Bergaul Dengan Kematian (1)
Kain kafan itu semula disimpan di gudang masjid
bersama keranda, tandu, ember besar, dan seluruh
perkakas kematian lainnya. Tapi karena sering hilang,
lupa dikembalikan, atau tidak mencukupi ketika
diperlukan, oleh panitia diputuskan untuk ditangani
secara khusus. Harus ada yang bertanggungjawab
memelihara dan memastikan kelengkapannya.
Ada dua atau tiga tangan yang memegang perkakas
angker itu sebelum jatuh ke tangan saya. Semula dipegang
oleh ketua rukun kematian itu sendiri. Hanya sebentar.
Karena anak beliau yang autis sering kerasukan sejak
perkakas magis itu ada di rumah. Seorang tokoh sosial
kemudian mengambil alih sekitar tiga bulan lamanya.
Namun kain putih, cendana, dupa, kapur barus, minyak wangi,
gunting, bahkan jarum dan benang, suka berbunyi dan
bergerak sendiri di malam-malam tertentu. Pertanda esok
akan ada yang meninggal. Sehingga istri pak haji itu senewen
setengah mati.
Peralatan dikembalikan ke tempat semula di gudang masjid.
Masalah lama terulang kembali. Perkakas sering tidak ada
di tempat atau tidak lengkap persis ketika ada anggota
perkumpulan meninggal mendadak. Panitia berulang kena
komplain. Maka terpaksalah saya turun tangan, setelah
mengemukakan berbagai alasan yang hanya ditanggapi
para anggota secara bercanda-canda. Ketua yang merasa
tertekan mengancam akan mengundurkan diri, kalau tidak
ada yang bersedia menanganinya.
Semula saya sungguh terpapar dengan pengalaman-pengalaman
seram para pendahulu. Kain itu saya taruh di gudang paling
belakang. Karena berbulan-bulan baru dipakai, kain dan kapas
dimakan rayap atau dijadikan tikus tempat buat beranak pinak.
 Saya lalu memindahkannya ke dapur. Terselip tak kasat mata
di antara rongsokan alat-alat rumah tangga. Ketika Covid melanda,
perkakas itu langsung jadi primadona. Kadang tidak sampai
dua hari ada saja yang memerlukannya. Saya menghitung,
waktu wabah sedang ganas-ganasnya, setidaknya ada 12 orang
yang meninggal dalam satu bulan. Ini yang meninggal di
rumah tanpa menjalani prosedur medis yang seharusnya.
Suasana sungguh mencekam. Hari-hari digayuti awan hitam
kegelisahan. Saudara istri saya adalah satu dari empat orang
pertama di propinsi kami yang terkena wabah. Gara-gara
tugas dinas ke batavia dan satu pesawat dengan turis asing.
Runtutan kematian yang tak kenal waktu itu membuat saya
lupa melakukan tindak "pengamanan". Menyembunyikan
kain kafan dari jangkauan penglihatan. Perkakas itu saya
taruh di ruang depan. Dekat rak buku. Bila sewaktu-waktu
diperlukan, siapa saja bisa mengambilnya, kalau-kalau saya
sedang tidak ada di rumah. Begitula proses naturalisasi perkakas
gaib itu dalam tata kelola rumah tangga kami. Anak dan istri
saya akhirnya juga jadi terbiasa. Tidak ada keluhan. Tidak ada
kejadian-kejadian mistis yang melingkupi hadirnya di tengah
ruang keluarga. Kini, sudah empat tahun, perkakas ganjil itu
ikut bergaul dalam kehidupan kami sehari-hari.
Kebiasaan tak lazim ini lalu dihubung-hubungkan orang
dengan salah satu kegiatan saya yang hobi nginap di kuburan.
Ya, mau apa lagi? Di daerah kami memang ada tradisi
"batunggu kubur", menunggui kuburan sambil membaca
Al-qur'an. Biasanya berlangsung minimal 3 hari sampai
100 hari. Kegiatan unik yang sudah saya lakukan sejak usia
16 tahun. Maka, menurut pandangan masyarakat, saya memang
punya bakat untuk hidup dan bergaul dekat dengan segala
hal yang berbau kematian. Jadi, kalau cuma dititipi kain kafan,
itu mah masih kurang seram dibanding tidur di pemakaman
umum yang gelap dan terpencil sambil memeluk batu nisan.
Tentang menunggui kuburan ini ada banyak cerita menarik
yang saya alami. Bukan dari ahli kubur, tapi dari keluarga
atau handai tolan si mati, bahkan masyarakat antah-berantah
yang tidak ada hubungan sama sekali dengan ahli kubur.
Saya pernah ikut menunggui kubur seorang juragan tanah
yang taksiran asetnya katanta tak kurang dari 100 milyar.
Bayangkan! Kami yang miskin papa dalam 100 hari ke depan
digunjingkan akan segera jadi jutawan. Namun faktanya adalah
justru berkebalikan. Sang juragan, karena banyak bini dan anak,
malah nyaris tidak ada yang mengurus. Semua anggota keluarga
sibuk mengendus dan mengusut aset yang mungkin bisa
diuangkan dengan cepat. Yang peduli hanya istri pertama.
Seorang perempuan tua mandul. Dengan menjual mobil miliknya,
perempuan sederhana itu, mengurus penyelenggaraan jenazah
almarhum dari awal hingga 100 selesai.
