Di siang menjelang sore yang cukup terik, saya memutuskan untuk menjelajahi Kotagede, salah satu kawasan tertua di Yogyakarta. Sebagai saksi bisu kejayaan Kerajaan Mataram, Kotagede menyimpan banyak kisah sejarah, legenda, dan tentu saja keunikan budaya yang masih terjaga.Â
Di tengah hiruk-pikuk kota modern, kawasan ini terasa seperti ruang waktu yang terjaga, di mana masa lalu dan masa kini berdampingan tanpa saling mengganggu. Saya berencana untuk menjelajahi beberapa lokasi ikonik, mulai dari kampung bersejarah, lorong labirin, hingga makam raja-raja Mataram yang terkenal.
Lawang Pethuk: Antara Dua Gerbang Menuju Dunia Lain
Perjalanan saya dimulai di sebuah kawasan yang dikenal dengan nama "Between Two Gates" atau Lawang Pethuk. Begitu melangkah masuk, perasaan pertama yang muncul adalah keheningan yang tak biasa.Â
Meski rumah-rumah di kampung ini sangat berdekatan dan terlihat padat, tidak ada suara bising yang biasanya menemani suasana kampung-kampung perkotaan pada umumnya. Saya serasa masuk ke dimensi lain, di mana segala sesuatu bergerak dengan tempo yang lebih lambat, lebih damai, dan sangat teratur.
Wilayah yang terbentuk dari deretan rumah-rumah tradisional yang berada di antara dua pintu gerbang ini juga sering disebut sebagai Kampung Alun-Alun karena bentuk arsitekturnya.Â
Bangunan-bangunan di kampung ini masih mempertahankan gaya arsitektur tradisional Jawa, dengan sentuhan pengaruh kolonial Belanda di beberapa sudutnya. Kayu-kayu jati besar menopang struktur rumah-rumah yang sudah berusia ratusan tahun.
Salah satu hal menarik dari Kampung Rukunan ini adalah bagaimana penduduknya hidup rukun dan harmonis di tengah ruang yang sempit, sesuatu yang mencerminkan semangat gotong royong dan kebersamaan yang masih sangat kuat di kalangan masyarakat lokal.
Di sini, saya benar-benar merasakan bahwa waktu seperti melambat. Tidak ada suara kendaraan bermotor atau riuh rendah pedagang kaki lima. Hanya ada suara alam dan obrolan ringan antar tetangga yang saling sapa dengan senyum.Â
Sungguh pengalaman yang luar biasa, di mana saya bisa merasakan harmoni antara manusia, alam, dan bangunan bersejarah yang masih terjaga. Mungkin karena itu lah wilayah ini disebut sebagai a living museum.Â
Lorong Labirin: Seni Jalanan dan Kearifan Lokal dalam Setiap Sudut
Setelah menikmati ketenangan Between Two Gates, saya melanjutkan perjalanan menuju lorong-lorong sempit di Kotagede. Di sini, saya benar-benar merasa seperti tersesat dalam labirin yang dipenuhi kehidupan. Lorong-lorong ini sangat sempit, terkadang hanya cukup untuk satu orang dewasa melaluinya. Namun, lorong-lorong ini juga menjadi salah satu daya tarik utama Kotagede.
Setiap sudut lorong-lorong ini dipenuhi street art yang menambah keindahan dan kekayaan visual. Ada mural-mural besar dengan warna-warna cerah, menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat Kotagede, mulai dari pedagang pasar, pengrajin perak, hingga potret wajah-wajah warga setempat. Street art ini memberi nuansa modern namun tidak menghilangkan keaslian dan kesederhanaan kawasan ini.Â
Selain mural, ada juga kaca-kaca cembung yang dipasang di berbagai titik lorong. Kaca-kaca ini tidak hanya berfungsi sebagai cermin bagi pengunjung yang ingin berfoto, tetapi juga menambah kesan "terbalik" dari realitas yang saya hadapi. Seolah, setiap langkah di lorong-lorong ini membawa saya ke dunia yang berbeda, dunia di mana realitas dan seni bertemu dalam harmoni.
Hal yang paling menarik dari lorong-lorong ini adalah kutipan-kutipan berbahasa Jawa yang terpasang di berbagai dinding. Kutipan-kutipan ini mengandung pesan-pesan moral yang sederhana namun dalam.Â
Kemarin, saya menemukan empat tulisan yang seakan-akan menasihati, seperti ngunduh wohing pakerti (memetik buah dari hasil perbuatannya sendiri), mbeguguk ngutha waton (sikap seseorang yang selalu menggunakan pikiran dan pendapatnya sendiri, tidak peduli disenangi orang atau tidak), serahke kabeh marang Gusti, eling yen dhewe duwe Gusti (serahkan semua pada Tuhan, ingatlah bahwa kita punya Tuhan),  dan wani ngalah duwur wekasane (siapa saja yang berani mengalah akan memperoleh hasil yang terbaik).Â
Kutipan-kutipan ini bukan hanya menjadi pengingat akan kearifan lokal, tetapi juga seolah  menuntun pengunjung untuk merenungkan kembali makna kehidupan di tengah keseharian.
Makam Raja-Raja Mataram: Sejarah dan Legenda yang Hidup
Tidak lengkap rasanya mengunjungi Kotagede tanpa singgah di Makam Raja-Raja Mataram. Makam tua ini berdiri kokoh dengan tembok tinggi yang mengelilinginya, seolah menjaga kisah-kisah sejarah yang pernah terjadi di dalamnya.Â
Di sinilah para pendiri Kerajaan Mataram, seperti Panembahan Senopati, dimakamkan. Saat saya melangkah masuk ke area makam, suasana langsung berubah menjadi lebih khidmat. Bau dupa dan bunga-bunga yang bertebaran di sekitar makam menambah aura spiritual yang kental.
Kompleks Makam Raja-raja Mataram ini menarik bukan hanya karena sejarah panjang Kerajaan Mataram, tetapi juga legenda yang mengelilinginya. Di area sekitar makam, terdapat sendang seliran atau pemandian yang dahulu dipakai oleh Kerajaan Mataram.Â
Di dalamnya terdapat sebuah sumur tua yang konon airnya dapat membuat awet muda. Banyak pengunjung yang datang ke sini bukan hanya untuk berziarah, tetapi juga untuk mendengar kisah-kisah sejarah dan mencoba membasuh diri dengan air dari sumur ini karena rasa penasaran.Â
Meskipun saya tidak sempat mencoba mitos air awet muda dari sumur tersebut, saya bisa merasakan betapa kuatnya kepercayaan masyarakat lokal terhadap cerita-cerita legenda ini. Aura spiritual dan sakral yang melingkupi tempat ini membuat saya sejenak berhenti dan merenungkan jejak-jejak sejarah yang masih terjaga hingga saat ini.
Toko Buku Natan: Membaca dalam Suasana Keraton
Perjalanan saya di Kotagede saya tutup dengan singgah di Toko Buku Natan, sebuah toko buku yang terkenal dengan nuansa klasiknya. Begitu masuk ke dalam, saya langsung merasa seperti sedang berada di sebuah perpustakaan keraton yang elegan. Rak-rak buku tertata rapi dengan koleksi yang sangat beragam. Di sini, saya menemukan buku-buku fiksi klasik Inggris, sejarah Indonesia, hingga literatur sastra modern.
Toko ini terasa istimewa karena suasananya yang sangat tenang dan nyaman, cocok untuk membaca atau sekadar merenung setelah perjalanan panjang. Selain buku, Toko Buku Natan juga menyediakan kafe kecil yang menyajikan berbagai minuman dan makanan ringan.Â
Saya memutuskan untuk duduk di sudut kafe, memesan secangkir kopi, dan mulai membaca beberapa halaman dari buku yang saya pilih. Suasana yang tenang, dipadu dengan aroma kopi yang hangat, membuat saya betah berlama-lama di sini.
Di tengah keheningan, saya merenungkan perjalanan saya hari ini. Kotagede, dengan segala keunikan dan kekayaan budayanya, tidak hanya menawarkan wisata sejarah, tetapi juga membawa saya ke dalam perjalanan batin yang mendalam.Â
Setiap sudutnya menyimpan cerita, setiap langkahnya mengajak untuk lebih memahami harmoni antara masa lalu dan masa kini. Ini bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan dan warisan budaya yang harus terus dijaga.
Kotagede benar-benar sebuah dimensi waktu yang memikat. Sebuah tempat di mana sejarah, seni, dan kehidupan sehari-hari bertemu dalam harmoni yang sempurna. Saya tidak sabar untuk kembali dan menemukan lebih banyak cerita yang tersembunyi di balik tembok-tembok tua dan lorong-lorong sempitnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H