Bertindak menyampaikan yang hak apa adanya, tanpa mengurangi apalagi melebihi, bisa juga tidak ngeles jika memang salah tidak beretika atau bermoral, secara dasar yakni estetika atau sewajarnya. Bertindak selalu memperbaiki diri secara kemampuan dan suka belajar hal baru, secara dasar yakni kreatif atau mampu menciptakan solusi dalam setiap permasalahan. Estetika dan kreatif akan menginspirasi orang lain.
Akseptabilitas adalah pondasi atau kunci pemenangan suksesi kekuasaan. Dalam pemilu hal ini menjadi dasar dalam membangun basis pemilih, yakni bagaimana kandidat dapat meraup suara atau bagaimana masyarakat pemilih menentukan sikap politiknya, dalam hal ini memberikan suaranya pada kandidat.
Bahkan, akseptabilitas menjadi dasar awal untuk mengetahui siapa yang akan keluar sebagai pemenang dalam kompetisi pemilihan umum. Pertanyaannya, dari tokoh-tokoh yang di calonkan sebagai kandidat Presiden dan Wakil Presiden dari koalisi-koalisi yang ada, bagaimana tingkat akseptabilitas kandidat-kandidat tersebut? Seberapa besar 'coacktail effect' pada perolehan suara partai untuk kursi parlemen?
C. Kalkulasi Ulang Dampak Akseptabilitas Kandidat dan Partai Terutama Partai Tersisa di KIBÂ
Dari tiga koalisi selain KIB sudah bisa dipastikan siapa Capresnya yakni GP (GCIM), PS08 (KIR), dan AB (KPP), pun Cawapresnya sudah dapat dipastikan yakni Sandi (GCIM), Cak Imin (KIR), AHY (KPP). Tinggal meramu saling menguatkan dan melengkapi akseptabilitas antara Capres dan Cawapres, bagaimana membangunnya hingga nanti masuk masa kampanye bulan November akhir setelah pendaftaran Oktober. Tentunya bagi partai pengusung dan pendukung tinggal menentukan strategi untuk mendapatkan efek ekor jas.
Lalu bagaimana dengan KIB, tentunya bisa dipastikan Cawapresnya yakni ETo, lalu Capresnya secara akseptabilitas jika AH dipaksakan, sedangkan AH dan ETo secara garis besar punya kesamaan secara parameter akseptabilitas. Impact akseptability pada kalkulasi parameter popularitas dan elektabilitas masih besar ETo, faktanya AH tidak muncul dalam lima besar Capres, bahkan AH sering tidak terdengar dalam beberapa jajak pendapat terakhir. Apa yang diharapkan dari efek ekor jas dari kandidat KIB ini pada Golkar dan PAN?
Kenyataan ini bagi KIB tentu menjadi koreksi, apalagi bagi partai masing-masing kandidat Capres-Cawapres mempunyai dampak ekor jas pada perolehan suara partai pengusung di kursi parlemen. Lambannya menyikapi lemahnya akseptabilitas AH sebagai usungan Capres yang berdampak pada parameter popularitas dan elektabilitas, sepertinya menyebabkan PPP mengkalkulasi ulang hingga keluar dari KIB, dengan masuknya Sandi membikin mantap PPP berkoalisi dengan PDI-P.Â
PAN pun begitu, jika dalam satu bulan ini tidak ada jalan keluar atas permasalahan akseptabilitas ini, kemungkinan juga akan keluar dari KIB dan berlabuh di koalisi yang ada sekarang. Gerak-gerik itu sudah mulai kelihatan dari manuver-manuver elit PAN berkunjung ke PS08 dan GP. Bahkan terindikasi Golkar sendiri yang akan hengkang dari KIB dengan adanya pertemuan AH dan GP, sebelumnya pun Golkar-PAN memberikan sinyal akan ke koalisi KIB, GCIM pun juga berharap.
Seperti tidak ada harga dirinya atau sudah tidak bernilai KIB ini sejak ditinggal PPP. Semacam perawan yang jadi rebutan koalisi-koalisi lainnya tapi syarat maskawinnya sangat mustahil untuk dipenuhi koalisi-koalisi yang ada, kalau mau dipersunting hanya jadi pelengkap semacam istri selir yang tidak punya kedudukan. Maksudnya Golkar dan PAN masuk koalisi diminta tanpa syarat, jika mengharapkan Cawapres tentu KIR, GCIM, dan KPP sudah punya Cawapres cuman belum dipublikasikan saja, kalau Capres tentu suatu hal mustahil.Â
Urusan koalisi ini kondisinya sekarang bagi Golkar dan PAN semacam dipaksa melucuti senjata atau menyerah sebelum berperang. Padahal urusan koalisi ini untuk menambah kemenangan Pilpres dan partai utamanya dalam meraup suara parlemen (Coacktail Effect). Dari sudut pandang eksistensi partai, Golkar dan PAN dipaksa bunuh diri dengan gabung koalisi yang ada sekarang atau meneruskan koalisi tersisa KIB ini untuk eksistensi.Â
Terutama bagi PAN untuk masalah eksistensi dengan adanya Partai Ummat, bagi Golkar tentu tidak masalah sebab sudah teruji dengan banyak pecahan partai (tercatat ada tujuh pecahan Golkar) tetap eksis di tiga besar perolehan suara maupun kursi. Beda karakteristik elit partai dan pemilih antara Golkar dan PAN yang sangat menentukan eksistensi partai.Â