Mohon tunggu...
Abdy Jaya Marpaung
Abdy Jaya Marpaung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lihat, dengar, nulis

laki-laki yang senang berbagi cerita lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bukan Siapa-siapa...Siapa?

10 Januari 2010   09:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:32 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Semenjak melahirkan anaknya yang kembar. Ia jadi serba sibuk. Meneteki mereka dan mencarikan tempat yang aman dan nyaman agar kedua anaknya dapat tumbuh membesar seperti layaknya anak-anak yang lain.

Ia tidak pernah mengeluh dalam menghidupi anak-anaknya. Bahkan ia tak pernah menuntut pasangannya untuk bertanggungjawab menafkahi mereka, paling tidak memberikan sedikit kebutuhan hidup buat anak-anaknya. Namun itu tak dilakukan pasangannya. Pasangannya datang dan pergi hanya untuk menuntaskan misi utama. Melampiaskan hawa nafsu saja.

Ia tidak pernah bertanya kemana pasangannya pergi dan ia tidak mau tau soal itu. Ia pun pasrah-pasrah saja saat kesuciannya direnggut. Berkali-kali malah namun dengan durasi yang agak lama. Kadang seminggu sekali atau sebulan sekali. Yang pasti ia tak pernah mengingat kapan dan dimana saja.

Ia juga terbiasa  berganti pasangan, mirip binatang kan? Yah, andai mereka tau pasti mereka memakluminya. Demikian gumamnya. Namun ia tidak peduli. Penyakit Aids, hamil diluar nikah, moral, tidak ada dalam kamus hidupnya.

Lalu anak-anaknya. Sudah lupa ia berapa jumlahnya. Saat mereka dewasa dan sudah pandai menghidupi diri mereka sendiri. Mereka tidak lagi mau bersamanya. Pergi mencari jalan sendiri-sendiri dan tidak pernah kembali.

Kalau dipikir-pikir. Ia hidup hanya untuk makan, tidur, makan, tidur, ditiduri, melahirkan lalu mati.

Kini ia fokus untuk membesarkan si kembar. Ia peluk keduanya. Ia ciumi wajah-wajah lembut anaknya. Tampaknya hujan sebentar lagi turun. Ia harus mencari perlindungan agar anak-anaknya tidak menderita karena kedinginan. Malam belum usai. Orang-orang masih lalu lalang dengan aktivitas masing-masing. Beberapa asyik di depan komputer. Lainnya menyantap makanan dengan tulang ikan yang menari-nari di depan mulut mereka. Ah... jadi ngiler.

"Sepertinya ini waktu yang tepat untuk mengamankan kedua anakku," pikirnya. Memanfaatkan kelengahan orang-orang di rumah itu. Ia pun bergerak cepat, menyelinap dari samping-samping dinding sembari membopong si kembar. Ia berhasil masuk ke sebuah kamar yang sedikit kacau dan bau. (baunya juga sedikit).

"Persis sesuai keinginanku." Ia mencari tempat yang menghalangi pandangan orang-orang dari keberadaan mereka. Karpet bolong, beruntai dan berserabut menjadi mainan kedua anaknya. Jika melihat keceriaan si kembar. Ia jadi terenyuh dan berdoa agar tidak ada yang berani mencederai keduanya.

Walau sudah mendapatkan tempat untuk tinggal, ia tetap tidak merasa tenang. Ia merasa was-was jika kehadirannya tidak disukai dan pengusiran lah yang akan ia terima, bisa saja ia akan kembali dicampakkan mereka yang mengaku makhluk sosial itu.

BRAKKKK!!
"Ya ampuunnnn... Iiii..."
"Kurang ajar ini. Bikin kotor saja. Awas kelen ya!!!

Seorang wanita berteriak histeris. Sekonyong-konyong ia dan kedua anaknya sudah dicengkeram tangan yang kekar. Apa yang selama ini ia takutkan akhirnya terjadi. Tempat persembunyiannya sudah diketahui pemilik kamar. Tidak ada jalan keluar. Ia pun pasrah kemana akan dicampakkan. Anakku... Anakku... Teriakannya tersangkut di tenggorokan.

Brukkk!!!

Ia jatuh mencium lantai. Anak-anaknya dihempaskan ke tubuhnya. Ia menangis meratapi nasibnya yang malang. Kadang-kadang ia menyesal melahirkan keduanya. Bikin repot saja. Kalau sendiri pasti nasibnya tidak seburuk ini. Tapi mau gimana lagi. Ia sudah menerima takdirnya, menjadi sebagai seekor kucing betina yang cantik dan berbulu belang putih kuning.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun