Artinya, untuk pembelajaran reguler hanya tersisa 70% dibandingkan dengan skema di kurikulum sebelumnya. Apakah fair jika harus dibandingkan? Penilaian? Okay, pada rangkaian pembelajran di kurikulum sebelumnya, penilaian identik menggunakan nilai kuantitatif. Walaupun dikurikulum 2013, itu di konversi menjadi naratif.Â
Di kurikulum merdeka, pelinaian lebih fleksible. Banyak alternatif. Bahkan dalam bentuk rubrik. Jadi, menurut saya, tidak tepat dan tidak elok jika harus membandingkan antara sekolah penggerak dengan sekolah yang tidak mengikuti program sekolah penggerak.
Selain persoalan struktur kurikulum yang sangat berbeda, hal lain yang menjadi alasan mengapa kita tidak perlu membandingkan adalah titik berangkat sekolah yang lulus dalam program sekolah penggerak yang jelas beragam. diparagraf sebelumnya sudah diberikan pengantar bahwa, siapa yang mau, siapa yang mendaftar, maka sekolah apapun itu memiliki kesempatan untuk ikut dalam program IKM. Spektrum keberagaman sekolah yang masuk dalam PSP, itu sangat beragam.Â
Mereka tidak berangkat dari kondisi yang sama. Ada sekolah yang sudah sangat akrab dengan IT, ada sekolah yang kondisinya sebaliknya. Ada sekolah yang berlokasi di kota, ada sekolah yang berlokasi di pelosok. Serta keberagaman lainnya, dalam berbagai aspek. Sesama sekolah penggerak saja sudah sangat beragam.Â
Apalagi dibandingkan dengan sekolah lain yang tidak ikut dalam PSP, yang jumlahnya beratus-ratus kali lipat. Tentu akan jauh lebih beragam. Keberagaman ini, manjadi alasan lainnya agar kita tidak membanding-bandingkan satu dengan lainnya.
Lantas, yang menjadi parameter keberhasilannya apa? Salah satunya adalah nilai delta (dalam bahasa statistik). Misal, sebelum mengikuri program IKM guru tidak pernah menyusun rencana pembelajaran, setelah mengikuti program IKM, sebelum melaksanakan proses pembelajaran, guru terbiasa merencanakan pembelajaran.Â
Contoh lain, misal budaya belajar sepanjang hayat. Sebelum mengikuti IKM, di sekolah tidak ada kelompok belajar, tidak ada ruang untuk tumbuh bersama. Setelah mengikuti program IKM, sekolah memiliki kelompok belajar, yang menjadi ruang bersama para guru untuk terus tumbuh meningkatkan kompetensi keguruannya.Â
Contoh lainnya, misal sebelum mengikuti IKM sekolah membuat peraturan yang ketat, dengan sanki. Setelah mengikuti IKM, sekolah menggunakan pendekatan disiplin positif.Â
Sehingga yang lebih dominan adalah motivasi instrinsik. Satu lagi. Misal sebelum mengikuti program IKM, yang lebih banyak dipelajari adalah aspek kognitif. Setelah mengikuti program IKM, sekolah memiliki ruang untuk melakukan aktivitas pembelajran kontekstual. Sehingga setiap pengetahuan yang dipelajari, relate dengan kebutuhan belajar peserta didik. Perubahan inilah yang menjadi salah satu parameter untuk menilai keberhasilan IKM di sebuah sekolah.
Jadi, bagaimana sekolah anda? Sudah ada peningkatan? Atau? Yuk, tulis di kolom komentar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H