"Aku tidak tahu, Nak. Aku sudah bekerja sejak kecil. Ibu dan nenekku juga begitu. Pak Ketua bilang ini adalah kewajiban kita," jawab perempuan tua itu sambil terus memutar roda.
Ia juga bertanya kepada seorang lelaki muda, yang menjawab dengan nada penuh kesal, "Jangan repot-repot bertanya! Nanti kamu dimarahi. Lebih baik diam dan bekerja!"
Ternyata, rasa takut telah menjadi norma di desa Organis. Mereka takut mempertanyakan sistem, takut melawan arus, dan takut dinilai tidak loyal.
Pada suatu malam, Dasein memberanikan diri masuk ke kantor Pak Ketua. Ia menemukan sebuah dokumen rahasia bertuliskan "Laporan Progres Desa Ketaatan." Di dalamnya, tidak ada catatan tentang pertumbuhan desa, tidak ada visi jangka panjang, bahkan tidak ada rencana apa pun. Hanya ada grafik-grafik angka yang menunjukkan "seberapa cepat roda diputar" oleh para warga.
Tak disangka, Pak Ketua masuk dan memergokinya. "Apa yang kamu lakukan di sini, Dasein?" suaranya terdengar dingin.
"Pak Ketua, dokumen ini... apakah benar ini tujuan kita? Hanya mengukur seberapa banyak kita bekerja tanpa tahu untuk apa?"
Pak Ketua diam sejenak sebelum menjawab dengan nada getir, "Kamu benar, Dasein. Tapi siapa yang peduli? Orang-orang tidak butuh tujuan; mereka hanya butuh kesibukan. Jika mereka sibuk, mereka merasa hidup. Jika mereka merasa hidup, aku tetap jadi pemimpin."
Dasein akhirnya berencana meninggalkan desa Ketaatan, mencari tempat di mana manusia hidup dengan kesadaran dan nilai. Namun, sepanjang perjalanannya, ia menemukan banyak desa lain yang sama seperti Ketaatan, orang-orang sibuk bekerja, patuh tanpa berpikir, hidup dalam ketakutan untuk mempertanyakan otoritas.
Dunia modern telah berubah menjadi sekumpulan desa Ketaatan, di mana integritas digantikan oleh loyalitas buta, kapasitas manusia dipandang sebelah mata, dan tujuan hidup dikaburkan oleh mesin bernama "sistem."
Dan di tengah perjalanan itu, Dasein berpikir: Apakah manusia benar-benar lebih unggul dari tikus yang mengejar keju? Atau justru mereka lebih rendah, karena memiliki akal tetapi memilih untuk tidak menggunakannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H