Benda-benda domestik ini dipoles dan diberi landasan ontologis agar konek dengan latar kesadaran kosmologi yang melingkupinya. Kita dihadapkan dengan prasangka dan pengandaian kita sebelumnya tentang kehidupan, sebelum akhirnya tersentak sendiri dengan hakikat kenyataan yang sebenarnya. Kita pernah terbujuk dengan sukarela(bahkan merasa nikmat) mengikuti alur cerita yang kita kira merujuk pada sesuatu entah di mana, namun ternyata ujungnya justru menunjuk pada duni nyata di sini.
Secara alusif  Jokpin mengisyaratkan bahwa apa yang kita proyeksikan selama ini sebagai dunia luar, ternyata serupa dengan dunia dalam. Fantasi kita tentang dunia, sebenarnya adalah pantulan bayangan dari keadaan dunia batin kita sendiri.
Untunglah ada para arwah memberi kita pencerahan: mereka telah menciptakan sendang agar para peri bersih dari prasangka manusia. Ketika hijab terbuka, manusia mengalami katarsis, terkesima dengan kenyataan eksistensial yang sebenar-benarnya.
Keadaan batin semacam ini akan bisa tercapai setelah kita bersih dari prasangka kita sendiri. Ketika manusia bersedia keluar dari cangkang domestik penalarannya yang penuh subyektifitas cermin diri, lalu menghadapi hidup sebagaimana apa adanya dia.
Puisi ini adalah kiasan dari hidup itu sendiri. Hidup itu pada dasarnya pasif. Hanya menunggu maut. Bahkan sampai tempat kita menunggu ini dipenuhi lumut kita tak kunjung bisa memisahkan mana yang abadi mana yang profan. Mana yang fana mana yang selamanya.Sampai tiba saatnya ajal 'menerbitkan purnama', barulah kita terkesima.
Tergoda dengan kehidupan lain di sana. Rupanya bentuk kesadaran yang paripurna itu memang terletak di ujung cerita adanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H