Mari kita fokuskan kembali, politik mahal ini yang secara sempit hanya bicara biaya untuk merebut kekuasaan secara konstitusional dengan adanya Pemilu. Secara konstitusi partai adalah peserta pemilu, dalam hal jabatan eksekutif maupun legislatif partai mengajukan atau mengusulkan nama-nama yang akan menduduki jabatan publik tersebut hingga nanti turunannya diatur atau ditunjuk yang secara tidak langsung partai mengusulkan atau mengajukan nama-nama yang akan menduduki jabatan publik atau birokrasi pemerintahan.
Jelas dan tegas secara dasar semua jabatan pemerintahan atau individu-individu yang akan menjadi penyelenggara pemerintahan yakni personel birokrasi secara implisit adalah partai. Bupati/Walikota, Gubernur, Presiden, dan/atau anggota legislatif semua di isi dari partai, bahkan yudikatif yakni kehakiman dan jaksa serta polisi maupun tentara diangkat oleh partai secara tidak langsung dimana pimpinan puncaknya di diajukan dan di saring serta disahkan melalui legislatif dan eksekutif.
Secara prinsip, segala suksesi di negara ini adalah partai sebagai peserta untuk mengisi kekuasaan. Sederhananya, kekuasaan membersihkan jalanan atau mengangkat pasukan kuning secara tidak langsung adalah partai. Bahkan seseorang mendapatkan pekerjaan atau punya kekuasaan mengelola sesuatu apapun di negara agar menjadi nilai tambah adalah partai secara tidak langsung menetapkan. Artinya segala sesuatu pengaturan hajat hidup orang banyak dan pergaulan orang banyak partai yang punya keputusan kebijakan.
Jadi aneh memang ketika di UU Pemilu ada calon independen ketika tentang Pilkada. Ini negara kesatuan, bukan federasi, walaupun pemerintah daerah diberikan hak desentralisasi tapi secara nalar hukum calon independen melanggar konstitusi UUD 45. Ini negara kesatuan, negara adalah sebenarnya pemerintahan yang sah, walaupun dibagi menjadi pemerintahan daerah atau propinsi dan kabupaten/walikota tapi logika hukumnya jangan sampai kebiasaan atau preseden keluar dari pakem pemerintahan pusat atau negara. Kecuali ada ketentuan pemerintah pusat eksekutifnya yakni calon presiden boleh dari jalur independen. Walaupun di legislatif ada jalur independen yakni DPD, jadi aneh lagi.
Maksudnya, negara ini dalam konstitusi menyebutkan NRI jelas dan tegas di pembukaan UUD 45 yang disepakati tidak boleh dirubah, negara republik bukan monarki, yang berbentuk kesatuan bukan federasi. Ketika reformasi berusaha mempertegas sistem presidensiil bukan sistem parlementer, yang jadi kehilangan ruh MPR hingga diturunkan menjadi institusi lembaga negara tinggi yang sejajar antara DPR, Presiden, Yudikatif, ditambah lagi DPD jalur independen dan tambah lagi kepala daerah boleh dari independen. DPD sejajar dengan presiden dan MPR sebagai lembaga tinggi negara, hal ini bikin ketawa sebab salah kaprah, jabatan independen kok disamakan dengan jabatan publik. Bahkan representatif republik yakni MPR diturunkan jadi representatif publik. Soal definisi atau batasan saja salah bagaimana turunan aturannya. Okelah republik, publik, independen bahkan mungkin nanti orang ngaku tuhan di negara ini juga difasilitasi jabatannya.
Baik, independen bolehlah berbicara politik mahal, sebab dari keinginan individu. Tapi jika dari partai yang jadi bupati/walikota, gubernur, presiden, dan anggota legislatif kok terasa aneh jika menyatakan politik mahal. Sebab partai adalah perwujudan atau kesatuan masyarakat yang sepaham secara ideal maupun material. Bukan individu yang independen menurut idealis dan materialisnya pribadi, seperti monarki. Jika monarki, individu atau satu keluarga mengatur negara menurut idealis dan materialisnya, masyarakat atau warga masyarakat gak ada hak mengatur. Kebanyakan sekarang monarki hanya simbol pemersatu kekerabatan atau negara sedangkan pemerintahan diserahkan pada publik, dimana dikenal monarki konstitusional.
