Mohon tunggu...
Abdur Rohman
Abdur Rohman Mohon Tunggu... Lainnya - Sak Madyo

Alumni Sosiologi UNS, Aktif di Kemenkumham RI (Bapas Kelas I Surakarta), Aktif di Rumah Seduh @tomboku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sosiologi Makanan ala Umar Kayam

20 Oktober 2016   20:45 Diperbarui: 21 Oktober 2016   12:33 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Umar Kayam memang salah satu begawan kebudayaan dan sosiolog kita yang andal. Ia banyak bercerita bahwa makanan bukan hanya soal perut, tetapi juga bernilai sebagai sesuatu yang sangat sosiologis. Coba tengok paling tidak di dalam buku-bukunya seperti Sugih Tanpa Banda; Mangan ora Mangan Kumpul; Satrio Piningit ing Kampung Pingit. Dalam buku itu Umar Kayam banyak bercerita soal makanan.

Di kolomnya berjudul Hik dan Nasi Kucing, Umar Kayam bahkan mengatakan hik merupakan salah satu institusi penting yang menyangga kehidupan malam Kota Solo. Hlo, hik kok ya disebut institusi? Hla iya, kalau mau mendengarkan orang Solo berspekulasi tentang makna kehidupannya, mau mendengarkan cerita tentang masyarakatnya, di hik itulah pantasnya.

Hla wong dari hidangan hik saja, kita dapat membaca perubahan masyarakat beserta lingkungannya yang juga ikut-ikutan berubah. Hik itu bisa kita sebut pula sebagai miniatur perubahan sosial masyarakat beserta lingkungannya. Jika ada sesuatu yang berubah di hik, pasti di masyarakat juga sedang terjadi perubahan.

Dulu kala, di hik menyediakan bungkus-bungkus nasi langgi, itu nasi dengan lauk campur seperti sedikit abon, secuil abon, sedikit sambel goreng tempe kering, dan sedikit sambal. Tapi, hik sekarang jarang sekali bahkan tidak lagi menyediakan bungkusan-bungkusan nasi langgi, tapi bungkusan nasi kecil yang disebut nasi kucing. Isinya cuma sejumput nasi dan sepotong ujung jari ikan bandeng dan sekelumit sambal yang sekali emplok, sekali dimasukkan mulut, sudah ludes.

Nasi langgi diganti nasi kucing? Bukankah ini menggambarkan masyarakat kita yang cenderung bergerak menuju sesuatu yang serbainstan, gampang, dan praktis? Kan kalau nasi kucing sekali emplok bisa habis, kalau masih kurang tinggal ngemplok lagi. Hla kalau nasi langgi? Nasi langgi yang bungkusannya masih lebih konkret, gemuk, padat dan berisi lauk-lauk yang tidak kalah konkretnya, dari cara membuatnya saja sudah ribet dan butuh proses yang agak panjang. Harus ada abon, sedikit sambel goreng tempe kering, sedikit sambal.

Jajanan di hik dulu kala jauh lebih lengkap jajanannya daripada di hik sekarang. Dulu, ikan wader kecil-besar yang dari sawah masih lengkap, yuyu sawah juga masih ada tergolek di hik. Kini kedua makhluk itu menghilang entah ke mana. Jika masih ada, paling wader-wader dari selokan-selokan atau kalen kecil di pinggir jalan. Bukankah ini menggambarkan lingkungan kita yang juga sudah ikut berubah?

Dulu itu di hik menu makanan yang disediakan semuanya sangat khas tradisional, lengkap, dan alami (belum tersentuh industrialisasi). Seiring perubahan masyarakatnya, tentu menu di hik sekarang juga sudah berubah. Menu minuman kopi saja, misalnya, penuh dengan kopi sachet-an berbagai jenis. Mau minum wedang jahe saja terkadang juga sudah jahe sachet-an, tentu terasa kurang nyuss, kurang mat, dan ora kemepyar. Bahkan mie instan juga sudah lama ikut nangkring di hik. Ini menggambarkan bahwa industri dan kapitalisme mampu menyerang berbagai lini kehidupan masyarakat, termasuk hik. 

Betapa hebatnya, dari hik dapat menjelaskan perubahan segala macam gambaran masyarakat dan lini kehidupannya. Nyuss....

Menggambarkan Masyarakat

Di kolom berjudul Ngalap Berkah di Malam Suro, Umar Kayam bercerita dan semakin yakin bahwa makanan tidak hanya urusan perut, tapi makanan dapat pula menggambarkan masyarakat. Di Solo, banyak makanan yang dihidangkan pada malam hari, seperti nasi liwet. Tentu ide menyajikan nasi liwet pada malam hari bukanlah gagasan yang jatuh dari langit. Ada sebabnya, asal-muasal, ada alasannya.

Dari dulu wong Solo suka menjalani laku tirakat di malam hari. Wong Solo memang terkenal suka bertirakat, suka jalan malam untuk nglakoni. Sambil jalan nenuwun kepada Sing Kuwaos, jalan membisu merenung kaelokan-nya urip. Hla kalau sudah capek jalan-jalan begitu ya berhenti minum dulu, wedangan. Lalu makan nasi liwet.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun