memobilisasi segala daya untuk melawan bercokolnya kekuasaan Hindia yang sudah berabad-abad umurnya. Namun Minke tak pilih perlawanan bersenjata. Ia memilih jalan jurnalistik dengan membuat sebanyak-banyaknya bacaan Pribumi. Yang paling terkenal tentu saja Medan Prijaji. Dengan koran ini, Minke berseru-seru kepada rakyat Pribumi tiga hal; meningkatkan boikot, berorganisasi, dan menghapuskan kebudayaan feodalistik. Sekaligus lewat langkah jurnalistik. Minke berseru-seru : “Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan.”

4.Rumah Kaca

Rumah Kaca adalah seri yang paling berbeda dari ketiga seri sebelumnya. Karena sudut pandang orang pertama si penulis adalah bukan lagi Minke. Minke yang akhirnya diasingkan di pembuangan tak bisa berjuang lagi. Seorang pribumi yang berhasil menyingkirkan Minke bernama Jacques Pangemanann. Melalui Rumah Kaca inilah kemudian Tuan Pangemanann menceritakan kisah selanjutnya dari perjalanan hidup seorang Minke. Rumah Kaca memperlihatkan usaha kolonial memukul semua kegiatan kaum pergerakan dalam sebuah operasi pengarsipan yang rapi. Arsip adalah mata radar Hindia yang ditaruh di mana-mana untuk merekam apa pun yang digiatkan aktivitas pergerakan itu.

Adapun Etalase di amazon store bisa di lihat disini

Sumber:http://nurrahmanarif.wordpress.com/2012/01/03/tetralogi-pulau-buru/

http://id.wikipedia.org/wiki/Pramoedya_Ananta_Toer

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun