Mohon tunggu...
Abdurrazzaq Zanky
Abdurrazzaq Zanky Mohon Tunggu... Petani - petani.

Senang membaca segala jenis buku, nulis diary, mengamati lingkungan alam dan sosial, menertawakan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ketika Listrik Padam

26 November 2024   15:23 Diperbarui: 26 November 2024   15:26 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://commons.wikimedia.org/wiki/File:White-breasted_Waterhen_(Amaurornis_phoenicurus_)_-_Flickr_-_Lip_K

Ketika Listrik Padam

Malam itu listrik padam seperti yang telah dijadwalkan.

Wilayah kami mendapat giliran dari jam 21 sampai jam

4 subuh. Disambung dengan wilayah-wilayah lain hingga

tiga hari ke depan. Wilayah-wilayah yang terdampak akan

mendapat giliran masing-masing dua kali pemadaman

hingga perbaikan usai dilakukan. Dampaknya cukup

signifikan. Bagi peralatan elektronik dan bagi kegiatan

perdagangan yang sepenuhnya tergantung pada listrik.

Karena kami tidak banyak memiliki peralatan elektronik,

pemadaman itu tidak terlalu berpengaruh dengan jalannya

roda rumah tangga. Perhatian saya justru teralih pada

suasana malam yang berubah seketika.

Jalan-jalan kampung  jadi cepat sepi. Tak ada terdengar suara

televisi tetangga, anak-anak yang suka ribut sendiri karena

nonton tik tok, atau sekedar gemuruh kulkas yang saban

sebentar seperti menghela nafas panjang, lalu terdengar bunyi

klik yang cukup keras. Tabiat anak-anak juga mengalami

perubahan. Si abang mulai menekuni novel-novel remaja

yang ia beli pada suatu pameran. Si adek juga ikut-ikutan

baca komik "Kecil-kecil Berprestasi." Kadang terdengar tawa

dan komentar yang lucu bersahutan. Keduanya saling

menceritakan isi kisah yang sedang mereka baca. Wah,

jangan-jangan pemadaman listrik ini adalah upaya terselubung

pemerintah untuk membudayakan literasi. Menteri kebudayaan

yang baru itu kan seniman dan pecinta buku sejati? Jangan-jangan

pemadaman ini bukan karena ada kerusakan. Jangan-jangan ini

ulah Fadli Zon...

Akan halnya saya, malah tertarik dengan suara-suara khas malam.

Bunyi jangkrik yang menderit-derit, dekut tekukur yang

mendengkur-dengkur, teriakan ruak-ruak yang tanpa henti,

suara cicak, dan bunyi tik tik jam dinding yang memecah sunyi.

Saya teringat masa kecil puluhan tahun silam ketika kami

tinggal di tengah persawahan yang terpencil. Suara-suara

malam inilah yang menjadi hiburan dan instrumentalia

pengantar tidur waktu itu. Ada burung tatapayan yang

mengguguk-guguk, burung bubut yang mirip orang bercelutuk,

atau bunyi burung hantu yang dalam dan menggetarkan.

Kalau ada anak nakal yang susah disuruh tidur zaman itu,

si ibu cukup memgatakan; "Hayu ada burung Kulai-kulai.

Kina dikulainya burit ikam ni." Hayo ada burung hantu.

Nanti disapunya pantat kamu ini. Si anak itupun akan

langsung ngibrit ke dalam kelambu. Padahal kalau dipikir-pikir

mana burung yang mau-maunya menyapu pantat orang yang

habis berak. Memang nggak ada kerjaan lain apa?

Ekosistem dan keadaan alam memang telah mengalami

perubahan. Ragam satwa tidak sebanyak 40 tahun lalu.

Penghuni ladang, yang dalam air dan yang terbang, sudah

banyak yang tidak kelihatan. Penggunaan ragam obat dan

pupuk kimia kini tak terhindarkan. Kami sudah mengalami

setengah ketergantungan. Kalau ada petani yang tak pakai

pestisida, itu bukan karena sadar lingkungan. Tapi karena

sedang tidak punya uang. Kesuburan tanah sudah tak lagi bisa

dipulihkan seperti dulu.

Walau begitu, dengan menggunakan daya adaptasi yang

mencengangkan, sejumlah ikan dan burung ternyata masih

dapat bertahan. Walau tidak sebanyak dulu lagi. Kadang-kadang

serombongan bangau laut masih suka mampir mencari ikan.

Hanya beberapa puluh. Tidak seperti dulu memang, yang

bisa memutihkan seluruh areal persawahan. Burung "Dandang",

bangau hitam yang rentang sayapnya seukuran depa orang

dewasa, satu dua kali masih suka melintas di cakrawala senja.

Walau tak pernah terlihat mampir. Nampaknya mereka punya

tujuan lain yang lebih kondusif dan menjanjikan.

Alam tak sepenuhnya punah dan meninggalkan kami

ternyata. Namun, disamping degradasi yang bersifat alami

ada pula sekat-sekat buatan yang adanya sering tidak kami sadari.

Fasilitas hidup dan aneka produk teknologi, kadang bisa berubah

menjadi sarana untuk alienasi. Perubahan terbesar itu mungkin

tidak terletak pada lompatan budaya dan gaya hidup manusia

masa kini. Tapi lebih pada kemalasan kami untuk berupaya tetap

terjaga dalam kesadaran dan sensitifitas sebagai makhluk yang

multidimensi. Mau bagaimana lagi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun