Mohon tunggu...
Abdurrahman
Abdurrahman Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti Madya di SegiPan (Serikat Garda Intelektual Pemuda Analisis Nasionalisme)

Tertarik dengan kajian kebijakan publik dan tata pemerintahan serta suka minum kopi sambil mengamati dengan mencoba membaca yang tidak terlihat dari kejadian-kejadian politik Indonesia. Sruput... Kopi ne...!?

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Politik Itu Pasti Transaksional, Jika Politik Mahal Itu yang Salah Partai atau Sebab Politisi yang Ditinggalkan Bandar

15 September 2022   02:00 Diperbarui: 15 September 2022   06:43 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bernegara itu sesederhana berkeluarga, sistem sosial atau sistem kekerabatan terbentuk secara alami atas dasar kebutuhan. Pada pemahaman ini saja saya heran kenapa politik itu mahal. Jika ditelusuri ternyata hanya persoalan mendapatkan kekuasaan atau proses suksesi yakni Pemilu.

Pemilihan umum dengan pemilihan langsung atau rakyat warga masyarakat menyerahkan kekuasaannya untuk mengatur kebutuhannya pada wakilnya setiap individu pada individu yang akan mewakilinya menjalankan kekuasaan pengaturan kebutuhannya. Dari pemahaman ini pun tidak ada kesan politik mahal.

Setiap rakyat warga masyarakat patungan untuk membiayai kebutuhan bersama dalam penyelenggaraan kekerabatan, kekeluargaan, atau kenegaraan dengan menyelenggarakan teknis kebutuhan kekerabatan atau negara tersebut. Semacam sistem perpajakan, namanya berkeluarga atau bernegara fasilitas apa yang tidak ada unsur pajaknya atau membayar, membiayai kebutuhan keluarga.

Selama itu masih butuh orang lain pasti ada unsur timbal baliknya. Artinya wajar semua ada pajaknya, walaupun itu secara tidak langsung. Selama ini mungkin produk pertanian dan perikanan yang tidak ada pajaknya, tapi ketika diolah dan sampai pada orang lain pasti masih butuh peralatan atau bahan yang itu pasti ada unsur pajaknya.

Selama itu berkaitan dengan orang lain akan ada muamalah atau transaksional, bisa dipahami dengan sederhana pertukaran kebutuhan dari surplus pemenuhan. Semacam barter pemahamannya, atas dasar sama-sama saling membutuhkan maka terjadi pertukaran barang ataupun jasa. Saya tidak mengatakan bahwa rakyat tidak butuh wakil rakyat untuk duduk di legislatif maupun di eksekutif atau jabatan pemerintahan secara umum, sehingga terjadi jual-beli yang dikatakan mahal bagi para politisi yang mau menduduki jabatan publik.

Sepertinya ada logika yang salah ketika menyebut politik itu mahal. Apalagi dasar filsafat atau pemikiran bangsa ini dalam bernegara mempunyai faham gotong royong sebagai landasan bertindak atau mengambil keputusan kebijakan dalam sistem kekeluargaan atau sistem kenegaraan.

Baiklah apa yang disebutkan di atas itu adalah suatu yang idealis, setidaknya itulah dasar yang benar. Jika masih mengatakan politik itu mahal pasti dasarnya tidak benar, tentunya salah dalam bernegara atau berkeluarga. Mungkin sebagai orang yang punya keinginan menduduki jabatan publik di republik ini agar berkuasa melakukan hal yang salah untuk mendapatkan kedudukan itu. Sistem negara ini yang salah atau sistem suksesi atau cara perekrutan untuk mengisi posisi jabatan publik yang salah.

Baiklah kita coba mendalami masalah sentimen atau uring-uringan tokoh bangsa ini mulai dari akademisi yang bergelar profesor hingga akademisi sekelas warung kopi di pinggir kebun singkong, pejabat publik ketua kelompok pekerja ngarit padi hingga ketua partai bahkan anggota legislatif dan kabinet, yang semua menggerutu melontarkan politik mahal, bahkan mengaitkan itu penyebab korupsi, pelayanan publik pemerintahan yang lambat, dan lain sebagainya.

Dapat disimpulkan, bahwa yang dikatakan politik mahal ternyata ketika individu mau atau berkeinginan menjadi pejabat publik harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Misal ingin jadi anggota legislatif biaya setoran ke partai untuk pemberkasan, beli suara, pengamanan biaya saksi yang belum sogok KPU dan Bawaslu yang bisa capai miliaran. Pengen jadi komisaris di suatu BUMN harus mengeluarkan sekian miliar, naik jabatan sekian miliar, jadi kepala dinas, jabatan fungsional, apapun di negara ini harus ada sekian juta atau miliarnya.

