Mohon tunggu...
AbieLabieba
AbieLabieba Mohon Tunggu... Guru - Belajar sebagai cara hidup

Sekolah Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru dan Konten Pembelajaran, Antara Fakta dan Rapinya Kepalsuan!

13 November 2024   07:43 Diperbarui: 13 November 2024   08:00 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Foto Kegiatan Pembelajaran di kelas

GURU DAN KONTEN PEMBELAJARAN: ANTARA FAKTA DAN RAPINYA KEPALSUAN!
Oleh : Habiburrahman

Serius, tiba-tiba dikagetkan dengan pemandangan ketika kelas-kelas seolah menjadi panggung teater yang tak pernah sepi dari akting para pemerannya. Bukan, ini bukan pentas seni siswa, melainkan panggung lain yang lebih seru dengan adegan aksi para aktris sinetron: panggung para guru yang sibuk membuat video pembelajaran. 

Ah, bukan untuk benar-benar mengajar, tentu saja, tetapi untuk menyenangkan mata para penonton di luar sana. Mulai dari pengawas, pejabat, atau mungkin rekan sejawat yang berharap mereka tak kalah cemerlang dalam balutan kurikulum. Satu hal yang pasti, video-video ini lebih dekat pada manipulasi ketimbang kebenaran. Yah, namanya juga adegan dan acting?

Ada pemandangan menarik setiap kali deadline pembuatan konten video tiba. Guru-guru, yang biasanya lelah setelah mengajar, tiba-tiba menjadi sutradara dadakan. Dengan kamera ponsel di tangan, mereka mengatur posisi, meminta siswa berakting seolah-olah sedang belajar dengan antusias. Skenario sudah disusun rapi. Di sini, tak ada siswa yang mengantuk, tak ada yang sibuk dengan gawai.

 Semua sempurna. Namun, setelah kamera dimatikan? Ah, kembali ke kenyataan. Siswa-siswa yang tadi berakting penuh semangat, langsung sibuk dengan ponsel mereka, sementara guru-guru itu kembali terjebak di antara tumpukan tugas administrasi yang membosankan.

Yang paling menyedihkan, para guru ini (meski tidak seluruhnya) tidak benar-benar sepenuh hati dalam konten yang mereka buat. Mereka tahu, di balik semua polesan kurikulum yang tampak sukses di video, ada rekan-rekan sejawat mereka yang mungkin tengah terpuruk, diintimidasi, bahkan digugat secara hukum. Namun, siapa yang berani bersuara? 

Di balik keseragaman yang dipaksakan ini, banyak guru yang hanya diam. Ketika ada satu guru yang diperlakukan tidak adil, mereka memilih bungkam, takut kehilangan tunjangan, takut karier mereka terancam. Siapa yang mau repot, bukan?

Ambil contoh sebuah sekolah di pinggiran kota, di mana salah satu guru diseret ke meja hijau karena dianggap melakukan kekerasan karena mendisiplinkan siswa yang tidak mau mengukuti sholat berjamaah! (https://jabar.viva.co.id/news/15861-guru-agama-diseret-ke-meja-hijau-gara-gara-ajak-murid-salat-zuhur). 

Di luar sana, video-video pembelajaran sekolah terus dipuji-puji sebagai contoh sukses pendidikan. Namun, di dalam sekolah itu sendiri, atmosfernya penuh ketegangan. Bukannya bersatu untuk membela rekan mereka yang terancam dipidana, para guru lebih memilih mengurus video pembelajaran berikutnya, berharap bahwa dengan sibuk membuat konten, masalah-masalah itu akan lenyap begitu saja.

Lebih ironis lagi, banyak dari mereka yang justru saling bersaing dalam pencitraan. Ketika satu guru tampak unggul dalam pembuatan konten, yang lain buru-buru mencari cara untuk membuat video yang lebih bagus. Fokus mereka sudah tak lagi pada bagaimana membuat siswa benar-benar paham pelajaran, melainkan bagaimana mendapatkan apresiasi dari atasan atau program yang akan memberi mereka tunjangan lebih. 

"Ini demi kesejahteraan kita," kata mereka. Tentu saja, siapa yang bisa menyalahkan? Namun, di balik tuntutan itu, mereka lupa bahwa yang terpenting adalah kejujuran dalam mengajar, bukan sekadar tampil sempurna di depan kamera, namun setidaknya tidak jauh dari fakta!.

Dan begitulah, roda terus berputar. Konten demi konten diproduksi, dipoles, dibagikan di media sosial. Dunia luar berdecak kagum melihat betapa suksesnya implementasi kurikulum. Namun, di dalam sekolah itu sendiri, kenyataan jauh dari kata indah. 

Hubungan antar guru retak karena sekat istilah dan status yang dibuat dan dilegalkan pemangku kebijakan dengan sejumlah angkatan (pikir sendiri status apa itu!), kebohongan menjadi norma, dan yang lebih tragis, siswa-siswi menjadi penonton dalam drama yang mereka tak pernah minta untuk ikut serta, cukuplah menikmati ace breaking dan berjoget ria dengan jargon mengembalikan semangat belajar anak-anak. 

Tidak salah, tapi seolah itulah satu-satunya cara untuk membuat siswa kembali bersemangat untuk belajar dan adegan tersebut dapat dengan lebih cepat untuk diviralkan.

Akhirnya, kita hanya bisa bertanya: sampai kapan kepalsuan ini akan terus berlangsung? Sampai kapan mereka terus membungkus kenyataan dengan konten-konten manipulatif yang lebih mirip sinetron daripada proses pembelajaran yang nyata? Mungkin suatu hari nanti, ketika para guru ini pensiun, mereka akan merenungkan semua yang telah mereka lakukan. 

Dan pada saat itulah mereka akan sadar, bahwa video-video indah yang mereka buat hanyalah ilusi, sementara dunia pendidikan terus dibiarkan terjerumus dalam kebohongan yang mereka ciptakan sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun