"Ini demi kesejahteraan kita," kata mereka. Tentu saja, siapa yang bisa menyalahkan? Namun, di balik tuntutan itu, mereka lupa bahwa yang terpenting adalah kejujuran dalam mengajar, bukan sekadar tampil sempurna di depan kamera, namun setidaknya tidak jauh dari fakta!.
Dan begitulah, roda terus berputar. Konten demi konten diproduksi, dipoles, dibagikan di media sosial. Dunia luar berdecak kagum melihat betapa suksesnya implementasi kurikulum. Namun, di dalam sekolah itu sendiri, kenyataan jauh dari kata indah.Â
Hubungan antar guru retak karena sekat istilah dan status yang dibuat dan dilegalkan pemangku kebijakan dengan sejumlah angkatan (pikir sendiri status apa itu!), kebohongan menjadi norma, dan yang lebih tragis, siswa-siswi menjadi penonton dalam drama yang mereka tak pernah minta untuk ikut serta, cukuplah menikmati ace breaking dan berjoget ria dengan jargon mengembalikan semangat belajar anak-anak.Â
Tidak salah, tapi seolah itulah satu-satunya cara untuk membuat siswa kembali bersemangat untuk belajar dan adegan tersebut dapat dengan lebih cepat untuk diviralkan.
Akhirnya, kita hanya bisa bertanya: sampai kapan kepalsuan ini akan terus berlangsung? Sampai kapan mereka terus membungkus kenyataan dengan konten-konten manipulatif yang lebih mirip sinetron daripada proses pembelajaran yang nyata? Mungkin suatu hari nanti, ketika para guru ini pensiun, mereka akan merenungkan semua yang telah mereka lakukan.Â
Dan pada saat itulah mereka akan sadar, bahwa video-video indah yang mereka buat hanyalah ilusi, sementara dunia pendidikan terus dibiarkan terjerumus dalam kebohongan yang mereka ciptakan sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H