Preseden hal ini apakah Golkar akan bertahan mengusung AH atau dengan definisi baru hasil Rakernas awal Juni bahwa AH "menetapkan" Capres atau Cawapres serta koalisi. Tidak perlu konvensi, bisa saja memakai parameter akseptabilitas untuk menetapkan kandidat Capres usungan Golkar.Â
Banyak tokoh elit politik lingkaran kabinet sekarang untuk diusung sebagai Capres, misal Luhut Binsar Panjaitan (Menkon Marves sekaligus Dewan Penasehat Golkar), Menko PMK Muhadjir Effendy walaupun keburu disoundingkan calon kandidat usungan PAN di Pilpres, Mahfud MD (Menkopolhukam), Moeldoko (KSP), Soekarwo (Mantan Gubernur Jatim sekaligus Dewan Penasehat Presiden), Ridwan Kamil (Gubernur Jabar sekaligus Bapilu Golkar), Khofifah Indar Parawansa (Gubernur Jatim). Bahkan yang lagi hangat terkait isu terkini serta permasalahan ekonomi kedepannya ada Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia.
Dengan pendekatan mengukur akseptabilitas bisa dengan panelis, konvensi, debat publik, lobi, negosiasi ke tokoh-tokoh lokal daerah sesuai segmentasi, dan lain-lain untuk mengukur akseptabilitas. Kandidat yang patut, layak, dan pantas untuk ditetapkan sebagai Capres usungan Golkar baru.Â
Bisa saja hal itu dengan membentuk badan ad hoc yang di isi oleh elit partai atau pengurus partai sebagai penyelenggara mengukur akseptabilitas calon Capres yang akan ditetapkan oleh AH atau panelis dari berbagai pakar keilmuan dan tokoh-tokoh dari segmentasi pemilih. Hal inipun jika PAN masih berkomitmen untuk meneruskan KIB dan ETo masih bersedia sebagai Cawapres PAN.
D. Konklusi Pra PosisiÂ
Faktanya, semua partai pada putaran pertama Pilpres bagaimana mendapatkan coacktail effect, jadi suatu keharusan sepertinya bagaimana partai harus menjadi inisiator atau pengusung utama Capres maupun Cawapres. Hal ini bagaimana bertahan di parlemen dan menjaga marwah partai, jika mendapatkan kenaikan suara apalagi di kursi parlemen.Â
Putaran kedua konsolidasi internal, dan etikanya partai yang tidak masuk putaran kedua memilih netral serta partai atau pasangan koalisi yang masuk putaran kedua tidak mengajak berkoalisi memenangkan putaran kedua. Agar siapapun pemenang Pilpres dapat merangkul seperti selama ini yang terjadi sejak 2004 hingga 2019 bagaimana partai bukan pengusung dapat berkoalisi dalam kabinet atau eksekutif. Tentunya secara proporsional sesuai koalisi sedari awal, koalisi untuk kestabilan parlemen sesuai persentase perolehan kursi.
Kita sudah punya preseden baik dalam hal mengelola konflik dan kepentingan serta kekuasaan sejak pemilih langsung presiden 2004 hingga kini tentang kabinet. Berkompetisi yang baik dan sehat walaupun panas meruncing ketika berkompetisi, tapi jika sudah ditetapkan pemenang secara konstitusi semua kembali pada sila 3 (tiga) Pancasila, yakni "Persatuan Indonesia", yang artinya bagaimanapun membangun bangsa butuh persatuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H