Umar Kayam memang salah satu begawan kebudayaan dan sosiolog kita yang andal. Ia banyak bercerita bahwa makanan bukan hanya soal perut, tetapi juga bernilai sebagai sesuatu yang sangat sosiologis. Coba tengok paling tidak di dalam buku-bukunya seperti Sugih Tanpa Banda; Mangan ora Mangan Kumpul; Satrio Piningit ing Kampung Pingit. Dalam buku itu Umar Kayam banyak bercerita soal makanan.
Di kolomnya berjudul Hik dan Nasi Kucing, Umar Kayam bahkan mengatakan hik merupakan salah satu institusi penting yang menyangga kehidupan malam Kota Solo. Hlo, hik kok ya disebut institusi? Hla iya, kalau mau mendengarkan orang Solo berspekulasi tentang makna kehidupannya, mau mendengarkan cerita tentang masyarakatnya, di hik itulah pantasnya.
Hla wong dari hidangan hik saja, kita dapat membaca perubahan masyarakat beserta lingkungannya yang juga ikut-ikutan berubah. Hik itu bisa kita sebut pula sebagai miniatur perubahan sosial masyarakat beserta lingkungannya. Jika ada sesuatu yang berubah di hik, pasti di masyarakat juga sedang terjadi perubahan.
Dulu kala, di hik menyediakan bungkus-bungkus nasi langgi, itu nasi dengan lauk campur seperti sedikit abon, secuil abon, sedikit sambel goreng tempe kering, dan sedikit sambal. Tapi, hik sekarang jarang sekali bahkan tidak lagi menyediakan bungkusan-bungkusan nasi langgi, tapi bungkusan nasi kecil yang disebut nasi kucing. Isinya cuma sejumput nasi dan sepotong ujung jari ikan bandeng dan sekelumit sambal yang sekali emplok, sekali dimasukkan mulut, sudah ludes.
Nasi langgi diganti nasi kucing? Bukankah ini menggambarkan masyarakat kita yang cenderung bergerak menuju sesuatu yang serbainstan, gampang, dan praktis? Kan kalau nasi kucing sekali emplok bisa habis, kalau masih kurang tinggal ngemplok lagi. Hla kalau nasi langgi? Nasi langgi yang bungkusannya masih lebih konkret, gemuk, padat dan berisi lauk-lauk yang tidak kalah konkretnya, dari cara membuatnya saja sudah ribet dan butuh proses yang agak panjang. Harus ada abon, sedikit sambel goreng tempe kering, sedikit sambal.
Jajanan di hik dulu kala jauh lebih lengkap jajanannya daripada di hik sekarang. Dulu, ikan wader kecil-besar yang dari sawah masih lengkap, yuyu sawah juga masih ada tergolek di hik. Kini kedua makhluk itu menghilang entah ke mana. Jika masih ada, paling wader-wader dari selokan-selokan atau kalen kecil di pinggir jalan. Bukankah ini menggambarkan lingkungan kita yang juga sudah ikut berubah?
Dulu itu di hik menu makanan yang disediakan semuanya sangat khas tradisional, lengkap, dan alami (belum tersentuh industrialisasi). Seiring perubahan masyarakatnya, tentu menu di hik sekarang juga sudah berubah. Menu minuman kopi saja, misalnya, penuh dengan kopi sachet-an berbagai jenis. Mau minum wedang jahe saja terkadang juga sudah jahe sachet-an, tentu terasa kurang nyuss, kurang mat, dan ora kemepyar. Bahkan mie instan juga sudah lama ikut nangkring di hik. Ini menggambarkan bahwa industri dan kapitalisme mampu menyerang berbagai lini kehidupan masyarakat, termasuk hik.
Betapa hebatnya, dari hik dapat menjelaskan perubahan segala macam gambaran masyarakat dan lini kehidupannya. Nyuss....
Menggambarkan Masyarakat
Di kolom berjudul Ngalap Berkah di Malam Suro, Umar Kayam bercerita dan semakin yakin bahwa makanan tidak hanya urusan perut, tapi makanan dapat pula menggambarkan masyarakat. Di Solo, banyak makanan yang dihidangkan pada malam hari, seperti nasi liwet. Tentu ide menyajikan nasi liwet pada malam hari bukanlah gagasan yang jatuh dari langit. Ada sebabnya, asal-muasal, ada alasannya.
Dari dulu wong Solo suka menjalani laku tirakat di malam hari. Wong Solo memang terkenal suka bertirakat, suka jalan malam untuk nglakoni. Sambil jalan nenuwun kepada Sing Kuwaos, jalan membisu merenung kaelokan-nya urip. Hla kalau sudah capek jalan-jalan begitu ya berhenti minum dulu, wedangan. Lalu makan nasi liwet.
