Mohon tunggu...
Abghi Ilman Arif
Abghi Ilman Arif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Institut Teknologi Bandung

Mahasiswa Teknik Elektro, Mata Kuliah Ekonomi Energi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Menuju Indonesia Zero Net Emission 2060 dengan Early Retirement Pembangkit Fosil

19 Mei 2023   17:35 Diperbarui: 19 Mei 2023   17:40 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rata-rata biaya pembangkitan listrik/unit di Indonesia meningkat sebesar 10% dalam periode hingga tahun 2030 dibandingkan dengan tahun-tahun terakhir, naik dari sekitar USD 80/MWh pada tahun 2021 menjadi USD 90/MWh pada tahun 2030. Biaya rata-rata secara umum stabil hingga tahun 2040 sebelum mengalami penurunan struktural jangka panjang menjadi di bawah USD 60/MWh pada tahun 2060. Dengan peningkatan produksi, total biaya pembangkitan listrik meningkat dua kali lipat pada tahun 2030 dari sekitar USD 22 miliar secara rata-rata pada periode 2017 – 2021 menjadi hampir USD 45 miliar, dan hampir dua kali lipat lagi menjadi USD 85 miliar pada tahun 2050.

Kenaikan biaya pembangkitan listrik di Indonesia dalam dekade mendatang sebagian besar disebabkan oleh kenaikan harga CO2. Pada tahun 2030, perkiraan biaya CO2 mencapai sekitar USD 12 miliar, yang mewakili lebih dari seperempat dari total biaya pembangkitan listrik. Namun, penting untuk dicatat bahwa biaya CO2 ini dapat menyediakan pendapatan bagi pemerintah, yang dapat digunakan untuk mengkompensasi konsumen atas kenaikan harga listrik atau untuk mendukung perekonomian dengan berbagai cara. Total biaya CO2 mencapai puncaknya pada tahun 2040 sekitar USD 20 miliar, sebelum kemudian menurun dengan cepat ketika dekarbonisasi sektor listrik mengatasi dampak dari kenaikan harga CO2.

Jika tidak termasuk biaya CO2, biaya sisa pembangkitan listrik akan mengalami penurunan hampir 20% pada tahun 2030, memberikan peluang bagi listrik untuk menjadi lebih terjangkau dalam jangka dekat. Penurunan biaya listrik rata-rata di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh efektivitas biaya teknologi energi terbarukan dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Sumber energi terbarukan, seperti panel surya dan tenaga angin, menjadi opsi paling murah untuk pembangkitan listrik baru. Misalnya, proyek panel surya skala utilitas diperkirakan akan mencapai kurang dari USD 40/MWh pada tahun 2030, menjadikannya sumber listrik baru termurah. Pemasangan panel surya di atap juga akan menurun menjadi sekitar USD 100/MWh.

Biaya tenaga angin darat (onshore) dan lepas pantai (offshore) diperkirakan akan mengalami penurunan sebesar 10% menjadi sekitar USD 90/MWh pada tahun 2030. Penurunan biaya energi terbarukan dapat dicapai melalui kondisi pembiayaan yang lebih baik, pengembangan pasar, dan kebijakan yang mendukung di Indonesia. Energi terbarukan yang dapat diatur, seperti tenaga air, memiliki biaya yang lebih stabil karena teknologinya yang lebih matang. Biaya pembangkit listrik tenaga air tetap berada dalam kisaran USD 80-90/MWh sepanjang proyeksi.

Seiring dengan transformasi campuran energi listrik di Indonesia, sifat biaya mendasar juga berubah. Sektor ini menjadi lebih bergantung pada modal, dengan pemulihan modal menyumbang bagian yang semakin besar dari total biaya. Hal ini terutama disebabkan oleh pertumbuhan cepat energi terbarukan, di mana sebagian besar biaya dikeluarkan selama konstruksi, sementara biaya bahan bakar dikurangi atau dieliminasi, dan biaya operasi serta pemeliharaan relatif rendah. Biaya bahan bakar, yang saat ini menyumbang bagian yang signifikan dari total biaya listrik, menurun tajam seiring penurunan penggunaan batu bara, gas alam, dan minyak.

Energi terbarukan akan semakin mendominasi biaya listrik total seiring dengan pergeseran campuran pembangkitan. Pembangkit listrik berbahan bakar fosil saat ini menyumbang sekitar 85% dari total biaya listrik di Indonesia, dengan biaya pembangkit listrik berbasis batu bara saja mencapai sekitar USD 10 miliar/tahun untuk bahan bakar, pemeliharaan, dan pemulihan modal. Namun, pada tahun 2040 dalam APS, diperkirakan bahwa batu bara dan energi terbarukan akan mencapai paritas, masing-masing menyumbang hampir setengah dari total biaya listrik, dengan kontribusi dari nuklir dan hidrogen. Pada tahun 2060, energi terbarukan mendominasi sistem dan menyumbang 80% dari total biaya listrik, sementara bahan bakar fosil, energi nuklir, hidrogen, dan amonia menyumbang persentase yang tersisa.

Studi IEA pada Accelerating to Net Zero Emissions by 2050 (NZE)

Target Indonesia untuk mencapai emisi neto nol pada tahun 2060 sangat ambisius. Ini sesuai dengan batas suhu atas Paris Agreement: untuk membatasi pemanasan global menjadi jauh di bawah 2 derajat Celsius (°C), dengan harapan mencapai 1,5 °C dibandingkan dengan tingkat pra-industri. Laporan Khusus Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim mengenai Pemanasan Global 1,5 °C menekankan pentingnya mencapai Net Zero Emission CO2 secara global pada pertengahan abad atau lebih cepat guna membatasi kenaikan suhu rata – rata global menjadi 1,5 °C dan menghindari dampak buruk perubahan iklim yang terparah (IPCC, 2018).

Pintu menuju mencapai emisi CO2 neto nol secara global pada pertengahan abad masih terbuka, tetapi akan segera menutup. Skenario Neto Nol Emisi pada 2050 (NZE) telah diperbarui dan menjadi dasar eksplorasi bab ini tentang apa yang mungkin termasuk dalam jalur percepatan untuk mencapai emisi neto nol pada 2050 di Indonesia.

Energi Primer

Transisi campuran pasokan energi relatif serupa dalam garis besar antara NZE dan APS. Namun seiring waktu, dengan dorongan yang lebih kuat terhadap efisiensi energi dan elektrifikasi dalam NZE, total pasokan energi mencapai puncak dan kemudian datar setelah tahun 2050, meskipun ekonomi terus tumbuh. Total pasokan energi sekitar 2% lebih rendah pada tahun 2060 dalam NZE dibandingkan dengan APS.

Transisi sektor kelistrikan lebih cepat dalam NZE dengan pembangkit batubara tanpa penangkapan karbon yang lebih rendah sebesar 70% pada tahun 2030 dan 60% pada tahun 2040, dibandingkan dengan APS. Di sisi lain, pada tahun 2060, APS menggunakan lebih sedikit batubara dengan Carbon Capture, Utility, and Storage (CCUS) dibandingkan dengan NZE.

Kontribusi bioenergi dalam jangka pendek berbeda antara kedua skenario tersebut. Jalur NZE lebih banyak menggunakan bioenergi padat modern dalam pembangkit listrik dan industri, sementara elektrifikasi yang dipercepat dalam transportasi mengurangi permintaan untuk biofuel cair dan gas, dibandingkan dengan APS. Dampak neto adalah permintaan bioenergi modern dalam NZE hanya sekitar 460 petajoule (PJ) lebih tinggi pada tahun 2030 dan sekitar 300 PJ lebih tinggi pada tahun 2050 dibandingkan dengan APS.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun