Jika dipikir lebih jauh, kenapa juga harus komentar sampai pada pernyataan bahwa ada pihak yang berstatus salah, dan pihak yang berstatus benar. Toh respons kita dalam komentar juga tidak merubah kejadian itu.Â
Atau jangan-jangan, jempol kita terlampau terampil untuk menulis komentar dibandingakan dengan keterampilan berfikir? Atau keterampilan empatik kita, kalah jauh dengan keterampilan jempol ketika merespons sebuah informasi? Padahal, tidak sedikit kejadian yang menggambarkan adanya penyesalan setelah terlanjur berkomentar fulgar. Bahkan diantara penyesalan itu, ada yang harus sampai bermaterai.
Daripada membuat video klarifikasi gegara tidak bisa ngerem berkomentar, tentu lebih enak kalau kita menahan kegemasan kita pada sebuah kejadian yang di share di media sosial. Jika memang ada hal yang bisa diambil hikmahnya, akan lebih berguna jika kita merespons dengan berbagi hikmah dari kejadian itu.Â
Atau, jika itu sebuah musibah. Maka lebih manusiawi jika kita ikut bersimpati atas kejadian itu. Terkadang, dijalanan itu tidak selamanya tentang siapa yang benar dan siapa yang salah. Ada juga yang memang diluar kontrol para pihak yang terlibat. Saya yakin kok, mereka juga tidak mau mengalami kejadian yang jelas-jelas merugikan.
Sosial media memang seasyik itu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H