Mohon tunggu...
Abdurrazzaq Zanky
Abdurrazzaq Zanky Mohon Tunggu... Petani - petani.

Senang membaca segala jenis buku, nulis diary, mengamati lingkungan alam dan sosial, menertawakan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Ada Hati di Jalan Ahmad Yani

16 November 2024   07:57 Diperbarui: 16 November 2024   08:00 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pxhere.com/id/photo/763405

Ada Hati Di Jalan Ahmad Yani

Berpuluh tahu saya melewati jalan Ahmad Yani sampai hapal betul lekuk lubangnya hingga jumlah pohon trembesi yang merimbun di kedua sisisinya. Beberapa pengendara yang punya rutinas serupa, kadang melambai, kadang menganggukan kepala. Tak jarang kami tertawa atau geleng-geleng kepala melihat sekelompok pengendara sepeda balap yang mengangkangi jalan raya persis pada tempat dan jam yang sama. Pusat keramaian di mana tiga buah sekolah besar saling berseberangan.

Namun selang tiga tahun belakangan saya melihat ada yang beda pada jalan A. Yani, banyak ODGJ berkeliaran lebih dari biasa. Orang-orang baru yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Saya jadi ingat, ada RSJ yang baru buka sekitar dua kilo dari jalan kesayangan saya. Mungkin kawan-kawan baru ini adalah para alumnus yang sedang magang, pikir saya.

Berbulan-bulan kemudian sadarlah saya, bahwa sebagian penggembira jalan raya ini tidak sepenuhnya new entry. Mereka ini adalah orang-orang lama dengan penampilan baru. Bahkan da yang berasal dari kampung saya, lima belas kilo jauhnya dari jalan raya. Wah, sayapun memperhatikan secara lebih seksama.

Suatu pagi, di perempatan lampu merah, saya ikut berhenti. Di depan sana, sebuah mobilio silver menepi ke pinggir. Seorang wanita muda dengan pakaian resmi kantoran turun. Dari lampu merah hingga limapuluh meter ke depan tak ada bangunan karena lahannya telah dibebaskan. Ada baliho bertuliskan: "Di sini akan segera dibangun kampus baru bla bla..."

Tak jauh dari baliho itu, ada semacam bangunan kayu tak beratap yang saya duga bekas WC dari rumah yang telah dibongkar. Rumah pemilik lahan sebelumnya. Ke sanalah wanita elegan itu menuju. Belum sampai ia ke WC, seorang ODGJ gondrong muncul keluar. Wanita itu berbicara sebentar lalu memberikan kantong plastik yang dibawanya. Mas gondrong garuk-garuk kepala sambil tertawa-tawa. Wanita tersebut kembali ke mobil dan pergi ke arah kota, Banjarmasin. Saya tercenung. Ternyata bekas WC itu ada penghuninya dan wanita elegan itu memperhatikan secara diam-diam.

Kejadian itu terus teringat oleh saya sampai malam. Hari-hari berikutnya, saya memperhatikan

keadaan jalanan dengan lebih jeli dan fokus. Rupanya bukan hanya wanita elegan itu saja yang

berbuat demikian, pedagang kaki lima, tukang sayur, bahkan penjual mainan anak-anak

mempunyai 'anak asuhnya' sendiri. Seorang perempuan gendut penjual lontong sayur dekat

sekolah, selalu memanggil ODGJ langganannya sebelum mulai berdagang. Uang dua ribu rupiah

yang ia berikan tersebut pastilah uang pertama yang ia dapat hari itu. Uang laba dari dua porsi

kecil lontong yang terjual.

Mengertilah saya, rupanya daerah ini telah menjadi semacam suaka kecil dari para ODGJ sekitar.

Orang-orang yang tak jelas asal-usulnya ini seperti menemukan keluarga di sepanjang jalan

ini. Mereka mendapatkan kehangatan hati di sini. Sesuatu yang mungkin tidak mereka miliki

sebelumnya, salah satu hal yang menyebabkan mereka jadi ODGJ.

Pikiran saya jadi berkepanjangan. Saya bayangkan salah satu dari mereka adalah keluarga

saya, sepupu jauh atau bahkan saudara sendiri. Di mana mereka tidur? Ke mana mereka berteduh

kalau hujan malam-malam? Bagaimana kalau mereka sakit, siapa yang mengurus? Bagaimana

cara mereka bertahan hidup?

Pertanyaan terakhir saya sudah terjawab barusan. Tapi pertanyaan-pertanyaan lain belum bisa

saya bayangkan jawabannya. Kehidupan memang punya logika dan rumusnya sendiri. Banyak

hal terselenggara dengan cara yang tidak pernah terpikirkan oleh kita. Banyak masalah yang

seakan selesai dengan sendirinya tanpa campur tangan manusia. Siapakah yang menggerakkan

hati orang-orang sekitar jalan ini untuk bersimpati pada ODGJ? Ataukah kehalusan rasa tersebut

memang sudah jadi darah daging karakter masyarakat kita?

Setelah bertahun-tahun mencari inspirasi ke ke sana kemari. Ke acara-acara talk show yang

penuh iklan, berita viral, dan fiksi-fiksi penuh imajinasi, saya seperti merasakan kelegaan

dan limpahan kenikmatan hati yang menentramkan. Rasa satu jiwa dan kohesi batin yang sangat

kuat. Inilah seharusnya yang menjadi jati diri kebangsaan kita. Cinta kasih kemanusiaan, rasa

peduli yang mendalam, adalah ikatan batin yang tak bisa dipalsukan. Dalam asuhan kelapangan

hati nurani semacam inilah selayaknya bangsa kita bertumbuh dan dibesarkan. Bukan dalam

lapis-lapis kamuflase pencitraan atau hati culas yang dibungkus dengan aneka sogokan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun