Mohon tunggu...
Agus Barkah Hamdani
Agus Barkah Hamdani Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengajar di salah satu perguruan tinggi agama di Kabupaten Garut

Penyuka Teknologi dan Informasi, penyuka tehnik, terjebak dalam ruang akademis rumpun Ekonomi Islam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Apa Bedanya dengan yang Bukan Sekolah Penggerak?

12 Agustus 2024   23:48 Diperbarui: 13 Agustus 2024   12:09 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: smptelkom-mks.sch.id

Sudah jalan 4 tahun pemerintah, khususnya Dirjen GTK Kementerian Pendidikan melakukan Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) secara bertahap melalui 2 jalur program. Program Sekolah Penggerak (PSP) dan Program Mandiri. Dalam PSP, sekolah yang mendaftarkan diri dan dinyatakan berhak mengikuti program, mendapatkan full support dari pemerintah. 

Berhak mendapatkan BOS Kinerja, mengikuti pelatihan secara intesif, mengikuti lokakarya selama 3 tahun, mendapatkan fasilitator yang mendapingi sekolah selama 3 tahun, serta banyak akses lainnya. Berbeda dengan PSP, sekolah yang melaksanakan IKM melalui jalur Mandiri tidak mendapatkan fasilitas seperti yang ada di PSP. 

Proses menggali apa itu IKM, bagaimana caranya, dan lain sebagainya, dilakukan melalui Platform Merdeka Mangajar (PMM). Sebuah platform yang disediakan pemerintah, yang didalamnya terdapat berbagai informasi, regulasi, pedoman, hingga contoh-contoh materi yang digunakan untuk IKM. 

Misal, bagaimana struktur kurikulum merdeka? Melalui PMM, sekolah bisa mendapatkan modul yang bisa menjelaskan struktur kurikulum merdeka. Serta banyak panduan teknis lainnya, yang sudah sangat lengkap. 

Walaupun mereka mendapatkan akses tersebut, akan tetapi sekolah yang memutuskan untuk menggunakan kurikulum merdeka malalui jalur mandiri ini, tidak mendapatkan support berupa tambahan biaya operasioan atau BOS Kinerja, tidak mendapatkan fasilitas pelatihan secara komprehensif dan berkelanjutan, tidak mendapatkan fasilitas kegiatan lokakarya di setiap bulannya, tidak mendapatkan fasilitator yang bisa mendampingi proses IKM agar sesuai sebagaimana mestinya.

Dalam proses penentuan sekolah yang mau melaksanakan Kurikulum Merdeka, baik jalur PSP maupun jalur Mandiri, salah satu yang menjadi parameternya adalah kemauan yang kuat. Tidak melihat apakah itu sekolah negeri atau swasta, tidak melihat apakah sekolah favorit atau bukan, tidak melihat apakah sekolah di perkotaan atau pedesaan, bahkan ditempat terpencil sekalipun. 

Sekolah manapun yang mendaftar untuk ikut melaksanakan kurikulum merdeka, memiliki peluang yang sama untuk bisa melaksanakan program IKM. Langkah pertamanya yaitu dengan mendaftarkan diri, untuk ikut melaksanakan IKM.

Dalam perjalanannya, ada saja anggapan-anggapan bahwa sekolah yang menggunakan Kurikulum Merdeka adalah sekolah istimewa. Adalah sekolah yang harus lebih baik dalam hal apapun dibandingkan dengan sekolah yang belum menerapkan kurikulum merdeka. Sebagai do'a, anggapan itu tentu baik. 

Dan memang itu yang diharapkan dari sebuah upaya perbaikan sistem kurikulum. Kurikulum baru, lahir untuk menyempurnakan kurikulum sebelumnya. Memang misinya begitu. Akan tetapi, dalam konteks tertentu, persepsi bahwa sekolah yang menggunakan kurikulum merdeka harus selalu lebih baik, tentu tidak tepat. Parameter apa yang digunakan untuk menilai sekolah yang lebih baik juga terkadang sulit dijelaskan. 

