Berpuluh tahu saya melewati jalan Ahmad Yani sampai hapal betul lekuk lubangnya hingga jumlah pohon trembesi yang merimbun di kedua sisisinya. Beberapa pengendara yang punya rutinas serupa, kadang melambai, kadang menganggukan kepala. Tak jarang kami tertawa atau geleng-geleng kepala melihat sekelompok pengendara sepeda balap yang mengangkangi jalan raya persis pada tempat dan jam yang sama. Pusat keramaian di mana tiga buah sekolah besar saling berseberangan.
Namun selang tiga tahun belakangan saya melihat ada yang beda pada jalan A. Yani, banyak ODGJ berkeliaran lebih dari biasa. Orang-orang baru yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Saya jadi ingat, ada RSJ yang baru buka sekitar dua kilo dari jalan kesayangan saya. Mungkin kawan-kawan baru ini adalah para alumnus yang sedang magang, pikir saya.
Berbulan-bulan kemudian sadarlah saya, bahwa sebagian penggembira jalan raya ini tidak sepenuhnya new entry. Mereka ini adalah orang-orang lama dengan penampilan baru. Bahkan da yang berasal dari kampung saya, lima belas kilo jauhnya dari jalan raya. Wah, sayapun memperhatikan secara lebih seksama.
Suatu pagi, di perempatan lampu merah, saya ikut berhenti. Di depan sana, sebuah mobilio silver menepi ke pinggir. Seorang wanita muda dengan pakaian resmi kantoran turun. Dari lampu merah hingga limapuluh meter ke depan tak ada bangunan karena lahannya telah dibebaskan. Ada baliho bertuliskan: "Di sini akan segera dibangun kampus baru bla bla..."
Tak jauh dari baliho itu, ada semacam bangunan kayu tak beratap yang saya duga bekas WC dari rumah yang telah dibongkar. Rumah pemilik lahan sebelumnya. Ke sanalah wanita elegan itu menuju. Belum sampai ia ke WC, seorang ODGJ gondrong muncul keluar. Wanita itu berbicara sebentar lalu memberikan kantong plastik yang dibawanya. Mas gondrong garuk-garuk kepala sambil tertawa-tawa. Wanita tersebut kembali ke mobil dan pergi ke arah kota, Banjarmasin. Saya tercenung. Ternyata bekas WC itu ada penghuninya dan wanita elegan itu memperhatikan secara diam-diam.
Kejadian itu terus teringat oleh saya sampai malam. Hari-hari berikutnya, saya memperhatikan
keadaan jalanan dengan lebih jeli dan fokus. Rupanya bukan hanya wanita elegan itu saja yang
berbuat demikian, pedagang kaki lima, tukang sayur, bahkan penjual mainan anak-anak
mempunyai 'anak asuhnya' sendiri. Seorang perempuan gendut penjual lontong sayur dekat
sekolah, selalu memanggil ODGJ langganannya sebelum mulai berdagang. Uang dua ribu rupiah
yang ia berikan tersebut pastilah uang pertama yang ia dapat hari itu. Uang laba dari dua porsi
kecil lontong yang terjual.
Mengertilah saya, rupanya daerah ini telah menjadi semacam suaka kecil dari para ODGJ sekitar.
Orang-orang yang tak jelas asal-usulnya ini seperti menemukan keluarga di sepanjang jalan
ini. Mereka mendapatkan kehangatan hati di sini. Sesuatu yang mungkin tidak mereka miliki
sebelumnya, salah satu hal yang menyebabkan mereka jadi ODGJ.
Pikiran saya jadi berkepanjangan. Saya bayangkan salah satu dari mereka adalah keluarga
saya, sepupu jauh atau bahkan saudara sendiri. Di mana mereka tidur? Ke mana mereka berteduh
kalau hujan malam-malam? Bagaimana kalau mereka sakit, siapa yang mengurus? Bagaimana
cara mereka bertahan hidup?
Pertanyaan terakhir saya sudah terjawab barusan. Tapi pertanyaan-pertanyaan lain belum bisa
saya bayangkan jawabannya. Kehidupan memang punya logika dan rumusnya sendiri. Banyak
hal terselenggara dengan cara yang tidak pernah terpikirkan oleh kita. Banyak masalah yang
seakan selesai dengan sendirinya tanpa campur tangan manusia. Siapakah yang menggerakkan
hati orang-orang sekitar jalan ini untuk bersimpati pada ODGJ? Ataukah kehalusan rasa tersebut
memang sudah jadi darah daging karakter masyarakat kita?
Setelah bertahun-tahun mencari inspirasi ke ke sana kemari. Ke acara-acara talk show yang
penuh iklan, berita viral, dan fiksi-fiksi penuh imajinasi, saya seperti merasakan kelegaan
dan limpahan kenikmatan hati yang menentramkan. Rasa satu jiwa dan kohesi batin yang sangat
kuat. Inilah seharusnya yang menjadi jati diri kebangsaan kita. Cinta kasih kemanusiaan, rasa
peduli yang mendalam, adalah ikatan batin yang tak bisa dipalsukan. Dalam asuhan kelapangan
hati nurani semacam inilah selayaknya bangsa kita bertumbuh dan dibesarkan. Bukan dalam
lapis-lapis kamuflase pencitraan atau hati culas yang dibungkus dengan aneka sogokan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H