Masalahnya tidak sampai di situ. Sang juragan yang punya tabiat
aneh, suka menyepi di hutan (tidur dalam kabin alat berat)
diisukan punya ilmu hitam. Ilmu gaib yang bisa mencelakakan
barangsiapa yang berniat mau menyerobot tanahnya. Faktanya,
beliau memang sangat disegani para preman dan aparat hukum
di daerah kami. Keluar masuk tahanan (dengan leluasa) dan
berulangkali berhasil menghalau bermacam saingan bisnis
dengan tangan kosong.
Tersebarlah isu bahwa yang bersangkutan hanya dikuburkan
setengah badan dalam posisi tegak berdiri. Hanya bagian pusar
ke bawah yang mati. Dari pusar ke atas masih hidup. Dan kami,
dengan kamuflase pura-pura baca Al-qur'an, bertugas memberi
makan si zombi dengan daging sapi 15 kilo dalam sehari. Wah!
Efeknya sungguh di luar dugaan.
Pondok kami didatangi seorang suhu dari sebuah perguruan
silat dan tenaga dalam terkenal di Banjarmasin. Seorang
lelaki paruh baya dengan dua gelang akar bahar melingkar
di kedua tangan. Pak Suhu meminta kami agar menghubungi
beliau kalau terjadi hal luar biasa. Si mayit bangun tiba-tiba
atau ada asap merah mengepul menjelang malam. Katanya
itu pertanda arwah ahli kubur tidak ikhlas meninggalkan
alam fana. Pak Suhu bisa membantu menyempurnakan
kepulangannya. Dengan tenaga dalam dan ilmu gaibnya.
Ada juga tamu luar propinsi, yang entah bagaimana caranya,
tiba-tiba muncul dengan mobil rental khusus. Membujuk kami
agar mau berbagi rahasia ilmu si ahli kubur, yang katanya,
sudah diturunkan kepada kami. Alih-alih kepada anak-anak
almarhum. Semua tamu itu kami halau dengan cara menawari
mereka ikut memabaca Al-qur'an, yang tentu saja mereka
tolak mentah-mentah. Sebab bukan itu tujuan mereka datang.
Yang agak mengganggu adalah kedatangan sejumlah anak
pesisir dari muara sungai Barito. Anak-anak ini tidak datang
bertamu ke dalam tenda. Tapi mondar-mandir di jalanan sambil
membunyikan knalpot brong. Jam 2 atau jam 3 dinihari. Kadang
mereka berkumpul pada suatu jarak di kegelapan, dekat pohon
pisang atau mengintip di celah rumpun bambu. Karena khawatir
urusannya akan melibatkan anak-anak kampung yang nongkrong
di pos ronda, akhirnya kami nekat memanggil mereka.
Mereka adalah anak-anak nekat yang biasa "manyulung",
membobol tongkang-tongkang batu bara dengan pipa di tengah
laut. Biasanya terdiri dari tiga orang dalam satu perahu.
Satu orang mengemudi, dua lainnya menyarangkan pipa
paralon ke tumpukan batu bara. Itulah satu-satunya 'pajak'
yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat kecil di daerah
kami. Selebihnya tidak tahu menguap ke mana.
Isu yang sampai pada anak-anak pulau itu tak kalah ganjil.
Konon, si ahli makam tidak bisa mati sebelum "Untalan",
telanan ilmu hitam yang dikandung jasadnya belum ada yang
bersedia menyambutnya. Dalam rangka keberlanjutan ilmu
itulah mereka datang. Tapi merasa malu dan segan pada kami.
Mereka bukanlah anak-anak yang berpendidikan cukup.
Mereka miskin dan laut tidak memberikan hasil seperti
zaman dulu. Mereka masih sangat percaya, bahwa uang bisa
didapat dengan jalan mistik. Dengan menjajal kesaktian lalu
mengabdikan diri pada seorang bos tambang.
Kejadian itu sudah berlalu sembilan tahun lalu. Tapi hingga
kini, kalau sedang ngumpul, kami masih suka membicarakan
kekonyolan-kekonyolan yang sungguh terlalu tersebut.
Sesuatu yang bagi kami tinggal dongengan, bagi sebagian
besar orang awam masihlah hidup segar bugar. Hal-hal mistik
yang dikaitkan dengan kematian, ujung-ujungnya adalah uang.
Setelah puluhan tahun nginap di kuburan dengan beragam
manusia di dalamnya, kami tidak pernah mengalami keganjilan
dari ahli makam. Yang aneh dan ganjil itu justru kelakuan
mereka yang masih hidup. Bagi kami, tidur malam sambil
memeluk nisan bukanlah hal yang luar biasa. Saya sendiri
tidak pernah mengalami firasat atau mimpi di luar nalar.
Kematian itu mungkin logis sepenuhnya kalau kita mau
melihatnya lebih dekat. Mengakrabinya dengan niat dan
prasangka yang tidak jahat. Bahwa kematian itu misterius
dan tidak bisa ditebak memang iya. Namun, sebagai makhluk
yang diberi Tuhan mahkota akal budi, janganlah membiarkan
diri terjerumus dalam kekonyolan tradisi nalar sosial yang
tidak berujung pangkal.
Bagaimana dengan keadaan kami setelah 100 hari? Sama sepertiÂ
tidur di kuburan: tidak terjadi apa-apa. Setelah selesai mengaji
di kubur juragan, kami kembali menjadi petani. Kembali
bergelut dengan lumpur dan rumput busuk. Ternyata harta
yang konon ratusan milyar itu, hanya bisa dipakai sekian
nol persen untuk kepentingan si empunya. Tidak lebih dari
harga sebuah mobil Avanza yang dijual secara tergesa-gesa.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H