Selama itu diatur publik pemerintahan, maka partai adalah sumber utama atau peserta untuk mengisi kekuasaan pemerintahan. Jadi aneh ketika DPR RI dan Presiden mengesankan UU tentang mengisi kekuasaan pemerintahan dari jalur independen entah itu UU Pilkada maupun UU tentang DPD. Ini republik atau apapun segala sesuatu yang menyangkut kepentingan pengaturan hajat hidup dan pergaulan hidup diatur oleh publik sendiri. Publik bukan individu, entah reformasi macam apa atau aktor intelektual semacam apa yang bikin kacau, dan hal itu yang mendasar lagi.
Lebih aneh lagi anggota legislatif atau eksekutif dari partai atau yang diusulkan (diusung) partai politik mengeluh dan menggerutu politik mahal. Pertanyaannya, apakah kepala eksekutif dan anggota legislatif berangkat dari individu/independen? Kalau begitu tata pemerintahan yang keluar dari rel dasarnya atau kita yang salah dalam mengelola partai atau salah menetapkan UU Kepartaian? Padahal jelas dan tegas ini negara republik Indonesia yang berbentuk kesatuan atau dipahami NKRI lengkapnya dalam menyebut NRI dengan dasar Pancasila, sebagaimana pembukaan UUD 45. Republik atau kerakyatan bukan monarki atau independen individu atau satu keluarga menguasai pengaturan semua keluarga, republik berpandangan semua satu keluarga atau satu kekerabatan, sistem satu bangsa atau sistem sosial kesatuan. Bukan individu-individu yang independen atau satu keluarga menguasai keluarga-keluarga yang lain.
Jelas dan tegas semua sepakat bahwa sistem pemerintahan Indonesia sebagaimana poin ke 4 Pancasila dan tujuan penyelenggaraan pemerintahan atau indikator capaian program pemerintah sebagaimana poin 5 Pancasila. Para ahli tatanegara sepakat bahwa bentuk dan sistem negara sebagaimana poin 1, 2 dan 3 Pancasila, sedangkan sistem pemerintahan sebagaimana poin 4, tujuan diadakan atau dibentuk negara dan menyelenggarakan sistem pemerintahan untuk mencapai poin 5 Pancasila. Jika kita tidak salah pikir atau tidak melenceng meletakkan dasar sebagaimana pembukaan UUD 45 dalam membentuk UU atau merubah pasal dan ayat di UUD 45 serta tidak dibutakan oleh nafsu hanya untuk berkuasa semata maka saya rasa tidak ada itu politik mahal di Indonesia.
Kecuali kita secara individu, berkeinginan berkuasa di negara ini dengan menguasai pemerintahan atau penyelenggaraannya, membajak suatu partai yakni membeli partai untuk mengusung dirinya agar duduk di legislatif dan eksekutif, atau memasang seseorang untuk masuk suatu partai yang kita danai untuk jadi anggota legislatif maupun eksekutif. Artinya partai disini hanyalah kendaraan atau rakyat dibeli oleh elit yang butuh untuk menguasai pemerintahan. Entah dari golongan apapun itu elit untuk membajak sistem republik dan perangkatnya yakni partai untuk mengisi kekuasaan pemerintahan. Maka efek dari ini, pantas saja politik mahal bagi yang tidak di dukung elit yang ingin menguasai pemerintahan atau bagi politisi yang duduk di pemerintahan tapi sudah ditinggal oleh bandar elit itu tadi.
Saya ingin mengurai bagaimana partai politik Indonesia ini seharusnya dibangun dengan struktur sosial yang multi peran, multi kepentingan, multi status, multi kebutuhan, yang artinya tidak hanya multi budaya dan etnis. Dimana tidak seperti negara lain yakni hanya ada dua kubu dominan yakni tuan tanah atau pemodal biasa disebut partai konservatif/statusquo dan buruh atau kelas pekerja yang sering disebut sosialis atau progresif sering dikenal partai buruh/pekerja. Disini saya tidak ingin sejauh itu, saya hanya ingin menegaskan, politik mahal dan sumber korupsi katanya, adalah kesalahan partai atau kesalahan kita sebagai bangsa dalam mengelola partai atau kita yang gampang dibeli oleh tertentu karena uang atau karena tekanan tertentu hingga partai atau golongan yang sepaham ini dibajak oleh kepentingan, segelintir elit kepentingan tepatnya.