mimpi-mimpi yang dulu kami bayangkan bakal abadi.
Para arwah telah menciptakan sendang dan pancuran
tempat peri-peri membersihkan diri dari prasangka manusia.
Semalaman mereka telanjang, meniup seruling,
hingga terbitlah purnama. Dan manusia terpana, tergoda
Salah  satu kehebatan Jokpin yang paling menonjol menurut saya adalah kemampuan bertuturnya yang bersifat naratif, namun menghasilkan efek yang sangat kontemplatif. Jokpi bukan penyair yang muluk gaya atau mencitrakan diri sebagai seorang pendobrak. Ia setia pada kamus. Kenakalannya terletak Â
pada kegemarannya dalam membolak-balik persepsi dan konotasiorang tentang kanon bahasa yang telah mapan. Membaca sajak ini seperti membaca sebuah dongeng fantasi yang merujuk suatu tempat antah-berantah. Jokpin menuturkan dunia dengan cara membikinnya paralel dengan imajinasi, dunia serba mungkin yang penuh fantasi.Â
Sedang kita beranggapan dunia di sini adalah esensi, yang selebihnya itu adalah yang fantasi. Jokpin terlihat seperti berangan-angan tentang kenyataan. Atau ia membaurkan persepsi antara yang fana dan abadi. Antara sorga dan dunia profan.
Tapi uniknya, kedua antipoda ini justru merujuk pada dunia nyata, dunia tempat kita berhuni. Tentang hunian inilah kita bersilang pendapat. Ada yang menganggapnya sebagai proyeksi citra surgawi, sebagian lagi menganggapnya ilusi indrawi.
Pada kenyataannya, kesadaran dan persepsi kita terombang-ambing di antara dua modus epistemologi ini.
Kemudian muncullah citra-citra ragam kehidupan; jasad yang membatu, bantal guling yang dingin beku, selimut yang melumut, juga mimpi-mimpi yang ternyata tak abadi. Metafora Jokpin bagai menghadapkan kita pada sebuah genangan air sehabis hujan di jalan, yang permukaannya memantulkan gambaran langit secara keseluruhan. Jokpin membawa tamsil kosmos ke dalam ranah-ranah privat seperti ranjang, bantal, guling, selimut, mimpi, dan seterusnya.Â