"...kretek itu tidak ada di AS, tidak ada di Eropa, atau negeri-negeri lain. Hanya ada di sini, khas Indonesia," (Mark Hanusz, penulis buku Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia's Clove Cigarettes)
Rokok umumnya berbahan baku utama tembakau. Tetapi kretek berbeda. Selain tembakau, ia juga berbahan baku utama cengkeh. Elemen cengkeh itu menjadikannya unik. Tidak ada satu pun rokok di dunia yang mencampur tembakau dengan cengkeh, kecuali kretek. Dari elemen cengkeh itu pula nama kretek tercipta. Ketika dibakar, irisan-irisan bunga (biji) cengkeh mengeluarkan suara "keretek...keretek", untuk mempermudah orang lalu menyebutnya "kretek".
Konon, cerita kretek bermula dari Kudus, Jawa Tengah. Waktu itu, sekitar akhir abad ke-19, Haji Djamari merasa sakit di bagian dada. Untuk mengobati sakitnya, ia mengoleskan minyak cengkeh. Rasa sakitnya berkurang. Ia bereksperimen lebih lanjut, mengiris cengkeh sampai halus, mencampurnya dengan tembakau, lalu dibungkus daun jagung. Dengan menghisap "rokok obat" itu sakit di dada Haji Djamari ternyata makin membaik. Berita ini cepat tersebar luas. Permintaan bermunculan. Dari situlah ia mulai memproduksi kretek secara rumah tangga.
Sampai wafat Haji Djamari belum sempat meraup kekayaan dari kretek. Adalah Nitisemito, seorang buta huruf, warga Kudus juga, yang dipercaya pertama kali mengembangkan bisnis kretek. Ia mendirikan Tjap Bal Tiga. Usahanya maju pesat sampai mampu mempekerjakan ribuan orang dan memproduksi jutaan batang kretek per hari. Pemasarannya mencakup Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, bahkan sampai ke Belanda.
Perselisihan ahli waris, munculnya makin banyak pesaing serta pecahnya Perang Dunia II membuat Tjap Bal Tiga tersungkur. Merek-merek lain kemudian menggantikan, dari mulai Djamboe Bol, Djarum, Sukun, Minak Djinggo, sampai belakangan Sampoerna, Bentoel, dan Gudang Garam.
Dari cerita Haji Djamari dan Nitisemito, siapa sangka kisah kretek menjelma bak dongeng kejayaan nusantara:
Kretek tak tertandingi di kandang sendiri dengan menguasai 93% pasar rokok. Di pasar internasional kretek menembus puluhan negara dari Asia, Amerika, dan Eropa. Di Amerika Serikat (AS) ekspor kretek naik sampai 100% dan membuat negeri adikuasa itu langsung menerbitkan Undang-undang Kontrol Tembakau (Tobacco Control Act) yang isinya melarang peredaran kretek. Anehnya produk rokok menthol tidak dilarang. Usut punya usut, ternyata rokok menthol dikuasai oleh produsen dalam negeri AS. Kretek telah berhasil membuat AS, negeri yang katanya adikuasa itu, merasa terancam dan ketakutan, lalu menerbitkan Undang-undang diskriminatif yang mengingkari asas pasar bebasnya sendiri.
Kretek lahir dari industri dengan muatan impor (import content) yang rendah, hanya 4% saja. Selebihnya, 96%, bahan baku dari lokal. Karakter seperti itu membedakan industri kretek dengan industri secara umum di dalam negeri yang muatan impornya tinggi. Statistik ekonomi menunjukkan 70 persen lebih impor Indonesia adalah bahan baku, sisanya barang konsumsi dan barang modal. Karakter seperti itu juga yang membuat industri kretek mempunyai "sistem imun" tinggi terhadap goncangan ekonomi global. Saat badai krisis menghantam di tahun 1998, industri kretek adalah satu dari sedikit industri dalam negeri yang bertahan.
Kretek adalah penyumbang cukai terbesar. Di tahun 2010 ini negara diproyeksikan akan menerima 58,3 triliun dari cukai, sebesar 55,8 triliun berasal dari rokok. Penerimaan cukai dari rokok itu, 93% dibayarkan oleh konsumen kretek. Sebagai catatan, sepanjang tahun 2005-2008 penerimaan cukai didominasi oleh penerimaan cukai rokok dengan kontribusi rata-rata 97,8 persen, dan rata-rata pertumbuhan 15,2 persen.
Kretek dan industrinya melibatkan puluhan juta orang dan memberi nilai tambah tinggi pada perekonomian. Dari hulu sampai hilir, industri rokok melibatkan 30 juta orang lebih. Bahkan ada data yang menyebut sampai 50,3 juta orang. Dari hulu ke hilir, industri rokok juga memberi nilai tambah tinggi. Berbeda dengan karet, kakao, tambang, dan lain-lain, yang hanya mengekspor bahan mentah sehingga nilai tambahnya dinikmati negara pengimpor. Industri rokok, 90% lebih adalah industri kretek.
Kiranya tidak berlebihan kata budayawan Mohammad Sobary: "Kretek merupakan sumbangan tak ternilai yang mengharumkan nama bangsa. Kretek memberi kita merek istimewa dalam percaturan internasional. Maka, pelan-pelan saya menyadari, bisnis ini lebih dari sekadar berharga untuk dimusuhi dan juga lebih dari layak dirampas dengan berbagai cara."