Mohon tunggu...
Abdurrazzaq Zanky
Abdurrazzaq Zanky Mohon Tunggu... Petani - petani.

Senang membaca segala jenis buku, nulis diary, mengamati lingkungan alam dan sosial, menertawakan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Ranjang Kematian Joko Pinurbo

22 November 2024   21:41 Diperbarui: 23 November 2024   05:16 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pexels.com/id-id/@cottonbro/

"Ranjang Kematian" Joko Pinurbo

 Joko Pinurbo

Ranjang Kematian

Ranjang kami telah dipenuhi semak-semak berduri.

Mereka menyebutnya firdaus yang dicipta kembali

oleh keturunan orang-orang mati,

Tapi kami sendiri lebih suka menyebutnya dunia fantasi.

Jasad yang kami baringkan beribu tahun telah membatu.

Bantal, guling telah menjadi gundukan fosil yang dingin beku.

Dan selimut telah melumut. Telah melumut pula

mimpi-mimpi yang dulu kami bayangkan bakal abadi.

Para arwah telah menciptakan sendang dan pancuran

tempat peri-peri membersihkan diri dari prasangka manusia.

Semalaman mereka telanjang, meniup seruling,

hingga terbitlah purnama. Dan manusia terpana, tergoda

Salah  satu kehebatan Jokpin yang paling menonjol menurut saya adalah kemampuan bertuturnya yang bersifat naratif, namun menghasilkan efek yang sangat kontemplatif. Jokpi bukan penyair yang muluk gaya atau mencitrakan diri sebagai seorang pendobrak. Ia setia pada kamus. Kenakalannya terletak  

pada kegemarannya dalam membolak-balik persepsi dan konotasiorang tentang kanon bahasa yang telah mapan. Membaca sajak ini seperti membaca sebuah dongeng fantasi yang merujuk suatu tempat antah-berantah. Jokpin menuturkan dunia dengan cara membikinnya paralel dengan imajinasi, dunia serba mungkin yang penuh fantasi. 

Sedang kita beranggapan dunia di sini adalah esensi, yang selebihnya itu adalah yang fantasi. Jokpin terlihat seperti berangan-angan tentang kenyataan. Atau ia membaurkan persepsi antara yang fana dan abadi. Antara sorga dan dunia profan.

Tapi uniknya, kedua antipoda ini justru merujuk pada dunia nyata, dunia tempat kita berhuni. Tentang hunian inilah kita bersilang pendapat. Ada yang menganggapnya sebagai proyeksi citra surgawi, sebagian lagi menganggapnya ilusi indrawi.

Pada kenyataannya, kesadaran dan persepsi kita terombang-ambing di antara dua modus epistemologi ini.

Kemudian muncullah citra-citra ragam kehidupan; jasad yang membatu, bantal guling yang dingin beku, selimut yang melumut, juga mimpi-mimpi yang ternyata tak abadi. Metafora Jokpin bagai menghadapkan kita pada sebuah genangan air sehabis hujan di jalan, yang permukaannya memantulkan gambaran langit secara keseluruhan. Jokpin membawa tamsil kosmos ke dalam ranah-ranah privat seperti ranjang, bantal, guling, selimut, mimpi, dan seterusnya. 

Benda-benda domestik ini dipoles dan diberi landasan ontologis agar konek dengan latar kesadaran kosmologi yang melingkupinya. Kita dihadapkan dengan prasangka dan pengandaian kita sebelumnya tentang kehidupan, sebelum akhirnya tersentak sendiri dengan hakikat kenyataan yang sebenarnya. Kita pernah terbujuk dengan sukarela(bahkan merasa nikmat) mengikuti alur cerita yang kita kira merujuk pada sesuatu entah di mana, namun ternyata ujungnya justru menunjuk pada duni nyata di sini.

Secara alusif  Jokpin mengisyaratkan bahwa apa yang kita proyeksikan selama ini sebagai dunia luar, ternyata serupa dengan dunia dalam. Fantasi kita tentang dunia, sebenarnya adalah pantulan bayangan dari keadaan dunia batin kita sendiri.

Untunglah ada para arwah memberi kita pencerahan: mereka telah menciptakan sendang agar para peri bersih dari prasangka manusia. Ketika hijab terbuka, manusia mengalami katarsis, terkesima dengan kenyataan eksistensial yang sebenar-benarnya.

Keadaan batin semacam ini akan bisa tercapai setelah kita bersih dari prasangka kita sendiri. Ketika manusia bersedia keluar dari cangkang domestik penalarannya yang penuh subyektifitas cermin diri, lalu menghadapi hidup sebagaimana apa adanya dia.

Puisi ini adalah kiasan dari hidup itu sendiri. Hidup itu pada dasarnya pasif. Hanya menunggu maut. Bahkan sampai tempat kita menunggu ini dipenuhi lumut kita tak kunjung bisa memisahkan mana yang abadi mana yang profan. Mana yang fana mana yang selamanya.Sampai tiba saatnya ajal 'menerbitkan purnama', barulah kita terkesima.

Tergoda dengan kehidupan lain di sana. Rupanya bentuk kesadaran yang paripurna itu memang terletak di ujung cerita adanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun