Mohon tunggu...
Abest
Abest Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Segala puji dan syukur untuk segalanya hari ini

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Masuk Polisi Pakai Uang?

16 Januari 2015   18:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:00 4279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1421398080564213842

Ramai diperbincangkan Bripda Muhammad Taufik Hidayat, polisi muda yang membuat bangga, hidupnya sederhana, dan baru bekerja, sampai saat ini belum merasakan gajian pertama. Berangkat kerja berjalan kaki karena jangankan punya uang untuk beli motor, untuk bayar angkot, untuk makan siang pun tidak ada.

Dulu punya uang karena ikut mencari pasir di kali bersama ayahnya, yang selama menjalani pendidikan polisi tentu tidak lagi dapat dilakukannya. Sedangkan hasil kerja ayahnya juga belum layak mencukupi kebutuhan keluarga. Gaji pertama yang belum diterima pun, sudah dia anggarkan untuk nanti mengontrak rumah yang layak untuk orang tua dan adik-adiknya, agar tidak lagi tinggal mengontrak di bekas kandang sapi.

Tinggal di pelosok Sleman, bertugas di Mapolwil DIY, 7 kilometer tiap hari berangkat dan pulang berjalan kaki, menarik perhatian orang senegara, termasuk Gubernur DKI Jakarta. Terbaru Bapak Wakapolri Badrodin Haiti juga membanggakan seorang Bripda Taufik yang menjadi "bukti bahwa masuk polisi tidak bayar dan semua orang mempunyai kesempatan yang sama, tanpa diskriminasi, untuk menjadi polisi."

Lhoh, memangnya untuk masuk menjadi Polisi harus membayar? Sehingga repot-repot memberikan bukti, atau begitu senang dan bangga menemukan bukti bahwa masuk polisi tidak bayar? Begitulah otomatis reaksi masyarakat umum Indonesia yang suka membalik kondisi setiap pernyataan orang lain, bahasa kerennya di kompasiana mungkin argumen straw man fallacy.

Seperti untuk masuk perguruan tinggi negeri, masuk ke perusahaan, masuk ke kabinet, masuk ke kepolisian harus melalui seleksi yang ketat. Hanya para calon yang memenuhi semua persyaratan yang dapat diterima. Dari sekian banyak yang memenuhi persyaratan, diseleksi lagi karena lowongan yang tersedia terbatas. Lalu yang lolos seleksi menjalani pendidikan kedinasan, dan bila bisa menyelesaikan pendidikan dengan baik, baru bertugas sebagai polisi sesuai dengan tingkat jabatannya.

Bukti masuk polisi tidak bayar yang perlu ditunjukkan ini, tentu untuk melawan "bukti" atau "realita" masuk polisi itu bayar sekian pulu juta, ratus juta, milyar sesuai tingkatannya. "Realita" lain, untuk diterima menjadi PNS itu perlu dana puluhan, ratusan juta, sesuai tingkatan dan kondisi kelembaban suatu posisi, kering, basah, banjir. Meski semua persyaratan sudah terpenuhi, dan sudah lulus ujian seleksi, ada "urusan" akhir yang harus dikompliti.

Ada lagi "realita" mengurus dokumen di segala kantor dinas di semua departemen harus pakai duit. Persyaratan lengkap saja pakai duit. Ingin lebih cepat berarti duitnya harus lebih. Syarat tidak lengkap tetap bisa dibantu, dengan duit extra charges. Permohonan yang melanggar peraturan, bisa diatur cara menikung melewati aturan dengan charges extra plus plus. Semua didasari rasa kekeluargaan yang suka tolong menolong saling membantu orang lain yang sedang kesulitan.

Sebagai orang Indonesia yang orang timur, mosok sudah dibantu diuruskan dokumennya, tidak tahu berterima kasih? Dan bila orang datang menyampaikan suatu bentuk terima kasih, mosok ditolak? Kan tidak sopan menolak ucapan terima kasih orang lain. Apalagi bila terima kasihnya berbentuk suatu rejeki, tidak baik menolak rejeki dari Allah. Seindah dan semulia itu pemikiran orang Indonesia.

"Realita" ini bagian kecil dari 'realita' keseluruhan kehidupan bernegara yang serba pakai uang untuk segala urusan. Urusan yang wajar, yang telah dipenuhi semua persyaratannya saja pakai uang. Karena petugas yang mengerjakan dokumen itu juga manusia, punya rasa capek.

"Realita" semua urusan serba pakai uang itu hanya isyu, tidak nyata, tanpa bukti. Siapa yang bisa memberi bukti? Saya? Anda? Alasan kondisi tersebut seperti kentut yang nyata baunya tiada bentuknya. Yang tiada bentuknya, secara ilmiah berarti memang tidak ada. Tinggalkan cara berpikir klenik nenek moyang, hanya membuat kemunduran bagi kita di kehidupan masa kini yang modern.

Bripda Taufik masuk polisi tidak bayar, tidak pakai uang sepeserpun. Dia hanya memakai semangat. Cita-cita dari kecil untuk menjadi polisi dibalut tekad kuat mengantarnya menjadi seorang polisi di usia 19 tahun. Kondisi serba kekurangan sejak kecil hingga kini, orang tua tidak berpendidikan, kecerdasan yang tidak melebihi teman-temannya, "realita" masuk polisi harus bayar puluhan juta, tidak membuatnya mengeluh, lalu beralasan untuk tidak menggapai cita-citanya.

Sebenarnya hidupnya yang sederhana (kekurangan) adalah kondisi hidupnya selama ini sebelum menjadi polisi. Jadi rasa haru dan bangga orang-orang yang membaca kisah Bripda Taufik juga kurang tepat. Lain bila dia sudah menjadi polisi selama 10 tahun dan masih hidup di bekas kandang sapi.

Raihan Bripda Taufik juga sebenarnya kalah jauh dari pemuda lain yang juga sedang tenar, dalam usia sama 19 tahun, minim pengalaman bisnis, bisa mendapatkan pinjaman usaha dari luar negeri hingga 57 miliar, dan membangun bisnis baru di bidang perhotelan. Dan hanya menggunakan sedikit perhatian, pikiran, waktu dan tenaga, bisnis hotelnya dapat berjalan lancar hingga kini, sementara untuk orang lain mungkin harus bekerja keras tak kenal waktu.

Semoga Bripda Taufik tetap bisa sederhana dalam menjalani hidupnya sebagai polisi, dan mengikuti petuah bapak Wakapolri Badrodin Haiti untuk "mensyukurinya dengan kerja yang baik untuk masyarakat dan berintegritas, jujur, jangan mudah tergoda dengan uang."

Dan jangan belajar atau mengikuti sekiranya ada contoh-contoh perbuatan para senior atau atasan dan pimpinan Polri yang tidak sesuai dengan ucapan pesan bapak Wakapolri di atas.

Bripda Taufik menjadi bukti tidak terbantah bahwa masuk polisi tidak pakai uang, sepeserpun. Bukti-bukti lain yang belum terungkap pasti juga ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun