Mohon tunggu...
Abdurrazzaq Zanky
Abdurrazzaq Zanky Mohon Tunggu... Petani - petani.

Senang membaca segala jenis buku, nulis diary, mengamati lingkungan alam dan sosial, menertawakan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Ranjang Kematian Joko Pinurbo

22 November 2024   21:41 Diperbarui: 23 November 2024   05:16 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Benda-benda domestik ini dipoles dan diberi landasan ontologis agar konek dengan latar kesadaran kosmologi yang melingkupinya. Kita dihadapkan dengan prasangka dan pengandaian kita sebelumnya tentang kehidupan, sebelum akhirnya tersentak sendiri dengan hakikat kenyataan yang sebenarnya. Kita pernah terbujuk dengan sukarela(bahkan merasa nikmat) mengikuti alur cerita yang kita kira merujuk pada sesuatu entah di mana, namun ternyata ujungnya justru menunjuk pada duni nyata di sini.

Secara alusif  Jokpin mengisyaratkan bahwa apa yang kita proyeksikan selama ini sebagai dunia luar, ternyata serupa dengan dunia dalam. Fantasi kita tentang dunia, sebenarnya adalah pantulan bayangan dari keadaan dunia batin kita sendiri.

Untunglah ada para arwah memberi kita pencerahan: mereka telah menciptakan sendang agar para peri bersih dari prasangka manusia. Ketika hijab terbuka, manusia mengalami katarsis, terkesima dengan kenyataan eksistensial yang sebenar-benarnya.

Keadaan batin semacam ini akan bisa tercapai setelah kita bersih dari prasangka kita sendiri. Ketika manusia bersedia keluar dari cangkang domestik penalarannya yang penuh subyektifitas cermin diri, lalu menghadapi hidup sebagaimana apa adanya dia.

Puisi ini adalah kiasan dari hidup itu sendiri. Hidup itu pada dasarnya pasif. Hanya menunggu maut. Bahkan sampai tempat kita menunggu ini dipenuhi lumut kita tak kunjung bisa memisahkan mana yang abadi mana yang profan. Mana yang fana mana yang selamanya.Sampai tiba saatnya ajal 'menerbitkan purnama', barulah kita terkesima.

Tergoda dengan kehidupan lain di sana. Rupanya bentuk kesadaran yang paripurna itu memang terletak di ujung cerita adanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun