Mohon tunggu...
Abdurrahman
Abdurrahman Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti Madya di SegiPan (Serikat Garda Intelektual Pemuda Analisis Nasionalisme)

Tertarik dengan kajian kebijakan publik dan tata pemerintahan serta suka minum kopi sambil mengamati dengan mencoba membaca yang tidak terlihat dari kejadian-kejadian politik Indonesia. Sruput... Kopi ne...!?

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menakar Kembali Sumber Kekuatan KIB dalam Memposisikan Sikap Politiknya Pasca Ditinggalkan PPP

19 Juli 2023   12:38 Diperbarui: 19 Juli 2023   12:50 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://asset.kompas.com

Opini oleh: Abdurrahman, inisiator Cahaya Timur Institute


Pilihan; Golkar dan PAN bubarkan KIB dengan masuk koalisi lainya sebagai pelengkap atau meneruskannya dengan peluang besar keluar sebagai pemenang Pemilu?

A. Preposisi Nilai Kekuatan Koalisi Menuju Pendaftaran Pasangan Capres-Cawapres

19 Oktober 2023, sampai dengan 25 November 2023 adalah pendaftaran Calon Presiden dan Wakil Presiden berpasangan yang diajukan oleh partai atau gabungan partai politik. Tinggal sekitar 92 hari (saat artikel ini ditulis) atau 3 bulan lagi pendaftaran pasangan Capres-Cawapres dari koalisi gabungan partai pengusung.

Secara peta koalisi sangat memungkinkan terjadi 4 (empat) koalisi dengan kemungkinan 4 (empat) pasang calon capres-cawapres. Sebab ada 'Presidensial Threshold' 20% kursi DPR RI atau 25% suara nasional. Jika kursi, berarti butuh 115 kursi DPR.

Koalisi gabungan partai sampai detik ini ada Nasdem (59 kursi), Demokrat (54 kursi), dan PKS (50 kursi), jadi total 163 kursi atau 28,3% kursi DPR. Tiga partai sepakat mengusung AB (Anis Baswedan) sebagai Capres, kemungkinan Cawapres bulat pada AHY (Agus Harimurti Yudhoyono). Idiom gabungan partai ini "Koalisi Perubahan untuk Persatuan" disingkat KPP.

Kenapa AHY, sebab penunjukkan AB oleh Nasdem secara segmentasi tidak jauh beda dengan PKS, pemilihnya. Jadi logis AHY diharapkan dapat meraup suara di luar segmentasi Nasdem dan PKS untuk memenangkan pasangan Capres-Cawapres mereka. Selain itu keduanya secara pribadi juga punya segmentasi dominan tersendiri, sebagai efek ekor jas pada tiga partai.

Selanjutnya koalisi gabungan partai Gerindra (78 kursi) dan PKB (58 kursi), total 136 kursi, 23,7% kursi DPR. Bisa dikatakan ini adalah koalisi pertama untuk menuju Pilpres 2024, kesolidannya bisa diakui walaupun banyak isu dan wacana menggoyahkan koalisi ini dari luar. Menyebut koalisi ini dengan akronim KKIR atau "KIR" saja (Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya).

Mengusung PS08 (Prabowo Subianto Djojohadikusumo) sebagai Capres, sangat logis juga jika mengusung Cak Imin (Muhaimin Iskandar) Ketum PKB. Belakangan Yusril Ihza Mahendra Ketua PBB siap bergabung dengan koalisi ini, partai peserta Pemilu 2019 non-parlemen. Sebelumnya juga elit Gelora non peserta Pemilu 2019 mewacanakan mendukung PS08. Kedua partai dan tokoh usungan Capres-cawapres punya segmentasi pemilih yang kontras, tapi saling melengkapi, walaupun identik sama-sama pemilih tradisional kedua partai ini.

