Nah, dari kondisi masyarakat yang seperti itulah nasi liwet dihidangkan pada malam hari. Memang bagi wong Solo, pergi begadang itu (terkadang) sangat penting. Itu kebudayaan yang harus dileluri, dipertahankan, dielus, diopeni. Wong kultur, je!
Kalau tidak begadang, ditinjau dari segi ilmu sosial pun tidak bagus. Karena tidak terjun ke masyarakat, dan tidak mengamati realitas kehidupan masyarakat dan segala macam yang terjadi pada malam hari. Begadang sambil makan nasi liwet bukankah itu mengandung inspirasi? Semakin malam, apalagi yang mendekati pagi semakin mengilhami buat wong Solo.
Setelah bicara hik dan nasi liwet di Solo, mari bergerak ke Yogja yang tentu kurang afdol kalau tidak bicara gudeg. Gudeg itu selain mampu menghancurkan kelas sosial, juga mampu memberikan sebuah ikatan emosional. Hlo bagaimana ceritanya?
Di kolom Gudeg, Kultur dan Kita Umar Kayam bercerita, dari sudut kultur, gudeg itu adalah fenomena ajaib! Ada unsur beyond, nun di balik sana. Di balik rasa gudeg yang dianggap eca, bisa dianggap terlalu manis itu, ada satu ikatan emosional yang aneh bagi siapa saja yang pernah bermukim di Kota Yogya. Pak Affandi, pelukis ekspresionis yang kesohor di seantero dunia tetapi berasal dari Cirebon dan bermukim di pinggir Kali Gadjah Uwong Ngayogyakarta, selalu harus nongkrong di depan bakul gudeg setiap kali beliau pulang dari perjalanan melukis di luar kota. Rasanya belum terasa afdol kalau belum melahap gudeg sepulang dari jalan menggambar.
Almarhum Pak Wonohito, Pak Besut, dan Pak Samawi hampir setiap malam sehabis tugas di belakang meja Kedaulatan Rakyat nongkrong di gudeg Bu Mul dan wedang Bu Amat di depan Pasar Beringharjo. Berhandai-handai dengan dua ibu itu, dengan siapa saja yang hampir nongkrong di situ. Menghirup udara malam, mengamati kehidupan sehari-hari sembari makan gudeg dan menyeruput wedang teh ginastel, legi-panas-kentel, adalah ritual yang sangat penting bagi almarhum pelopor-pelopor wartawan itu. Para seniman yang habis nonton teater di Seni Sono atau lihat pameran di Purna Budaya atau mendengar ceramah di Karta Pustaka adalah juga pelanggan gudeg yang setia di sepanjang trotoar Malioboro. Ditambah lagi yang membuat suasana menjadi semakin akrabnya, dengan makan gudeg di sana dapat menjumpai berbagai macam jenis pengamen, dari yang siteran sampai Bob Dylan gadungan tidak henti-hentinya mampir meminta honorarium.
Dan dulu kala sekali-sekali keluarga Presiden Soeharto kalau kebetulan menginap di Istana Gedung Agung berkenan juga memanggil Bu Mul dan seorang kolega lagi untuk membawa gendongan gudeg mereka ke istana itu. Pak Harto dan Bu Tien sekali-sekali rindu juga jajan gudeg sembari nglesot di tikar. Pak Harto yang kala itu menjabat sebagai presiden pun, makan gudeg sembari nglesot, lesehan. Tentu ini bukti kalau gudeg mampu menghancurkan kelas sosial. Manusia menjadi sama rata di “mata gudeg”. Gudeg mewujudkan “masyarakat tanpa kelas”, sesuatu yang diidam-idamkan Karl Marx. Terbukti Pak Harto yang seorang presiden makan gudeg sambil nglesot hlo....
Memang menarik. Hidangan hik, nasi liwet, dan gudeg ini adalah hidangan yang mampu menghancurkan sekat dan kelas sosial, dan membuat hubungan sesama manusia menjadi begitu akrabnya. Entah priyayi, wong cilik, presiden, kalangan apa saja, kalau mau menikmati hik ya harus duduk bersama. Kalau mau menikmati nasi liwet, gudeg, ya lesehan bersama. Sambil reriungan yang tentunya membuat suasana semakin syahdu. Tentunya makanan tradisional kita ini juga mengandung khasanah yang begitu banyak. Ini baru hik, nasi liwet, dan gudeg. Tentu makanan tradisional lainnya, juga mengandung khasanah-khasanah yang begitu “kaya”.
Hlo, dari tadi kok ya cuma membahas makanan. Bagaimana jika malam nanti kita makan nasi liwet, gudeg, atau sekedar reriuangan wedangan di hik sambil ngrasani urip yang begitu menggairahkan ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H