Nah, dari kondisi masyarakat yang seperti itulah nasi liwet dihidangkan pada malam hari. Memang bagi wong Solo, pergi begadang itu (terkadang) sangat penting. Itu kebudayaan yang harus dileluri, dipertahankan, dielus, diopeni. Wong kultur, je!
Kalau tidak begadang, ditinjau dari segi ilmu sosial pun tidak bagus. Karena tidak terjun ke masyarakat, dan tidak mengamati realitas kehidupan masyarakat dan segala macam yang terjadi pada malam hari. Begadang sambil makan nasi liwet bukankah itu mengandung inspirasi? Semakin malam, apalagi yang mendekati pagi semakin mengilhami buat wong Solo.
Setelah bicara hik dan nasi liwet di Solo, mari bergerak ke Yogja yang tentu kurang afdol kalau tidak bicara gudeg. Gudeg itu selain mampu menghancurkan kelas sosial, juga mampu memberikan sebuah ikatan emosional. Hlo bagaimana ceritanya?
Di kolom Gudeg, Kultur dan Kita Umar Kayam bercerita, dari sudut kultur, gudeg itu adalah fenomena ajaib! Ada unsur beyond, nun di balik sana. Di balik rasa gudeg yang dianggap eca, bisa dianggap terlalu manis itu, ada satu ikatan emosional yang aneh bagi siapa saja yang pernah bermukim di Kota Yogya. Pak Affandi, pelukis ekspresionis yang kesohor di seantero dunia tetapi berasal dari Cirebon dan bermukim di pinggir Kali Gadjah Uwong Ngayogyakarta, selalu harus nongkrong di depan bakul gudeg setiap kali beliau pulang dari perjalanan melukis di luar kota. Rasanya belum terasa afdol kalau belum melahap gudeg sepulang dari jalan menggambar.
Almarhum Pak Wonohito, Pak Besut, dan Pak Samawi hampir setiap malam sehabis tugas di belakang meja Kedaulatan Rakyat nongkrong di gudeg Bu Mul dan wedang Bu Amat di depan Pasar Beringharjo. Berhandai-handai dengan dua ibu itu, dengan siapa saja yang hampir nongkrong di situ. Menghirup udara malam, mengamati kehidupan sehari-hari sembari makan gudeg dan menyeruput wedang teh ginastel, legi-panas-kentel, adalah ritual yang sangat penting bagi almarhum pelopor-pelopor wartawan itu. Para seniman yang habis nonton teater di Seni Sono atau lihat pameran di Purna Budaya atau mendengar ceramah di Karta Pustaka adalah juga pelanggan gudeg yang setia di sepanjang trotoar Malioboro. Ditambah lagi yang membuat suasana menjadi semakin akrabnya, dengan makan gudeg di sana dapat menjumpai berbagai macam jenis pengamen, dari yang siteran sampai Bob Dylan gadungan tidak henti-hentinya mampir meminta honorarium.
Dan dulu kala sekali-sekali keluarga Presiden Soeharto kalau kebetulan menginap di Istana Gedung Agung berkenan juga memanggil Bu Mul dan seorang kolega lagi untuk membawa gendongan gudeg mereka ke istana itu. Pak Harto dan Bu Tien sekali-sekali rindu juga jajan gudeg sembari nglesot di tikar. Pak Harto yang kala itu menjabat sebagai presiden pun, makan gudeg sembari nglesot, lesehan. Tentu ini bukti kalau gudeg mampu menghancurkan kelas sosial. Manusia menjadi sama rata di “mata gudeg”. Gudeg mewujudkan “masyarakat tanpa kelas”, sesuatu yang diidam-idamkan Karl Marx. Terbukti Pak Harto yang seorang presiden makan gudeg sambil nglesot hlo....
Memang menarik. Hidangan hik, nasi liwet, dan gudeg ini adalah hidangan yang mampu menghancurkan sekat dan kelas sosial, dan membuat hubungan sesama manusia menjadi begitu akrabnya. Entah priyayi, wong cilik, presiden, kalangan apa saja, kalau mau menikmati hik ya harus duduk bersama. Kalau mau menikmati nasi liwet, gudeg, ya lesehan bersama. Sambil reriungan yang tentunya membuat suasana semakin syahdu. Tentunya makanan tradisional kita ini juga mengandung khasanah yang begitu banyak. Ini baru hik, nasi liwet, dan gudeg. Tentu makanan tradisional lainnya, juga mengandung khasanah-khasanah yang begitu “kaya”.
Hlo, dari tadi kok ya cuma membahas makanan. Bagaimana jika malam nanti kita makan nasi liwet, gudeg, atau sekedar reriuangan wedangan di hik sambil ngrasani urip yang begitu menggairahkan ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H