Ada dua faktor negara maju adikuasa, sebab faktor masa lalunya dan sebab faktor filosofi/pemikiran bangsanya yang dijadikan arah pembangunan negara tersebut.
Kita bisa identifikasi dua faktor tersebut yakni konservatif liberal, faktor masa lalu tersebut. Sedangkan faktor pemikiran bisa di identifikasi sebagai sosialis progresif.
Kedua faktor ini tentu setiap negara ada dan dijalankan bahkan jadi pegangan dalam kebijakan-kebijakan pemerintahan. Cuman pasti ada yang lebih dominan dalam arah politik negara tersebut.
Seperti salah satu faktor penyebab perang dunia pertama maupun kedua, pertentangan antara Eropa barat dan Eropa timur sebab dua kutub tersebut. Dimana Eropa barat bisa di identifikasi sebagai konservatif liberal dan Eropa timur sosialis progresif.
Karakter negara-negara yang terlibat perang tersebut dari dua arus pemikiran itu bisa dikategorikan tiga bentuk, bentuk karakter negara fasis, negara demokratis, dan komunis. Maka, jika melihat kedua arus pemikiran tersebut sebenarnya semua baik akan tetapi ketika diterapkan terkadang menjadi ekstrim dalam kepemimpinan kekuasaan negara tersebut.
Dari sini kita sadar, pentingnya mengembalikan GBHN dalam ketatanegaraan kita ini. Agar tidak menjadi ekstrim sebab kekuasaan negara jatuh pada kepemimpinan yang salah. Kekuasaan negara diterjemahkan sewenang-wenang atas kemauan dan hanya keinginan pemimpin yang lagi berkuasa saat itu. Jika semacam itu, negara akan jatuh pada tangan ekstrim fasis.
Seperti sekarang ini, GBHN digantikan oleh visi-misi pemimpin terpilih dalam sebuah pemilu yang dijewantahkan dalam RPJP dan RPJM. Ganti kepemimpinan ganti arah pergerakan negara berjalannya pembangunan bangsa ini. Sehingga di identifikasi sebagai negara yang labil, tidak punya jati diri, gamang, plin-plan. Jika pemimpin selanjutnya meneruskan kebijakan pemimpin sebelumnya dikatakan tidak punya pencapaian, tukang tiru, dan tukang labeling baru. Kegamangan jatuh pada tangan pemimpin ekstrim demokratis.
Hal ini juga ditambah tidak adanya partai pendominan, artinya kekuasaan pemerintahan tidak dipegang oleh satu kekuasaan mayoritas. Di negara ini tidak ada partai pemenang atau partai penguasa. Adanya kekuasaan bersama, bukan kekuasaan koalisi. Jika koalisi satu partai tetap memegang mayoritas sedangkan lainnya hanyalah sekutu. Benar adanya jika memang tidak ada oposisi jika begitu. Akan tetapi jika terlalu dipegang oleh satu partai pendominan tak ubahnya negara jatuh pada ekstrim komunis.
Sehingga jika begitu kepemimpinan negara akan terus tidak jelas dalam mengarahkan kebijakan-kebijakan pemerintah apakah dominan konservatif liberal atau dominan sosialis progresif, sebab sebuah halusinasi pemimpin bisa mewujudkan visi-misi dengan adanya koalisi semu maupun oposisi semu. Ini buruknya jika tidak ada GBHN dalam negara ini yang bentuk polanya semacam itu perpolitikan kita. Pada akhirnya yang dijadikan penilaian adalah kepemimpinan dalam pencapaian bangsa ini, bukan capaian pembangunan bangsa ini.
Hal ini mengingatkan pada sejarah perjalanan bangsa ini pada zaman raja-raja dulu. Jika kekuasaan jatuh pada raja lainnya maka pencapaian raja-raja sebelumnya dihilangkan. Dibumihanguskan, lebih tepat istilahnya. Semua dihilangkan sampai ke hal yang terkecil, potong generasi mungkin pandangan sekarang. Bahkan mungkin jati diri bangsa juga dihilangkan, sehingga benar jika bangsa ini tidak punya karakter.
Koreksi dari itu, kita ingat istilah "jika kita melupakan sejarah kita akan mengulangi keburukan-keburukan dari sejarah". Maka pandangan kita kedepan bagaimana pencapaian pembangunan tidak mengulangi pencapaian buruk masa lalu, semacam istilah "ambil hikmahnya" yakni mempertahankan yang baik dan memperbaiki yang buruk.
Sejenak mari kita melihat arah pergerakan pemikiran yang menggerakkan sebuah negara dan hubungan antar negara-negara di dunia secara umum. Terutama pergerakan pemikiran konservatif liberal dan sosialis progresif sebagai pendominan politik negara tersebut dan pengaruh pada hubungan internasionalnya. Sebagai awas pada diri dalam memberikan batasan dan kebebasan dalam membentuk kebijakan-kebijakan pemerintahan kita dalam niatan mengembalikan GBHN pada ketatanegaraan kita.
Akan tetapi mari kita sederhanakan memahami pergerakan dua pemikiran tersebut. Selama masih ada istilah yang kaya dan yang miskin, orang kecil dan orang besar, si kuat dan kuasa serta si lemah tak berdaya, maka selama itu kita akan selalu gagap dan dalam ketakutan menghadapi konservatif liberal mendominasi maupun jika sosialis progresif yang mendominasi. Kedua kutub seperti dipertentangkan atau dipertarungkan, negara adikuasa terlepas karakter kepemimpinannya bisa maju semacam itu sebab bisa mengakurkan kedua kutub tersebut.
Kita istilahkan si kuat sebagai konservatif liberal dan si lemah sosialis progresif. Dengan semacam ini kita akan lebih mudah memahami pergerakan arah dunia dan percaturan politiknya. Lahirnya perang dunia pertama maupun kedua sebab pertarungan si kuat dan si lemah. Si kuat dengan pandangan kolonialisme, imperialisme, kapitalisme, ekspansi, agresi, dan pertarungan monopoli dominasi antar si kuat. Sedangkan si lemah kebalikannya dengan pandangan kemerdekaan, nasionalisme, liberalisme, patriotisme, simbiosis mutualisme, koperatif/kerjasama atau saling membantu untuk berkembang bersama.
Disini kita bisa memahami dominasi sebuah negara bagaimana sikap kebijakan pemerintahan tersebut, kebijakan dalam negerinya dan bagaimana berhubungan dengan negara lain, kebijakan luar negerinya (hubungan internasionalnya). Dari situ juga kita bisa paham, bagaimana pandangan kita terhadap negara lain dan negara sendiri. Dari segi apapun keduanya baik dan tidak bisa dilepaskan, bagai sisi mata uang logam, hanya pada posisi momen, even atau waktu tertentu saja salah satu sisi lebih dominan dari sisi lainnya. Hal inipun dari sudut sisi mana kita memandang, disini baru kita bicara kepemimpinan negara, partai, pemilu, kebijakan, dan jati diri kekuasaan atau karakter kepemimpinan, yang penting kita paham dulu bangsa ini mau kemana, nah ini pentingnya GBHN sebagai bangsa dan kepemimpinan sebagai anak-anak bangsa.
Sebuah negara, pemimpin negara tersebut, partai, golongan, masyarakat, hingga kelompok sosial terkecil sekalipun tidak ada yang murni menerapkan konservatif liberal maupun sosialis progresif. Sebab ada istilah diatas langit masih ada langit, sedangkan dasar lautan tidak selalu lembah jurang yang curam. Tinggal bagaimana menyikapi atau posisi sikap kita bernegara dalam kesatuan kebangsaan Indonesia ini, walaupun pada ujungnya akan kembali pada karakter kepemimpinan kita.
Sebab semacam apapun bentuk dan/atau sistem negara serta pemerintahan, akan kembali pada kepemimpinan yang lagi berkuasa pada saat itu. Ini buruknya jika tidak ada GBHN, jika bergantung pada pemikiran (visi-misi) pemimpin yang berkuasa saat itu, tinggal menunggu waktu saja negara ini dipegang oleh orang gamang yang lemah menghadapi kekuatan asing dari luar atau orang otoriter yang hanya jago kandang tapi mengemis nangis-nangis minta diberikan legitimasi. Seperti diatas jadi pemimpin ekstrim demokratis, ekstrim fasis, atau ekstrim komunis. Jangan salahkan masyarakat jika pemimpinnya di cap fasis otoriter, plin-plan, bahkan di cap komunis, serta cap buruk lainnya dalan asosiasi masyarakat pada orang lain.
Jika masyarakat berpandangan semacam itu pada pemimpinnya tentu negara lain juga akan bersikap sama. Apalagi pemimpin mengambil sikap melawan pandangan masyarakat, itu akan jadi konflik internal. Jika ada konflik internal, atas nama solidaritas dan kemanusiaan atau hal itu hanya dijadikan topeng maka negara lain akan bersikap ikut campur urusan internal tersebut. Ingat faktor perang dunia pertama dan kedua sebab atas nama solidaritas dan kemanusiaan, agresi militer pada negara lain seperti menjadi jalan terbaik untuk mengatasi konflik internal negara tersebut.
Setelah perang dunia kedua ada kesepahaman untuk tidak ikut campur urusan dalam negeri negara lain, tapi beberapa internal yang berkonflik meminta bantuan secara tidak langsung yang ini menyebabkan perang saudara dimana internal satu sisi dengan sisi lainnya dapat sokongan dan bantuan secara tidak langsung. Hal ini disebut perang dingin sebagaimana terjadi di negara asia selatan dan asia barat daya/timur tengah.
Sudah bukan rahasia bahwa perang dan konflik internal di negara-negara asia selatan dan asia barat daya/timur tengah adalah tindak lanjut dari perang dingin, yakni ketegangan politik dan militer blok barat dan blok timur. Jika perang dingin hanya sebatas ketegangan saja dari kedua kubu maka timur tengah dan asia selatan tempat perang terbukanya. Walaupun blok barat lebih dominan konservatif liberal sedangkan blok timur lebih dominan sosialis progresif tapi bukan ini sebab perang dan ketegangan sebenarnya, akan tetapi lebih tepatnya bagaimana kepemimpinan menyikapi persoalan internalnya serta perebutan pengaruh pemaksaan kehendak dari pada bagaimana formalitas legitimasi diperoleh. Sebab nilai-nilai kebangsaan dibawah kesukuan, sukur Indonesia ada Pancasila sebagai nilai-nilai kebangsaan dan semoga nanti GBHN menjadi kesatuan semua pemikiran dan harapan serta keinginan anak-anak bangsa.
Jika nanti bisa mengembalikan GBHN dalam ketatanegaraan kita, maka penentuan kepemimpinan tidak akan meruncing konflik pra maupun pasca suksesi (pemilu) seperti yang sudah-sudah. Sebab pemilih akan condong pada pemimpin yang sesuai atau bisa mewujudkan GBHN tersebut, bisa disimpulkan punya latar belakang dan wawasan yang sama tentang bagaimana membawa bangsa pada kemajuan, keadilan, dan kemakmuran.
Artinya pemimpin yang diterima masyarakat dialah yang akan jadi pemerintahan negara sebab masyarakat punya keinginan (GBHN) dan sosok tersebut bisa mewujudkan keinginan tersebut. Yakni diterima masyarakat atau akseptabilitas tinggi maka masyarakat akan memberikan legitimasi kekuasaan pada pemimpin tersebut, kunci dari akseptabilitas masyarakat pada pemimpin yakni menyatu atau dekat dengan masyarakat (humanis), moralitas atau punya dasar latarbelakang profil yang baik/positif (akidah), etis/attitude/etika/sikap (akhlak), karakter atau kebiasaan kesehariannya (adab), berwawasan kedepan (visioner).
GBHN selain berbicara indonesia seribu tahun lagi, juga untuk mencegah kekuasaan pemerintahan negara jatuh pada tangan pemimpin ekstrimis, yakni pemimpin yang kekuasaannya tidak terbatas, penerjemah tunggal kebijakan dan keinginan bangsa seperti visi misi RPJP maupun RPJM.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H