Tentunya, harusnya tidak hanya politisi dari suatu partai yang menjabat sebagai jabatan publik yang menggerutu atau jadi sorotan dengan kata-kata politik mahal. Semua lapisan masyarakat sepertinya menggerutu tentang keinginan punya status agar berkuasa akan sesuatu yang harus mengeluarkan sekian juta atau miliar. Mobilitas sosial secara vertikal maupun horizontal semua kayaknya butuh biaya sekian juta atau sekian miliar, di negara ini. Bahkan sering kali mendengar, untuk dapat pekerjaan di pabrik harus bayar sekian juta, ini swasta, pengen naik pangkat ke bintang satu butuh sekian miliar. Butuh pelayanan publik di kantor-kantor pemerintahan harus mengeluarkan biaya yang jelas-jelas itu gratis sebab ada anggaran dari pengumpulan pajak. Mau swasta atau institusi negara sepertinya semua yang berkaitan dengan mobilitas sosial ada biayanya. Masalahnya biayanya legal apa ilegal, itu soalnya yang dilainkan dari bahasan ini.

Entah itu pungutan liar atau beli suara, sogokan, tutup mulut, uang dengar dan segala macam sebutan politik mahal. Katanya, kekuasaan yang lemah pengawasannya cenderung korup, apalagi tidak diawasi. Kurang apa coba instrumen pengawasan, mulai himbauan kesadaran, ketegasan aturan dan bahkan hukumannya, sepertinya semua ada. Kenapa seperti ada pembiaran atau pemahfuman, semacam kewajaran suksesi apapun pasti butuh biaya yang tidak wajar untuk meloloskan yang pantas atau tidak maupun individu yang baik atau buruk menjadi pejabat publik atau butuh pelayanan publik.

Mari kita fokuskan kembali, politik mahal ini yang secara sempit hanya bicara biaya untuk merebut kekuasaan secara konstitusional dengan adanya Pemilu. Secara konstitusi partai adalah peserta pemilu, dalam hal jabatan eksekutif maupun legislatif partai mengajukan atau mengusulkan nama-nama yang akan menduduki jabatan publik tersebut hingga nanti turunannya diatur atau ditunjuk yang secara tidak langsung partai mengusulkan atau mengajukan nama-nama yang akan menduduki jabatan publik atau birokrasi pemerintahan.

Jelas dan tegas secara dasar semua jabatan pemerintahan atau individu-individu yang akan menjadi penyelenggara pemerintahan yakni personel birokrasi secara implisit adalah partai. Bupati/Walikota, Gubernur, Presiden, dan/atau anggota legislatif semua di isi dari partai, bahkan yudikatif yakni kehakiman dan jaksa serta polisi maupun tentara diangkat oleh partai secara tidak langsung dimana pimpinan puncaknya di diajukan dan di saring serta disahkan melalui legislatif dan eksekutif.

Secara prinsip, segala suksesi di negara ini adalah partai sebagai peserta untuk mengisi kekuasaan. Sederhananya, kekuasaan membersihkan jalanan atau mengangkat pasukan kuning secara tidak langsung adalah partai. Bahkan seseorang mendapatkan pekerjaan atau punya kekuasaan mengelola sesuatu apapun di negara agar menjadi nilai tambah adalah partai secara tidak langsung menetapkan. Artinya segala sesuatu pengaturan hajat hidup orang banyak dan pergaulan orang banyak partai yang punya keputusan kebijakan.

Jadi aneh memang ketika di UU Pemilu ada calon independen ketika tentang Pilkada. Ini negara kesatuan, bukan federasi, walaupun pemerintah daerah diberikan hak desentralisasi tapi secara nalar hukum calon independen melanggar konstitusi UUD 45. Ini negara kesatuan, negara adalah sebenarnya pemerintahan yang sah, walaupun dibagi menjadi pemerintahan daerah atau propinsi dan kabupaten/walikota tapi logika hukumnya jangan sampai kebiasaan atau preseden keluar dari pakem pemerintahan pusat atau negara. Kecuali ada ketentuan pemerintah pusat eksekutifnya yakni calon presiden boleh dari jalur independen. Walaupun di legislatif ada jalur independen yakni DPD, jadi aneh lagi.

