AKUÂ BELUM LAYAK HINGGA AKU SELESAI DENGAN DIRIKU SENDIRI
Oleh : Habiburrahman
"Kekuasaan yang digenggam oleh orang yang belum selesai dengan dirinya sendiri akan merusak tatanan sosial karena mereka lebih fokus pada akumulasi kepentingan egoistik dan kehendak pribadi (volont particulire)." (Rousseau).
Motivasi untuk mengejar jabatan sering kali menjadi kabur ketika bercampur antara kepentingan altruistik dan kepentingan pribadi. Jika jabatan dimaknai sebagai simbol kekuasaan dan sumber keuangan, maka komitmen terhadap pelayanan publik kerap terkikis oleh kepentingan egoistik. Hal ini terlihat nyata dalam kasus-kasus korupsi, seperti yang dianalisis oleh Amundsen (1999) dalam tulisannya Political Corruption: An Introduction to Issues.
Fenomena individu yang haus jabatan dalam pemerintahan memiliki dimensi kompleks yang dapat dikaji lebih tajam melalui pendekatan filsafat moral, psikologi kekuasaan, dan filsafat politik kontemporer. Di balik retorika pengabdian sering kali tersembunyi motif dominasi, pencarian identitas diri, hingga dorongan egoistik untuk membangun legitimasi pribadi.
Dalam studi politik Indonesia, Cornelis Lay (2014) menyebutkan bahwa ambisi dalam politik sering kali berkorelasi dengan politik transaksional, di mana jabatan menjadi komoditas yang dapat "dibeli" atau diperebutkan dengan berbagai cara. Transaksi ini tidak hanya melibatkan uang tetapi juga aliansi, pengaruh politik, dan distribusi kekuasaan. Ambisi yang dilandasi motif ini sangat berbahaya karena menggiring politik menuju "public office for private gains" (Huntington, 1968).
Fenomena ambisi berlebihan mengejar jabatan tidak selalu mencerminkan niat tulus mengabdi kepada masyarakat. Ada kecenderungan pencarian kekuasaan, status, dan materi, terutama di negara-negara dengan sistem birokrasi yang masih lemah dan praktik politik transaksional. Kelayakan seorang pemimpin pun dipertanyakan ketika motif jabatan muncul dari ambisi pribadi yang belum terkendali.
Pemimpin yang belum selesai dengan dirinya sendiri berisiko menjalankan kepemimpinan yang tidak efektif, penuh konflik kepentingan, serta merusak kepercayaan publik. Karena itu, penting adanya seleksi pemimpin yang lebih menekankan integritas, kesiapan mental, dan moralitas.
Dalam konteks kepemimpinan pemerintahan, etika publik yang buruk sering kali mengarah pada praktik manipulatif dan koruptif. Penelitian dari Transparency International (2020) menunjukkan bahwa banyak pejabat publik yang menganggap jabatan sebagai sarana memperkaya diri cenderung gagal dalam menjalankan mandat pelayanan publik. Ambisi ini dapat muncul dari beragam motivasi, baik yang bersifat positif maupun negatif.Â
Secara umum, beberapa tujuan di balik fenomena ini antara lain:
1. Motivasi Altruistik
Seseorang memang terdorong untuk mengabdi demi kepentingan masyarakat. Ini sesuai dengan teori public service motivation (PSM) dari Perry & Wise (1990), yang menyebutkan bahwa beberapa individu memiliki panggilan untuk pelayanan publik karena dorongan intrinsik seperti integritas, belas kasih, dan keinginan melakukan perubahan positif.
2. Motivasi Kekuasaan (Power Motive)
Menurut McClelland (1961) dalam Achievement Motive Theory, motivasi berkuasa (need for power) merupakan salah satu pendorong utama manusia dalam mengejar posisi strategis. Orang dengan motivasi ini cenderung merasa puas ketika memiliki kontrol, pengaruh, dan pengakuan dari lingkungan sosialnya.
3. Pencarian Status dan Materi
Jabatan strategis kerap dipersepsikan sebagai simbol status sosial dan ekonomi yang tinggi. Ini berangkat dari teori Kapital Budaya Pierre Bourdieu (1986), yang menyatakan bahwa jabatan publik membawa symbolic capital (penghargaan sosial) selain materi.
4. Ambisi Pribadi dan Kesempatan Bisnis
Sayangnya, di beberapa kasus, jabatan publik juga dipandang sebagai pintu masuk untuk keuntungan pribadi. Acemoglu & Robinson (2012) dalam Why Nations Fail mengungkap bahwa banyak elite berambisi menduduki jabatan strategis untuk mengakses extractive institutions, yang memperkaya segelintir orang dengan merugikan masyarakat luas.
Statemen pembuka tulisan ini "jika seseorang masih haus akan jabatan dan materi finansial, ia belum layak memimpin karena urusan pribadinya belum selesai" memiliki landasan kuat dalam perspektif etika kepemimpinan dan psikologi moral. Seorang pemimpin yang didorong oleh ambisi pribadi sering kali menunjukkan ego yang berlebihan. Menurut Greenleaf (1977) dalam konsep servant leadership, pemimpin sejati adalah mereka yang melayani lebih dulu dan menekan ego serta kepentingan pribadi.
Teori psikologi perkembangan dari Erik Erikson mengenai Eight Stages of Psychosocial Development menyatakan bahwa individu harus menyelesaikan konflik internalnya terlebih dahulu. Pemimpin yang masih mengejar pengakuan eksternal kemungkinan besar berada dalam fase "inferiority" atau belum mencapai tahap "ego integrity" yang matang. Pandangan Immanuel Kant (1785) tentang etika deontologis menyebutkan bahwa kepemimpinan harus dilandasi niat baik dan prinsip-prinsip moral. Jika seseorang terlalu mengejar jabatan demi materi, maka tujuan moral kepemimpinan tersebut tidak terpenuhi.