Selanjutnya, PDIP (128 kursi), PPP (19 kursi), dan ditambah partai peserta 2019 non-parlemen yakni Hanura dan Perindo. Total kursi 147, sekitar 25,6% kursi DPR. Deklarasi Capres mengusung GP (Ganjar Pranowo), dengan Cawapres sangat logis jika Puan Maharani dari PDI-P atau Sandiaga Uno dari PPP sebagai Cawapres. Gabungan partai ini mengusung tagline yang kemungkinan akan jadi nama koalisi, yakni "Gerak Cepat Indonesia Maju" sebut saja 'GCIM'.

Senter PSI peserta Pemilu 2019 non-parlemen juga bergabung dengan koalisi GP ini, tapi belakangan masih menunggu dan melihat. Padahal PSI bisa dikatakan adalah sebagai partai pertama kali yang terang-terangan mendeklarasikan GP sebagai Capres, jauh sebelum PDI-P, PPP, Hanura, dan Perindo.

Empat partai pengusung GP ini sudah melakukan aktivitas bareng membangun relawan, yakni PDI-P, PPP, Hanura, dan Perindo, menyelenggarakan bareng pelatihan Jurkam (juru kampanye) Ganjar Pranowo, PSI tidak terlibat disitu. PSI adalah partai rasional sebab banyak anak muda disitu yang selalu penuh inisiatif tidak terduga, kita menunggu posisi inisiatif PSI selanjutnya. Segmentasi kedua partai sangat ideologis, jadi memang pantas PDI-P dan PPP berkoalisi sebab secara karakteristik pemilih bisa dikatakan sama tapi beda.

Terakhir yakni koalisi gabungan partai Golkar (85 kursi) dan PAN (44 kursi) dimana sebelumnya juga PPP membentuk KIB (Koalisi Indonesia Bersatu), dengan hanya dua partai, KIB kini masih total 129 kursi atau 22,4%. Sudah jelas PPP keluar dari KIB bergabung mengusung GP. Secara wacana awalnya kuat AH (Airlangga Hartarto) sebagai Capres, PAN kuat membawa ETo (Erick Thohir) sebagai Cawapres, kemudian Muhadjir Effendy didengungkan belakangan untuk diusung Cawapres PAN.

KIB dimana tersisa Golkar dan PAN mau diakui atau tidak adalah koalisi yang labil dan terus terang bisa dinilai koalisi rapuh yang akan bubar. Sebab dalam jajak pendapat tokoh yang muncul dari koalisi ini hanya ETo, itupun sebagai Cawapres. AH sebagai partai pemimpin partai terkuat di koalisi ini, yakni 85 kursi Golkar tidak masuk sama sekali dalam jajak pendapat di 5 (lima) besar sekalipun.

Belakangan PAN terkesan mulai goyah, dan sinyal seperti akan keluar dari KIB mengikuti PPP. Keberanian dari ketakutan PAN mulai menjajaki koalisi baru dengan KIR dan GCIM. PAN dalam bayang-bayang Partai Ummat yang secara segmentasi sama, dimana Amien Rais pentolan Partai Ummat adalah salah satu pendiri PAN. Tidak heran PAN penuh manuver, salah satu manuver yang menonjol, menarik dan mengusung banyak artis dan mantan aktivis untuk maju sebagai calon legislatif.

Sedangkan Golkar bisa dikatakan partai yang tidak banyak gerak, lebih tidak keliatan kalau tidak mau dikatakan tenggelam dalam wacana Capres-Cawapres. Walaupun PPP sudah jelas keluar dari KIB dan bergabung dengan GCIM, PAN terlihat sekali ketakutan akan tergantikan oleh Partai Ummat. 

Dimana trauma PAN kalah dua kali dalam mengusung Presiden dalam Pemilu, sangat kentara kegelisahan elit PAN tidak dapat cocktail effect atau efek ekor jas dari Kandidat Pilpres dan benar-benar terpental dari parlemen. Golkar tetap terkesan tenang dengan kegelisahan dua partai koalisinya. Walaupun belakangan Dewan Pakar Golkar mulai ada riak-riak, bagaimana nasib Golkar di percaturan Pilpres?

Segmentasi pemilih kedua partai ini, yakni Golkar dan PAN sama-sama konservatif. Keduanya kuat sebab elit-elitnya adalah tokoh-tokoh lokal yang menonjol dan punya pengaruh besar serta ikatan yang kuat di daerah masing-masing. Mungkin ini yang menyebabkan kedua partai ini terkesan bingung menentukan pasangan Capres-Cawapres, sebab kebanyakan tokoh-tokoh kuat, walaupun kekuatan tersebut di tingkat lokal atau di kelompoknya, pengaruh dan ikatan tersebut. Jadi jangan heran perolehan suara dan kursi kedua partai ini stabil.

Akan tetapi secara koalisi KIR, GCIM, serta KPP, adalah poros yang stabil dan dapat dipastikan mendaftarkan Capres usungannya, walaupun belum satu pun koalisi menetapkan Cawapres, walaupun juga kita sudah tahu sedikit rahasia siapa-siapa Cawapres ketiga koalisi gabungan partai tersebut (KIR, GCIM, KPP), kepastian koalisi tersebut masalah waktu kalau hanya tentang Cawapres. Lalu bagaimana KIB, tersisa Golkar dan PAN yang cukup kuat dengan 22,4% menjaga kestabilan koalisi?

Mari lihat kembali kekuatan 'Presidential Threshold' dari empat koalisi;

1. KPP 28,3% (163 kursi), Nasdem, Demokrat, PKS.

2. KIR 23,7% (136 kursi), Gerindra, PKB.

3. GCIM 25,6% (147 kursi), PDI-P, PPP.

4. KIB- 22,4% (129 kursi), Golkar, PAN.

Sejauh ini partai tersebut sebagai pemilik hak Presidential Threshold secara kursi, secara suara nasional masih ada PBB, PSI, dan Garuda, juga Berkarya dan PKPI walaupun tidak lolos jadi peserta Pemilu 2024. 

Partai-partai tersebut diatas semuanya disebut sebagai partai pengusung secara legal standing. Sedangkan partai baru dalam Pilpres 2024 sebagai partai pendukung seperti PKN, Partai Buruh, Gelora, dan Partai Ummat. Sebab tidak punya suara nasional apalagi kursi parlemen, karena belum pernah ikut pemilu.

B. Mengkalkulasi Akseptabilitas para Kandidat Bagaimana Pemenangan Pilpres dan Cocktail Effect Berdampak pada Suara Kursi Parlemen Partai Pengusung 

Dalam mengkalkulasi Akseptabilitas atau mengukur keterimaan kandidat kita biasanya memakai pendekatan sumber kekuatan kepemimpinan membangun ikatan. Jika dilakukan jajak pendapat ini biasanya seputar likeability (kesukaan) dan engagement (hubungan timbal balik), yang sangat bersifat internal pribadi pada kandidat maupun pada pemilih dalam menentukan sikap politiknya. Berbeda jajak pendapat pada popularitas dan elektabilitas kandidat yang lebih pada preferensi atau referensi eksternal pribadinya.

Dalam dunia sosial media dikenal rate influence dan rate mativation impact, praktek untuk membangunnya di lapangan saat dinominasikan sebagai kandidat umumnya bagaimana perilaku kandidat dalam menyikapi isu-isu dan bagaimana komitmen menghadapi isu-isu tersebut, atau sebelum jadi kandidat bagaimana karakternya selama ini. 

Jika disimpulkan satu kata yakni "interaksi" kandidat dengan masyarakat dalam komitmen membawa bangsa ini saling kerjasama, bukan kerja bersama-sama, semacam koalisi dan oposisi semu dalam perpolitikan kita.

Akseptabilitas biasanya jarang dengan jajak pendapat tapi menggunakan panelis, minimal tiga orang dari berbagai latar belakang dan keilmuan. Semacam uji kepatutan, kelayakan, dan kepantasan seseorang untuk menduduki posisi tertentu. Ada juga dengan debat publik, konvensi, kontrak politik, lobi, negosiasi, dan lain sebagainya dengan berbagai macam segmentasi pemilih.