Maksudnya, negara ini dalam konstitusi menyebutkan NRI jelas dan tegas di pembukaan UUD 45 yang disepakati tidak boleh dirubah, negara republik bukan monarki, yang berbentuk kesatuan bukan federasi. Ketika reformasi berusaha mempertegas sistem presidensiil bukan sistem parlementer, yang jadi kehilangan ruh MPR hingga diturunkan menjadi institusi lembaga negara tinggi yang sejajar antara DPR, Presiden, Yudikatif, ditambah lagi DPD jalur independen dan tambah lagi kepala daerah boleh dari independen. DPD sejajar dengan presiden dan MPR sebagai lembaga tinggi negara, hal ini bikin ketawa sebab salah kaprah, jabatan independen kok disamakan dengan jabatan publik. Bahkan representatif republik yakni MPR diturunkan jadi representatif publik. Soal definisi atau batasan saja salah bagaimana turunan aturannya. Okelah republik, publik, independen bahkan mungkin nanti orang ngaku tuhan di negara ini juga difasilitasi jabatannya.

Baik, independen bolehlah berbicara politik mahal, sebab dari keinginan individu. Tapi jika dari partai yang jadi bupati/walikota, gubernur, presiden, dan anggota legislatif kok terasa aneh jika menyatakan politik mahal. Sebab partai adalah perwujudan atau kesatuan masyarakat yang sepaham secara ideal maupun material. Bukan individu yang independen menurut idealis dan materialisnya pribadi, seperti monarki. Jika monarki, individu atau satu keluarga mengatur negara menurut idealis dan materialisnya, masyarakat atau warga masyarakat gak ada hak mengatur. Kebanyakan sekarang monarki hanya simbol pemersatu kekerabatan atau negara sedangkan pemerintahan diserahkan pada publik, dimana dikenal monarki konstitusional.

Selama itu diatur publik pemerintahan, maka partai adalah sumber utama atau peserta untuk mengisi kekuasaan pemerintahan. Jadi aneh ketika DPR RI dan Presiden mengesankan UU tentang mengisi kekuasaan pemerintahan dari jalur independen entah itu UU Pilkada maupun UU tentang DPD. Ini republik atau apapun segala sesuatu yang menyangkut kepentingan pengaturan hajat hidup dan pergaulan hidup diatur oleh publik sendiri. Publik bukan individu, entah reformasi macam apa atau aktor intelektual semacam apa yang bikin kacau, dan hal itu yang mendasar lagi.

Lebih aneh lagi anggota legislatif atau eksekutif dari partai atau yang diusulkan (diusung) partai politik mengeluh dan menggerutu politik mahal. Pertanyaannya, apakah kepala eksekutif dan anggota legislatif berangkat dari individu/independen? Kalau begitu tata pemerintahan yang keluar dari rel dasarnya atau kita yang salah dalam mengelola partai atau salah menetapkan UU Kepartaian? Padahal jelas dan tegas ini negara republik Indonesia yang berbentuk kesatuan atau dipahami NKRI lengkapnya dalam menyebut NRI dengan dasar Pancasila, sebagaimana pembukaan UUD 45. Republik atau kerakyatan bukan monarki atau independen individu atau satu keluarga menguasai pengaturan semua keluarga, republik berpandangan semua satu keluarga atau satu kekerabatan, sistem satu bangsa atau sistem sosial kesatuan. Bukan individu-individu yang independen atau satu keluarga menguasai keluarga-keluarga yang lain.

Jelas dan tegas semua sepakat bahwa sistem pemerintahan Indonesia sebagaimana poin ke 4 Pancasila dan tujuan penyelenggaraan pemerintahan atau indikator capaian program pemerintah sebagaimana poin 5 Pancasila. Para ahli tatanegara sepakat bahwa bentuk dan sistem negara sebagaimana poin 1, 2 dan 3 Pancasila, sedangkan sistem pemerintahan sebagaimana poin 4, tujuan diadakan atau dibentuk negara dan menyelenggarakan sistem pemerintahan untuk mencapai poin 5 Pancasila. Jika kita tidak salah pikir atau tidak melenceng meletakkan dasar sebagaimana pembukaan UUD 45 dalam membentuk UU atau merubah pasal dan ayat di UUD 45 serta tidak dibutakan oleh nafsu hanya untuk berkuasa semata maka saya rasa tidak ada itu politik mahal di Indonesia.

Kecuali kita secara individu, berkeinginan berkuasa di negara ini dengan menguasai pemerintahan atau penyelenggaraannya, membajak suatu partai yakni membeli partai untuk mengusung dirinya agar duduk di legislatif dan eksekutif, atau memasang seseorang untuk masuk suatu partai yang kita danai untuk jadi anggota legislatif maupun eksekutif. Artinya partai disini hanyalah kendaraan atau rakyat dibeli oleh elit yang butuh untuk menguasai pemerintahan. Entah dari golongan apapun itu elit untuk membajak sistem republik dan perangkatnya yakni partai untuk mengisi kekuasaan pemerintahan. Maka efek dari ini, pantas saja politik mahal bagi yang tidak di dukung elit yang ingin menguasai pemerintahan atau bagi politisi yang duduk di pemerintahan tapi sudah ditinggal oleh bandar elit itu tadi.

Saya ingin mengurai bagaimana partai politik Indonesia ini seharusnya dibangun dengan struktur sosial yang multi peran, multi kepentingan, multi status, multi kebutuhan, yang artinya tidak hanya multi budaya dan etnis. Dimana tidak seperti negara lain yakni hanya ada dua kubu dominan yakni tuan tanah atau pemodal biasa disebut partai konservatif/statusquo dan buruh atau kelas pekerja yang sering disebut sosialis atau progresif sering dikenal partai buruh/pekerja. Disini saya tidak ingin sejauh itu, saya hanya ingin menegaskan, politik mahal dan sumber korupsi katanya, adalah kesalahan partai atau kesalahan kita sebagai bangsa dalam mengelola partai atau kita yang gampang dibeli oleh tertentu karena uang atau karena tekanan tertentu hingga partai atau golongan yang sepaham ini dibajak oleh kepentingan, segelintir elit kepentingan tepatnya.

Karena mereka lah, tatanan negara kacau sebagaimana perubahan UUD 45 yang keluar dari definisi operasional atau batasan pengertian NKRI dan paham Pancasila sebagaimana pembukaan UUD 45. Agenda reformasi baik, yang tidak baik nafsu kekuasaan segelintir orang atau memberikan peluang bagi elit kepentingan memuluskan keinginannya. Bagi saya, berkesimpulan menata partai politik Indonesia dengan UU Kepartaian yang mensyaratkan bagaimana partai menjadi hegemoni rakyat atau kemasyarakatan. Poin penting yang ingin saya tekankan adalah sosialisasi politik kepartaian atau yang bisa dipahami pengkaderan partai politik. Artinya bagaimana menata keanggotaan dan pendidikan anggota partai, sebab ini negara multietnis dan multikultural serta multi-multi lainnya. Maksudnya penyeragaman kesepahaman bersama dalam bermasyarakat dan berbangsa untuk tujuan bernegara dengan menyelenggarakan pemerintahan.

Sederhananya, partai politik mengajukan atau mengusulkan kadernya minimal sudah jadi anggota partai selama lima tahun dan mendapatkan sosialisasi politik atau pendidikan dan pelatihan dasar dari partai tersebut, serta tidak pernah menjadi anggota partai lain selama lima tahun atau teridentifikasi loncat partai selama lima tahun. Tegasnya solusi bagi kekacauan ini adalah partai kader, itu kesimpulan saya. Jika sudah semacam itu, maka saya berpandangan semua akan sesuai rel sebagaimana pembukaan UUD 45 serta turunannya. Dengan semacam itu harapannya ada saling kebutuhan antar rakyat dan partai sebagai organisasi kemasyarakatan rakyat. Kesimpulannya, perlu dicantumkan dalam UU kepartaian yakni hanya anggota partai tersebut yang sudah jadi anggota partai minimal selama lima tahun dan sudah menjalani sosialisasi atau perkaderan dengan pendidikan dan pelatihan dari partai tersebut dapat diajukan atau diusulkan dalam pemilu legislatif maupun eksekutif atau jabatan publik lainnya semacam duduk dikabinet sebagai menteri misalnya. Sebab kunci dari negara multi segala dimensi seperti Indonesia ini adalah kemanunggalan rakyat/publik untuk kembali pada rakyat/republik yang hanya bisa ditempuh dengan sosialisasi politik. Jika begitu saya rasa tidak ada lagi yang menggerutu politik mahal dan sumber korupsi, aih ini individu kok mau hidup di republik, meracau masih mulutnya ini-itu mahal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun