Unjuk rasa pengemudi taksi konvensional yang berakhir ricuh dan diwarnai tindakan anarkis di Jakarta, 22 Maret 2016 lalu mengingatkanku pada seorang pengemudi taksi yang bukan hanya ramah, tapi juga cerdas, romantis dan inspiratif.
Adalah Pak Sugeng, ayah dari dua orang anak asal Purwokerto ini yang aku maksudkan. Beliau pernah mengantar dari Citeureup ke tempat tinggal kami di Harapan Jaya, Cibinong. Beliau satu-satunya yang bersedia mengantar kami ketika tiga orang yang sebelumnya kutemui menolak, memilih bertahan di pangkalan hanya karena jarak tujuan yang dekat sehingga di mata mereka sewanya tak seberapa.
“Bagi saya, jauh atau dekat tidak masalah. Saya berusaha untuk tidak pilih-pilih penumpang. Selama saya tahu jalannya, atau calon penumpang tahu alamatnya, insya Allah saya bersedia mengantarnya. Soal sewa, besar kecil tetaplah rejeki. Yang utama bukan jumlahnya, tapi berkahnya.” Beliau menanggapi ceritaku tentang supir taksi yang menolak saat mengantar penumpang jarak dekat.
“Beberapa teman sering meledek saya sebagai spesialis penumpang jarak dekat. Memang begitu faktanya, beberapa pengemudi memilih bertahan di pangkalan ketimbang mengantar penumpang dengan tujuan dekat. Tidak jarang, ketika saya sudah bolak-balik ke pangkalan, beberapa taksi masih terparkir di tempatnya, dan sang pengemudi masih duduk merokok sambil minum kopi, main catur atau tidur-tiduran sambil menunggu calon penumpang yang diidamkan. Yang terjadi justru sewa kecil melayang, sewa besar tak kunjung datang.” panjang lebar ia menambahkan.
Keluarga menjadi topik obrolan kami selanjutnya. Dan kisah laki-laki yang sudah lima tahun berikhtiar menjemput rejeki dengan menjadi pengemudi taksi ini sungguh membuatku terkesan. Menurutku dia salah satu suami dan ayah romantis yang pernah kutemui.
“Saya terakhir pulang kampung Ramadhan kemarin. Seperti tahun-tahun sebelumnya, begitu bulan Ramadhan tiba, saya ‘cuti’ sementara dari membawa taksi. Lebaran hari kedua atau ketiga saya baru balik lagi ke sini.”
“Bukannya selama bulan puasa apalagi menjelang lebaran biasanya sewa taksi lagi banyak-banyaknya?” aku penasaran dengan cerita laki-laki yang langsung akrab di pertemuan pertama ini.
“Memang, tapi ini sudah jadi semacam kesepakatan tak tertulis antara saya dengan istri dan anak-anak. Di luar bulan Ramadhan jadwal pulang saya tidak pernah tetap. Kadang dua atau tiga bulan sekali, tapi jika ada hal-hal mendadak atau mendesak, sewaktu-waktu saya bisa pulang. Alhamdulillah, pekerjaan saya memungkinkan untuk itu.”
Sejenak Pak Sugeng menghentikan ceritanya, beliau fokus mengemudikan kendaraannya, memutar arah di depan pusat perbelanjaan di area Pasar Cibinong.
“Ramadhan selalu istimewa bagi saya dan keluarga. Bulan Ramadhan hingga tiba hari lebaran saatnya bagi kami menikmati suasana keluarga yang seutuhnya. Puasa dan ibadah di tengah-tengah keluarga jauh lebih terasa indah dan nikmatnya.” lanjutnya.
Aku diam, tak tahu harus berkomentar apa. Seratus persen aku sepakat dan sependapat dengan yang dikatakannya.
“Siapa yang pertama punya ide, Pak Sugeng, istri atau anak-anak yang minta?”
“Awalnya istri saya yang minta, saya menyetujuinya. Dan anak-anak langsung senang begitu mendengarnya. Bagi mereka, kepulangan saya sudah menjadi hadiah spesial di hari raya. Dan saya bahagia bisa melakukannya, menghadirkan senyum dan ceria di wajah-wajah mereka. “
Subhanallah, apa yang dikatakan Pak Sugeng benar, aku membatin. Apa yang dilakukannya adalah romantisme sejati.
“Tadi Pak Sugeng bilang sudah lima tahun menjemput rejeki dengan cara ini. Kira-kira sampai kapan Bapak akan menjalani profesi seperti ini? Keluarga menempati prioritas utama bagi Bapak, saya kira Bapak tidak akan berlama-lama terpisah dari mereka,” tanyaku semakin penasaran. Kurang dari satu kilometer kami akan sampai di tujuan dan aku berharap bisa lebih banyak mendapat pembelajaran darinya.
“Betul. Saya tidak akan selamanya seperti ini, hidup terpisah dari keluarga, menjadi supir taksi. Insya Allah, dua tahun lagi taksi ini akan menjadi milik pribadi. Setoran harian yang saya serahkan ke kantor sekaligus sebagai cicilan. Jika tidak ada halangan, dua tahun lagi jumlahnya sudah cukup untuk merubah status kepemilikan kendaraan ini.”
“Bapak akan membawanya pulang kampung, buka usaha di sana?" “Tidak. Saya justru berencana untuk langsung menjualnya.”“Maksudnya?” aku makin penasaran. “Saya berencana pensiun jadi supir taksi. Saya akan beralih profesi. Berdagang menjadi pilhan saya dan istri. Uang hasil dari menjual taksi ini akan kami pakai untuk membuka warung sembako kecil-kecilan di kampung. Mudah-mudahan Allah membuka dan memudahkan jalan.”
“Amiin,” kompak kami mengaminkan doanya. “Dengan pengalaman yang ada, kalau Bapak mau bisa menjalani usaha yang sama di sana. Jumlah taksi di Purwokerto mungkin tidak sebanyak di Jakarta, jadi peluangnya bisa lebih besar di sana.” Aku menambahkan.
“Sepertinya cukup di sini saja saya bekerja seperti ini. Setelah pulang kampung, saya akan menggunting SIM saya.” Jawabnya sambil tertawa.
“Seperti pemain bola yang menggantungkan sepatunya, atau petinju yang menggantungkan sarung tinjunya?” aku ikut tertawa.
“Bisa dibilang begitu. Tapi alasan sebenarnya begini. Saya ingin benar-benar fokus ke dagang. Dan salah satu trik saya adalah dengan menggunting SIM agar saya tidak 'tergoda' untuk kembali lagi ke jalan. Cara seperti ini telah dilakukan salah satu teman saya. Kini dia sukses dengan dagang sembakonya. Bahkan dia juga mempunyai beberapa kendaraan yang disewakan. Bukan tak bisa membuat SIM lagi, tapi sengaja ia percayakan kepada orang lain untuk mengelola mobil-mobil sewaannya. Ia dan istrinya fokus ke dagang dan keluarga. Walau mungkin kelak ceritanya tidak sama, tapi saya akan meniru caranya sebagai upaya agar saya bisa fokus pada usaha yang dijalani tanpa harus jauh lagi dari keluarga.”
Subanallah! Tak lebih dari dua puluh menit kebersamaan kami tapi begitu banyak pelajaran yang aku dapat dari pria sederhana dan bersahaja ini. Ia seorang yang cerdas dalam menjemput rejeki. Bukan jumlah yang utama, tapi berkah yang dicarinya. Ia tak pilih-pilih calon penumpang, jauh ataupun dekat tidak masalah. Walaupun sewanya relatif kecil, tapi jika sering hasilnya bisa melebihi yang yang lain, yang hanya mau mengambil sewa yang jauh, padahal yang besar belum tentu datang, yang kecil kerapkali melayang. Dan mengenai keluarga, menurutku dia suami dan ayah yang romantis. Meninggalkan sementara pekerjaan agar bisa menjalankan ibadah bersama keluarganya adalah salah satu buktinya. Dan rencananya untuk menggunting SIM agar bisa fokus dengan usaha barunya bisa menjadi inspirasi totalitas dalam berkarya. Walau dua, tiga pekerjaan bisa dilakukan dalam satu kesempatan, namun seringkali hasilnya lebih maksimal jika ada yang diprioritaskan.
Terima kasih, Pak Sugeng. Ketika beberapa orang tak mampu mengendalikan emosi, aku harap dan aku yakin Bapak tak ada di tengah-tengah pengunjuk rasa itu. Aku percaya Bapak lebih tahu mana yang terbaik untukmu, juga keluargamu. Tak akan tertukar rejeki yang sudah Allah siapkan, walau jumlah orang yang menjalani profesi serupa terus bertambah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H