Pun kalau itu menggunakan parameter nilai akademis, saya kira tidak fair juga. Toh dari sisi bobot materi saja, kurikulum merdeka banyak dipangkas. Porsinya relatif lebih sedikit, karena memang dipereteli dan fokus pada materi-materi essensial. Dari sisi alokasi waktu pembelajaran untuk mata pelajaran reguler pun begitu. 30% dari total alokasi waktu pembelajaran, wajib digunakan untuk kegiatan projek P5. 

Artinya, untuk pembelajaran reguler hanya tersisa 70% dibandingkan dengan skema di kurikulum sebelumnya. Apakah fair jika harus dibandingkan? Penilaian? Okay, pada rangkaian pembelajran di kurikulum sebelumnya, penilaian identik menggunakan nilai kuantitatif. Walaupun dikurikulum 2013, itu di konversi menjadi naratif. 

Di kurikulum merdeka, pelinaian lebih fleksible. Banyak alternatif. Bahkan dalam bentuk rubrik. Jadi, menurut saya, tidak tepat dan tidak elok jika harus membandingkan antara sekolah penggerak dengan sekolah yang tidak mengikuti program sekolah penggerak.

Selain persoalan struktur kurikulum yang sangat berbeda, hal lain yang menjadi alasan mengapa kita tidak perlu membandingkan adalah titik berangkat sekolah yang lulus dalam program sekolah penggerak yang jelas beragam. diparagraf sebelumnya sudah diberikan pengantar bahwa, siapa yang mau, siapa yang mendaftar, maka sekolah apapun itu memiliki kesempatan untuk ikut dalam program IKM. Spektrum keberagaman sekolah yang masuk dalam PSP, itu sangat beragam. 

Mereka tidak berangkat dari kondisi yang sama. Ada sekolah yang sudah sangat akrab dengan IT, ada sekolah yang kondisinya sebaliknya. Ada sekolah yang berlokasi di kota, ada sekolah yang berlokasi di pelosok. Serta keberagaman lainnya, dalam berbagai aspek. Sesama sekolah penggerak saja sudah sangat beragam. 

Apalagi dibandingkan dengan sekolah lain yang tidak ikut dalam PSP, yang jumlahnya beratus-ratus kali lipat. Tentu akan jauh lebih beragam. Keberagaman ini, manjadi alasan lainnya agar kita tidak membanding-bandingkan satu dengan lainnya.

Lantas, yang menjadi parameter keberhasilannya apa? Salah satunya adalah nilai delta (dalam bahasa statistik). Misal, sebelum mengikuri program IKM guru tidak pernah menyusun rencana pembelajaran, setelah mengikuti program IKM, sebelum melaksanakan proses pembelajaran, guru terbiasa merencanakan pembelajaran. 

Contoh lain, misal budaya belajar sepanjang hayat. Sebelum mengikuti IKM, di sekolah tidak ada kelompok belajar, tidak ada ruang untuk tumbuh bersama. Setelah mengikuti program IKM, sekolah memiliki kelompok belajar, yang menjadi ruang bersama para guru untuk terus tumbuh meningkatkan kompetensi keguruannya. 

Contoh lainnya, misal sebelum mengikuti IKM sekolah membuat peraturan yang ketat, dengan sanki. Setelah mengikuti IKM, sekolah menggunakan pendekatan disiplin positif. 

Sehingga yang lebih dominan adalah motivasi instrinsik. Satu lagi. Misal sebelum mengikuti program IKM, yang lebih banyak dipelajari adalah aspek kognitif. Setelah mengikuti program IKM, sekolah memiliki ruang untuk melakukan aktivitas pembelajran kontekstual. Sehingga setiap pengetahuan yang dipelajari, relate dengan kebutuhan belajar peserta didik. Perubahan inilah yang menjadi salah satu parameter untuk menilai keberhasilan IKM di sebuah sekolah.

Jadi, bagaimana sekolah anda? Sudah ada peningkatan? Atau? Yuk, tulis di kolom komentar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun