Mohon tunggu...
Abel Pramudya
Abel Pramudya Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara

Travelling, photography, bus enthusiast @abelpram

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Hutan Kian Menipis, Asap Kian Menebal

16 September 2019   13:14 Diperbarui: 23 April 2022   22:30 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebakaran hutan di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Foto: Greenpeace.

Makin hari luas hutan kian berkurang, setidaknya itu yang terjadi di Indonesia, mungkin juga di beberapa negara lain. Pembukaan lahan hutan untuk industri, perkebunan, pertambangan, atau pemukiman masih sering dilakukan. Pembalakan atau penebangan liar pun masih sering ditemukan. Bagaimana pun caranya asalkan murah dan cepat yang penting hutan tidak ada lagi.

Banyak yang berpandangan kalau lahan hutan tidak menghasilkan, membuat negara jadi tidak mampu produktif, dan menghambat perekonomian dan kesejahteraan. Namun, apakah paradigma tersebut benar?

Keterbatasan lahan kalah melawan desakan industri, perkebunan, pertambangan, atau kebutuhan lahan pemukiman. Lantas, hutan yang menjadi korban. Hutan dihanguskan. Asap pembakarannya membumbung menghalangi pemandangan, merusak pernapasan. Alhasil, mengganggu aktivitas keseharian. 

Kalau sudah begini siapa yang harus disalahkan?

Membuka lahan hutan paling mudah dan cepat adalah dengan dibakar dibandingkan harus menebang pohon satu persatu. Namun, pernahkah terpikirkan dampaknya?

Kebakaran hutan sebenarnya lazim terjadi, biasanya disebabkan sambaran petir atau gesekan ranting dan dahan kering, apalagi di musim kemarau. Namun, biasanya kebakaran yang ditimbulkan tidak meluas, hanya dalam lingkup kecil dan dampaknya juga tidak terlalu kentara. Paling hanya menyisakan pohon yang hangus, dan rerumputan gosong, serta menghitam.

Menurut Nature Resource Planning Manager The Nature Conservancy Indonesia, Musnanda Satar, deforestasi hutan Kalimantan kebanyakan disebabkan oleh konversi hutan menjadi lahan perkebunan, hutan tanaman industri (HTI), dan pertambangan. Ia juga menambahkan 45% tutupan hutan di dunia sudah hilang.

"Kalau kita tidak melakukan apa-apa, di tahun 2030, 100 juta hektare hutan hilang,"

"Di tahun 2050, 230 juta hektare hutan hilang," lanjutnya.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), deforestasi netto pada 2017-2018 di dalam dan di luar kawasan hutan Indonesia sebesar 0,44 juta hektare yang berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 0,49 juta hektare dikurangi deforestasi sebesar 0,05 juta hektare. Padahal, cadangan karbon yang disimpan dalam hutan primer mencapai 150 ton per hektare.

Artinya, ada sekitar 66 juta ton karbon yang dilepaskan ke atmosfer pada periode 2017-2018. Itu baru hitungan cadangan karbon hutan, belum dengan karbon yang lepas saat pembakaran lahan. Tentu jutaan ton karbon yang merusak atmosfer itu berkontribusi besar terhadap pemanasan global. Asap dari pembakaran pun dapat merusak saluran pernapasan,jika sudah parah dapat berujung kematian. Bahkan, indeks kualitas udara kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah sempat menyentuh angka 2.000 pada Minggu (15/9) siang. Sangat berbahaya.

Kabut asap di Kalimantan Tengah tahun 2015. Foto: Greenpeace.
Kabut asap di Kalimantan Tengah tahun 2015. Foto: Greenpeace.

Selain itu, asap juga mengganggu jarak pandang berkendara sehingga rawan kecelakaan dan membuat pesawat dilarang terbang. Lebih parahnya lagi, asap dari kebakaran hutan di Indonesia terbawa angin sampai ke Singapura dan Malaysia. Memalukan.

Pembakaran hutan juga berdampak pada hilangnya habitat hewan-hewan dan merusak ekosistem hutan. Dilansir dari situs www.nature.or.id  ada 114 spesies burung terancam punah di Indonesia dan hampir sepertiga mamalia asli Indonesia juga terancam punah. Musnanda menyampaikan bahwa degradasi Orang Utan mencapai angka 25 persen setiap tahunnya. Bukan tidak mungkin, Indonesia bakal kehilangan predikatnya sebagai salah satu negara dengan warisan keanekaragaman hayati terbanyak di dunia.

Dari penjabaran di atas, terlihat bahwa deforestasi khususnya dengan pembakaran hutan banyak menimbulkan dampak negatif yang justru membuat negara merugi. Pembangunan sudah tidak bisa lagi memikirkan segi ekonomi dan kapitalis. Harus berubah haluan dengan memandang dari segi sosial dan lingkungan sebagaimana penuturan mantan Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim, "Masa pembangunan dengan pola kapitalisme sudah berlalu, dan sekarang harus diubah ke pembangunan ekonomi dengan nilai sosial yang memperhatikan kepentingan lingkungan hidup." seperti yang dikutip dari nature.or.id.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun