Mohon tunggu...
Agus Barkah Hamdani
Agus Barkah Hamdani Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengajar di salah satu perguruan tinggi agama di Kabupaten Garut

Penyuka Teknologi dan Informasi, penyuka tehnik, terjebak dalam ruang akademis rumpun Ekonomi Islam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Itu Tuh yang Salah! Kata Netizen

12 Agustus 2024   21:51 Diperbarui: 13 Agustus 2024   11:17 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sosial media memang seasyik itu. Apapun informasinya, bisa menyebar begitu cepat. Melintasi ruang dan waktu. Hanya saja, sekarang informasi itu sudah berubah menjadi konten. 

Maksudnya gini, kita coba bedah salah satu kasus saja. Saat ini, tidak bisa dipungkiri bahwa banyak lahir konten kreator pengguna sosial media. Untuk meningkatkan jumlah tayangan, berbagai cara dilakukan para konten kreator itu. 

Salah satu cara yang ampuh adalah dengan membuat konten extra pendek. Bahkan durasinya hanya berkisar 1 detik saja. Apapun kejadiannya, jika akun konten kreator ini sudah diterima oleh algoritma sosial media, videonya akan dengan mudah ditonton orang lain. Sekali lewat FYP, bisa tampil beberapa kali tayang, karena durasinya yang sangat pendek. 

Akhirnya terbaca oleh sistem bahwa konten tersebut memiliki jumlah tayangan yang tinggi. Semakin tinggi, maka akan semakin direkomendasikan. Okay, kembali ke topik. Informasi apa yang kita peroleh, dari sebuah konten yang bahkan tayang tidak lebih dari 1 detik? Apalagi kalo kita berbicara manfaat dari konten tersebut. Sulit rasanya kita menemukan informasi dan manfaat dari konten yang tayang tidak lebih dari 1 detik ini. Satu contoh.

Contoh lainnya adalah keisengan dalam membuat narasi, caption, atau bahkan tulisan yang disematkan dalam sebuah konten. Baik itu gambar, maupun video. Inti dari keisengan ini adalah memancing rasa penasaran kita, untuk sedikit memikirkan apa yang ditulis, lalu dihubungkan dengan kontennya. Yang ternyata memang dengan sengaja dibuat ambigu, kontradiktif, atau bahkan tidak memiliki makna. Tujuannya agar orang yang melihat konten tersebut penasaran, sehingga tertahan lebih lama pada konten tersebut. 

Terkadang, cara lainnya yaitu dengan membuat pernyataan yang mengandung polemik, sehingga terjadi diskursus antar viewer. Tujuannya sama, agar jam tayang menjadi lebih panjang, atau nilai engagment konten tersebut naik drastis. Ujung-ujungnya, apapun triknya adalah untuk mendapatkan cuan dari platform media sosial tersebut.

Belum selesai dengan demam konten kreator di sosial media, fenomena yang tak kalah menggemaskan lainnya adalah tentang mental julid netizen +62. Misal, mungkin kalian pernah lihat di akun-akun cctv, atau akun dashcam, yang merekam kejadian kecelakaan atau kejadian apapun. 

Lalu kemudian di kolom komentar, selalu ada karaktreristik netizen yang mencari pihak mana yang salah, pihak mana yang benar. Atau, pihak mana yang salah, pihak mana yang lebih salah. Bahkan dengan narasi rasionalisasi dari penilaiannya. Mulai dari yang mudah dicerna, hingga narasi yang dilengkapi dengan referensi. 

Apakah itu buku maupun peraturan perundang-undangan. Contoh, "itu kan marka jalannya double dan garis tidak putus, gak boleh nyalip disitu. Dia salah tuh! Dasar manusia primitif". Atau komentar yang tidak pakai referensi seperti "Uh, dasar si paling dashcam. Udah tau salah, masih aja ngeyel". Dan banyak respons asyik netizen lainnya.

Tidak hanya dalam merespon masalah-masalah seperti ini, masalah-masalah lain yang lebih personal pun banyak direspon dengan cara-cara fulgar. Bahkan, beberapa diantaranya harus diselesaikan dengan melibatkan pihak penegak hukum, karena sudah masuk pada kasus pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, atau pasal-pasal yang ada di dalam UU ITE. 

Jika dipikir lebih jauh, kenapa juga harus komentar sampai pada pernyataan bahwa ada pihak yang berstatus salah, dan pihak yang berstatus benar. Toh respons kita dalam komentar juga tidak merubah kejadian itu. 

Atau jangan-jangan, jempol kita terlampau terampil untuk menulis komentar dibandingakan dengan keterampilan berfikir? Atau keterampilan empatik kita, kalah jauh dengan keterampilan jempol ketika merespons sebuah informasi? Padahal, tidak sedikit kejadian yang menggambarkan adanya penyesalan setelah terlanjur berkomentar fulgar. Bahkan diantara penyesalan itu, ada yang harus sampai bermaterai.

Daripada membuat video klarifikasi gegara tidak bisa ngerem berkomentar, tentu lebih enak kalau kita menahan kegemasan kita pada sebuah kejadian yang di share di media sosial. Jika memang ada hal yang bisa diambil hikmahnya, akan lebih berguna jika kita merespons dengan berbagi hikmah dari kejadian itu. 

Atau, jika itu sebuah musibah. Maka lebih manusiawi jika kita ikut bersimpati atas kejadian itu. Terkadang, dijalanan itu tidak selamanya tentang siapa yang benar dan siapa yang salah. Ada juga yang memang diluar kontrol para pihak yang terlibat. Saya yakin kok, mereka juga tidak mau mengalami kejadian yang jelas-jelas merugikan.

Sosial media memang seasyik itu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun