Orang-orang Dari Puncak Sunyi
I
akulah rahib yang telaten menyapih keharuan
mendoakan tulus air mata dan kebahagiaan
tasbihku biji mata sendu yang berjaga sepanjang malam
mengawasi pembangunan kota-kota suci
mengantar musim-musim kental berpulang ke muara
-kepergian berulang menebalkan rindu pada kenangan-
memoleskan sekilas kabut pada usia
agar manusia merasa tetap berhak bermanja,
akulah rahasia yang tersimpan rapat di akar-akar pohon
memangku kesejahteraan gunung-gunung
mengalirkan kesejukan ke kampung-kampung
menyanyikan adzan bersama burung-burung
kelak mimpi-mimpi kegelisahan akan berkumpul di kotaku
memasang bendera setengah tiang
menguburkan arak-arakan prosesi keduniaan
II
di Kaca
menggigil bayang kekekalan
ritus abadi di tiap persimpangan
III
seperti swara menyela antara derai hujan
riwayat demi riwayat timbul tenggelam
jalan sepi yang mengusut percakapan
memijarkan kegundahan-kegundahan,
tapi kita lahir dari mana saja
tidak mesti dari kegelisahan yang sama
seperti perindu, bisa diilhami apa saja
namun lagunya yang itu-itu juga,
sementara ibu bermunajat sepanjang malam
mencoba meretas kantuk ayunan
menyerbukkan fajar kesadaran
bagi bumi yang terendam air bah kealfaan
harum bebungapun menyebar berkah
bagai aroma padi baru selesai ditumbuk di tampah
IV
suatu hari
kuil masa lalu itu akan bangkit kembali
bicara pada telaga dan bulan
firman berkumandang sepenuh relif bumi
turun semarak ke kota dan desa-desa
menyiangi huma dan ladang palawija
memuja mesra dan kebersamaan
meniupkan ruh baru bagi alam
V
akulah bidadari yang turun ke halaman
ketika terang bulan
menari dan bertembang keindahan
menunggu kuncup-kuncup merekah
menampung kemurnian embun basah
menitip amanah pada perempuan yang sedang berbenah,
kuajar laki-laki menjaring kupu-kupu
merajut tenunan dan menyapih lembut kasih sayang
karena sungai-sungai sorga hanya mengalir ke dada
mereka yang mampu menyelami dalamnya air mata
VI
kabut jelita itu terpekik
tatkala menyentuh batu-batu kali
tak sanggup menyaksikan rasia
mandi telanjang pagi-pagi
bercanda dengan gemuruh pancuran
meluncur lamat-lamat dari daun talas
lalu menggoda perempuan-perempuan
yang sedang keramas kemurnian embun,
hei, apa kau tak khawatir
murai-murai nakal itu mencuri lalu membaginya
pada segenap penghuni ladang?
maka alangkah keramat tiap buah yang kau makan
batu-batu yang kau jadikan bangunan
pohon-pohon yang kau tatah jadi ukiran
persawahan yang menghamparkan kemakmuran
langit dan bumi yang setia menjalin keakraban,
kepada tanah kau mesti ziarah, humus dan cacing-cacing
kepada angin dan swara trenggiling,
betapa sakral hynme katak yang bersukaria sehabis hujan
lengking jangkrik yang merambati jagat kesunyian malam
kilasan angin yang menggetarkan putik-putik kembang,
betapa bijak musim memoles lembah dan hutan
mengabarkan wangian musim panen lewat angin selatan
melahirkan margasatwa pada tipa fase perubahan,
alangkah mulia dia yang setia menjaga jarak antar tanaman
supaya mesra tak berubah jadi perbudakan
yang begitu cermat mengawinkan ternak dan tetumbuhan
mengalirkan mata air abadi ke celah-celah hijau alam
memenuhi hati petani dengan senandung syukur madah kedamaian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H