Banyak variabel dan parameter serta indikator untuk mengukur akseptabilitas. Umumnya jika panelis menggunakan pendekatan teori sumber kekuatan kepemimpinan mempengaruhi atau mendapatkan kekuasaan. Ada delapan sumber kekuatan yakni;

1. Kepatutan

a. Reward, 

b. Legitimate, 

c. Coercive,

2. Kalayakan

a. Expert, 

b. Referent,

3. Kepantasan

a. Charismatic,

b. Communication, 

c. Connection,

Sederhananya, akseptabilitas indikatornya adalah apakah seseorang tersebut dapat menginspirasi (inpires) dan memotivasi (motivates). Bertindak menyampaikan yang hak apa adanya, tanpa mengurangi apalagi melebihi, bisa juga tidak ngeles jika memang salah tidak beretika atau bermoral, secara dasar yakni estetika atau sewajarnya. Bertindak selalu memperbaiki diri secara kemampuan dan suka belajar hal baru, secara dasar yakni kreatif atau mampu menciptakan solusi dalam setiap permasalahan. Estetika dan kreatif akan menginspirasi orang lain.

Secara perilaku kandidat tersebut berkarakter/sikap (identifikasi seseorang/pandangan seseorang) transparan, terbuka, atau jujur yakni secara dasar yakni beretika. Berperilaku/bersikap bertanggungjawab, tidak dholim yakni menempatkan sesuatu pada tempatnya, atau amanah secara dasar yakni bermoral. Etika dan moral akan memotivasi orang lain.

Bertindak menyampaikan yang hak apa adanya, tanpa mengurangi apalagi melebihi, bisa juga tidak ngeles jika memang salah tidak beretika atau bermoral, secara dasar yakni estetika atau sewajarnya. Bertindak selalu memperbaiki diri secara kemampuan dan suka belajar hal baru, secara dasar yakni kreatif atau mampu menciptakan solusi dalam setiap permasalahan. Estetika dan kreatif akan menginspirasi orang lain.

Akseptabilitas adalah pondasi atau kunci pemenangan suksesi kekuasaan. Dalam pemilu hal ini menjadi dasar dalam membangun basis pemilih, yakni bagaimana kandidat dapat meraup suara atau bagaimana masyarakat pemilih menentukan sikap politiknya, dalam hal ini memberikan suaranya pada kandidat.

Bahkan, akseptabilitas menjadi dasar awal untuk mengetahui siapa yang akan keluar sebagai pemenang dalam kompetisi pemilihan umum. Pertanyaannya, dari tokoh-tokoh yang di calonkan sebagai kandidat Presiden dan Wakil Presiden dari koalisi-koalisi yang ada, bagaimana tingkat akseptabilitas kandidat-kandidat tersebut? Seberapa besar 'coacktail effect' pada perolehan suara partai untuk kursi parlemen?

C. Kalkulasi Ulang Dampak Akseptabilitas Kandidat dan Partai Terutama Partai Tersisa di KIB 

Dari tiga koalisi selain KIB sudah bisa dipastikan siapa Capresnya yakni GP (GCIM), PS08 (KIR), dan AB (KPP), pun Cawapresnya sudah dapat dipastikan yakni Sandi (GCIM), Cak Imin (KIR), AHY (KPP). Tinggal meramu saling menguatkan dan melengkapi akseptabilitas antara Capres dan Cawapres, bagaimana membangunnya hingga nanti masuk masa kampanye bulan November akhir setelah pendaftaran Oktober. Tentunya bagi partai pengusung dan pendukung tinggal menentukan strategi untuk mendapatkan efek ekor jas.

Lalu bagaimana dengan KIB, tentunya bisa dipastikan Cawapresnya yakni ETo, lalu Capresnya secara akseptabilitas jika AH dipaksakan, sedangkan AH dan ETo secara garis besar punya kesamaan secara parameter akseptabilitas. Impact akseptability pada kalkulasi parameter popularitas dan elektabilitas masih besar ETo, faktanya AH tidak muncul dalam lima besar Capres, bahkan AH sering tidak terdengar dalam beberapa jajak pendapat terakhir. Apa yang diharapkan dari efek ekor jas dari kandidat KIB ini pada Golkar dan PAN?

Kenyataan ini bagi KIB tentu menjadi koreksi, apalagi bagi partai masing-masing kandidat Capres-Cawapres mempunyai dampak ekor jas pada perolehan suara partai pengusung di kursi parlemen. Lambannya menyikapi lemahnya akseptabilitas AH sebagai usungan Capres yang berdampak pada parameter popularitas dan elektabilitas, sepertinya menyebabkan PPP mengkalkulasi ulang hingga keluar dari KIB, dengan masuknya Sandi membikin mantap PPP berkoalisi dengan PDI-P. 

PAN pun begitu, jika dalam satu bulan ini tidak ada jalan keluar atas permasalahan akseptabilitas ini, kemungkinan juga akan keluar dari KIB dan berlabuh di koalisi yang ada sekarang. Gerak-gerik itu sudah mulai kelihatan dari manuver-manuver elit PAN berkunjung ke PS08 dan GP. Bahkan terindikasi Golkar sendiri yang akan hengkang dari KIB dengan adanya pertemuan AH dan GP, sebelumnya pun Golkar-PAN memberikan sinyal akan ke koalisi KIB, GCIM pun juga berharap.

Seperti tidak ada harga dirinya atau sudah tidak bernilai KIB ini sejak ditinggal PPP. Semacam perawan yang jadi rebutan koalisi-koalisi lainnya tapi syarat maskawinnya sangat mustahil untuk dipenuhi koalisi-koalisi yang ada, kalau mau dipersunting hanya jadi pelengkap semacam istri selir yang tidak punya kedudukan. Maksudnya Golkar dan PAN masuk koalisi diminta tanpa syarat, jika mengharapkan Cawapres tentu KIR, GCIM, dan KPP sudah punya Cawapres cuman belum dipublikasikan saja, kalau Capres tentu suatu hal mustahil. 

Urusan koalisi ini kondisinya sekarang bagi Golkar dan PAN semacam dipaksa melucuti senjata atau menyerah sebelum berperang. Padahal urusan koalisi ini untuk menambah kemenangan Pilpres dan partai utamanya dalam meraup suara parlemen (Coacktail Effect). Dari sudut pandang eksistensi partai, Golkar dan PAN dipaksa bunuh diri dengan gabung koalisi yang ada sekarang atau meneruskan koalisi tersisa KIB ini untuk eksistensi. 

Terutama bagi PAN untuk masalah eksistensi dengan adanya Partai Ummat, bagi Golkar tentu tidak masalah sebab sudah teruji dengan banyak pecahan partai (tercatat ada tujuh pecahan Golkar) tetap eksis di tiga besar perolehan suara maupun kursi. Beda karakteristik elit partai dan pemilih antara Golkar dan PAN yang sangat menentukan eksistensi partai. 

PAN dalam pemilu 2024 tentu akan hilang eksistensinya jika tidak mampu meningkatkan akseptabilitasnya, beruntungnya masih ada ETo yang sangat membantu PAN dalam menaikkan akseptabilitas, semisal dalam perekrutan caleg yang berlatar aktivis maupun selebritis/artis. Dengan rong-rongan Partai Ummat secara kader dan infrastruktur, mampu meyakinkan tambahan petarung dari luar kader dengan infrastruktur baru serta wacana yang beragam dalam merekrut Caleg untuk bertarung di Pileg. 

Bagaimana jika ETo keluar dari PAN sebab tidak jadi cawapres? Terutama dampak pada semangat tempur Caleg yang sebab faktor daya akseptabilitas ETo gabung jadi caleg PAN? Mari kalkulasi ulang antara PAN dan Partai Ummat dimana jika irisan segmentasi pemilih kedua partai ini dibagi dua, setidaknya Partai Ummat dan PAN sama-sama tidak lolos parlemen, sebab segmentasi pemilih ini terwakili hanya sekitar 7,6% kursi di parlemen sedangkan suara nasional hanya 6,8%. 

Artinya sama-sama mendapatkan 3,4% suara nasional yang pasti tidak lolos Parliamentary Threshold, tidak masuk senayan. Atau salah satu keduanya mampu mempertahankan minimal diatas 4% dengan segmentasi pemilih yang sama, artinya salah satu lolos Senayan sedangkan yang lain tidak, sebab hanya mendapatkan 2,8%.

Tantangan itu tentu sudah terjawab dengan adanya ETo sebagai usungan Cawapres, wacana yang beragam, infrastruktur tambahan, serta petarung/caleg yang bervariatif diluar segmentasi basis PAN selama ini. Tentunya wacana Muhadjir Effendy hanyalah lelucon elit PAN atau setidaknya menjaga ritme basis tradisi tetap di PAN bukan di Partai Ummat.

Bagi Golkar menghadapi pemilu 2024 mungkin suatu lumayan stabil, sebab tidak ada partai baru dari pecahan elit partai. Menuju 2019 ada Berkarya, menuju 2014 ada Nasdem, menuju 2009 ada Gerindra, banyak lagi ketika pemilu 1999 dan 2004. Party ID dari Golkar sudah kebentuk, jika ada elit keluar membangun partai baru, tentu partai baru tersebut harus bertahan atau punah jika tidak mampu membangun party ID baru (kunci parameter akseptabilitas partai). 

Sedangkan party ID PAN dan Partai Ummat ini hanya ganti baju saja, apalagi Amien Rais dulunya adalah pendiri PAN yang sekarang jadi pentolan Partai Ummat. Langkah elit PAN mampukah menambah atau mengembangkan party ID tersebut, hal itu tentunya sudah dilakukan. Bagaimana jika tidak dapat mempertahankan KIB dan dapat mengusung ETo sebagai Cawapres. Sedangkan koalisi dengan partai lain, hanya pelengkap bumbu dari masakan yang sudah matang.

Akan tetapi apakah Golkar tidak akan terlempar dari tiga teratas jika KIB bubar lalu bergabung dengan koalisi lainya, serta tidak ada kader yang bertarung di Pilpres? 2019 adalah pengalaman pahit bagi partai Golkar ini, dimana partai ini pertama kali tidak ada kader yang bertarung sebagai Capres maupun Cawapres. 

Golkar pada 1999 masih nomor 2 maklum habis reformasi, lima tahun berikutnya bangkit jadi nomor 1 pada 2004 yang setidaknya konvensi mengembalikan daya tempur tokoh-tokoh elit partai untuk konsolidasi dengan mengusung Wiranto di Pilpres dengan Golkar dan juga JK walaupun beda pasangan dengan PKPI pecahan Golkar.

Nomor 2 di tahun 2009 dengan dengan JK dan Wiranto satu pasangan di Pilpres, uniknya disini kebalik dari 2004 yakni Wiranto dengan partai Hanura dan JK di Golkar, dan 2014 harusnya ARB di Pilpres tapi di last minute ada manuver, tapi suara bertambah walaupun secara persentase tetap, setidaknya pada 2014 Golkar dengan ARB masih pemegang pemain arus utama. Bahkan Golkar menjadi atensi pemberitaan dan serangan manuver-manuver habis-habisan.

Terjungkal ke nomor 3 pada 2019 dan baru pertama kali tidak ada wacana kader bertarung sebagai Capres maupun Cawapres atau sebagai inisiator pengusung pasangan Capres-Cawapres, juga bukan lagi pemegang arus utama atensi pemberitaan kandidat maupun percaturan nilai tawar. Isu internal dan habis selesai konsolidasi konflik dua kepengurusan menumpulkan daya petarung partai ini. 

AH memimpin Golkar sebagai jalan tengah kompensasi dualisme, dimana elit partai mulai malas bertarung di internal yang jadi ciri khas partai ini pasca reformasi, lalu periode kedua AH sepertinya semua mesin partai lemas, membikin mulus dan melenggangkan secara lancar AH tanpa rintangan apapun ke jabatan ke dua sebagai Ketua Umum. 

Seperti pandangan anggapan para pengamat, partai ini kehilangan tradisinya, dimana setiap kader dan elitnya punya jiwa petarung semua. Sejak 2014 semacam ada operasi melemahkan partai ini, dan mengompongkan taringnya sekaligus 2019. Banyak elit partai atau kader serta basis yang mulai enggan di cap Golkar, yakni lunturnnya party ID. Istilahnya yakni partai macan menjadi partai jinak-jinak merpati, untunglah 2024 jika tidak jadi merpati goreng. Padahal dulu ada lelucon jika ditanya agamanya pada orang di dusun-dusun, jawabannya Golkar. Sebagai idiom bagaimana kentalnya party ID dari partai Golkar.

Lihat selengkapnya perolehan suara partai ini pasca reformasi.

a. Peringkat 1 Pemilu 2004: 24.480.757 (21,58%) suara

b. Peringkat 2 Pemilu 2009: 15.037.757 (14,45%) suara

c. Peringkat 2 Pemilu 2014: 18.432.312 (14,75%) suara

d. Peringkat 3 Pemilu 2019: 17.229.789 (12,31%) suara

Dari trend ini apakah Golkar akan bertahan di nomor 3 secara kursi atau suara? Dengan variabel dan parameter serta rentetan peristiwa politik (fenomena perubahan tradisi partai). Pendapat saya secara pribadi sepertinya partai ini akan terjungkal dari lima besar. Hitungan sederhana, ada, 1. Gerindra, 2. PDI-P, 3. Nasdem, 4. PKB, 5. Demokrat, 6. PKS, 7. PPP, hal itu dari daftar partai koalisi yang solid kali ini. Prediksi nomor berapakah 8. Golkar, dan 9. PAN perolehan suara dan kursi nya secara nasional jika KIB bubar dan gabung ke koalisi lainnnya?

Jika PAN langkah preventif sudah dilakukan, bagaimana dengan Golkar? Akankah terulang kejadian 2014 yang merembet pada 2019 atau akan melakukan tindakan politik semacam 2004? Sejarah kadang menjadi pelajaran berharga dan menjadi preseden baik atau buruk bergantung kepemimpinan Golkar sekarang, ada Dewan Pimpinan Pusat, Dewan Pembina, Dewan Kehormatan, Dewan Penasehat, Dewan Pakar, Dewan Etik, Mahkamah Partai, Badan dan Lembaga.

Pendapat saya, AH mengambil langkah seperti Akbar Tandjung pada 2004. Sebagai Ketua Umum lebih mengkonsolidasikan internal partai menghadapi fakta tersebut serta fokus bagaimana resolusi permasalahan tersebut dan meningkatkan semangat tempur dengan menyelenggarakan konvensi calon usungan kandidatnya di Pilpres, kader internal atau simpatisan eksternal boleh ikut, semacam 2004 misalnya. 

AH sebagai Capres usungan Golkar adalah produk Munas, sedangkan untuk merubah tersebut dengan jalan Munaslub sarat akan banyak tunggangan. Hasil Rakernas Awal Juni definisinyan mulai fleksibel, Ketua Umum yakni AH "menetapkan" Capres dan Cawapres usungan Golkar serta koalisi. Apakah cukup waktu Golkar meniru Nasdem menetapkan AB sebagai Capres usungan koalisi KPP, semacam GP dari koalisi GCIM kini, yang terkecuali KIR bagaimana PS08 adalah elit teras partai, beda dengan GP dan AB. 

Bahkan AB bukan kader partai, dulunya hanya simpatisan elit ormas Nasdem sebelum berubah menjadi partai. Pun GP tidak seistimewa Jokowi, dan selentingan terdengar hanya reaksioner elit-elit PDI-P dari manuver-manuver koalisi yang ada untuk mengambil GP sebagai Cawapres atau Capres bahkan. Reaksioner dari antisipasi perpecahan internal serta basis jika GP diusung bukan oleh PDI-P, malah koalisi-koalisi lainnya. Hal ini tentu perlu konfirmasi kebenarannya. 

Preseden hal ini apakah Golkar akan bertahan mengusung AH atau dengan definisi baru hasil Rakernas awal Juni bahwa AH "menetapkan" Capres atau Cawapres serta koalisi. Tidak perlu konvensi, bisa saja memakai parameter akseptabilitas untuk menetapkan kandidat Capres usungan Golkar. 

Banyak tokoh elit politik lingkaran kabinet sekarang untuk diusung sebagai Capres, misal Luhut Binsar Panjaitan (Menkon Marves sekaligus Dewan Penasehat Golkar), Menko PMK Muhadjir Effendy walaupun keburu disoundingkan calon kandidat usungan PAN di Pilpres, Mahfud MD (Menkopolhukam), Moeldoko (KSP), Soekarwo (Mantan Gubernur Jatim sekaligus Dewan Penasehat Presiden), Ridwan Kamil (Gubernur Jabar sekaligus Bapilu Golkar), Khofifah Indar Parawansa (Gubernur Jatim). Bahkan yang lagi hangat terkait isu terkini serta permasalahan ekonomi kedepannya ada Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia.

Dengan pendekatan mengukur akseptabilitas bisa dengan panelis, konvensi, debat publik, lobi, negosiasi ke tokoh-tokoh lokal daerah sesuai segmentasi, dan lain-lain untuk mengukur akseptabilitas. Kandidat yang patut, layak, dan pantas untuk ditetapkan sebagai Capres usungan Golkar baru. 

Bisa saja hal itu dengan membentuk badan ad hoc yang di isi oleh elit partai atau pengurus partai sebagai penyelenggara mengukur akseptabilitas calon Capres yang akan ditetapkan oleh AH atau panelis dari berbagai pakar keilmuan dan tokoh-tokoh dari segmentasi pemilih. Hal inipun jika PAN masih berkomitmen untuk meneruskan KIB dan ETo masih bersedia sebagai Cawapres PAN.

D. Konklusi Pra Posisi 

Faktanya, semua partai pada putaran pertama Pilpres bagaimana mendapatkan coacktail effect, jadi suatu keharusan sepertinya bagaimana partai harus menjadi inisiator atau pengusung utama Capres maupun Cawapres. Hal ini bagaimana bertahan di parlemen dan menjaga marwah partai, jika mendapatkan kenaikan suara apalagi di kursi parlemen. 

Putaran kedua konsolidasi internal, dan etikanya partai yang tidak masuk putaran kedua memilih netral serta partai atau pasangan koalisi yang masuk putaran kedua tidak mengajak berkoalisi memenangkan putaran kedua. Agar siapapun pemenang Pilpres dapat merangkul seperti selama ini yang terjadi sejak 2004 hingga 2019 bagaimana partai bukan pengusung dapat berkoalisi dalam kabinet atau eksekutif. Tentunya secara proporsional sesuai koalisi sedari awal, koalisi untuk kestabilan parlemen sesuai persentase perolehan kursi.

Kita sudah punya preseden baik dalam hal mengelola konflik dan kepentingan serta kekuasaan sejak pemilih langsung presiden 2004 hingga kini tentang kabinet. Berkompetisi yang baik dan sehat walaupun panas meruncing ketika berkompetisi, tapi jika sudah ditetapkan pemenang secara konstitusi semua kembali pada sila 3 (tiga) Pancasila, yakni "Persatuan Indonesia", yang artinya bagaimanapun membangun bangsa butuh persatuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun