Mohon tunggu...
Abdur Rohman
Abdur Rohman Mohon Tunggu... Lainnya - Sak Madyo

Alumni Sosiologi UNS, Aktif di Kemenkumham RI (Bapas Kelas I Surakarta), Aktif di Rumah Seduh @tomboku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Musik dan Religiositas

19 Oktober 2016   20:19 Diperbarui: 19 Oktober 2016   20:37 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Musik sangat dekat dengan kehidupan manusia. Dulu sebelum abad 20, jika ingin mendengarkan musik, orang harus berbondong-bondong ke gedung-gedung pertunjukan. Sekarang dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan kita dapat menikmati musik tanpa harus pergi ke gedung pertunjukan. Bahkan, jika kita mau, kita bisa menikmati musik dimanapun dan kapanpun sesuka hati. Kita juga bisa memilih musik apapun yang kita inginkan.

Menikmati musik di gedung pertunjukan maupun di acara konser musik, tentu tak dapat dilakukan sembarang waktu. Penikmat musik harus meninggalkan dulu rumahnya untuk mencapai tempat pertunjukan. Maka dibutuhkan pengorbanan berlebih untuk sekedar mendengarkan musik.

Tentu ada sesuatu yang berbeda jika kita mendengarkan musik secara langsung dengan tak langsung. Jika menikmati musik secara langsung dengan datang ke tempat pertunjukan, tentu ada keintiman dan kemesraan yang terbangun antara pemusik (orang yang memainkan musik) dengan penikmat atau pendengar. Ada interaksi yang intens, tegur-sapa, tatap muka dan sebagainya. Berbeda jika kita mendengarkan musik secara tidak langsung, misalkan melalui televisi, radio, dan berbagai media elektronik lain, tentu keintiman interaksi antara pemusik dan pendengar akan hilang.

Hal semacam itu sedikit tak berlaku di desa saya. Desa saya mengenal musik hadroh, biasa juga disebut dengan istilah terbanganyang setiap penyelenggaraannya selalu merayakan kebersamaan. Di dalam musik hadroh, dikotomi antara pemusik dengan pendengar menjadi kabur. Artinya, tak ada pemisah antara keduanya. Semua larut dalam kebersamaan.

Musik hadroh memang berasal dari Timur Tengah, namun yang menggirangkan, musik hadroh di desa saya bisa menyatu dengan tradisi setempat. Lirik yang disampaikan mengandung pesan-pesan religius. Penyampaiannya dipadukan antara bahasa Arab dengan bahasa Jawa.

Di desa saya, hadroh hadir di setiap saat dalam pelbagai acara seperti syukuran, khitanan, aqiqah, pengajian, dan acara-acara lain. Bagi masyarakat desa saya, hadroh adalah perayaan kebersamaan. Masyarakat desa berkumpul, musik hadroh mengantarkan kebersamaan melantunkan syair-syair religius dengan mesra.

Religiusitas

Asal kata musik sangat kental dengan nuansa religiositas. Musik berasal dari bahasa Yunani, mousai,yakni sembilan dewi yang menguasai seni-seni murni dan ilmu pengetahuan. Kesembilan dewi  itu adalah putri-putri Zeus dan Mnemosyne. Dalam sejarah Yunani, musik menduduki tempat istimewa sebagai perwujudan pikiran dan perasaan. Kebudayaan Eropa sepenuhnya bersumber dari kebudayaan Yunani (Remy Sylado, 1986).

Dalam buku Menuju Apresiasi Musik(Angkasa, 1986), Remy Sylado lebih jauh menjelaskan ketika agama Kristen berkembang di Eropa, dasar-dasar ilmu musik orang Yunani itu jugalah yang dikembangkan. Peranan gereja dan pemuka agama amat besar menentukan kesempurnaan musik.

Dasar-dasar pengetahuan musik Yunani dikembangkan menjadi khas Kristen. Gereja menjadi pusat kegiatan kebudayaan, hingga musik pun juga dikembangkan melalui gereja. Musik Kristen disebut liturgi, dari bahasa Latin, liturgia, artinya doa dalam bentuk nyanyian.

Perkembangan musik lekat sekali dengan religiusitas, musik pada awalnya selalu berkaitan dengan tujuan-tujuan keagamaan. Dalam musik kita mengenal aturan tangga nada, ada diatonis dan pentatonis. Kata diatonis dipetik dari bahasa latin, diatonicus,maksudnya nada-nada yang terdiri dari tujuh jenis bunyi, yaitu do re mi fa sol la si do. Penemu aturan diatonis ini bernama Guido Aretinius d’Arezzo, seorang guru sekaligus pastor Katolik dari mahzab Benediktus.

Penemuan nada diatonis, sebutannya berasal dari rentetan kata-kata pujaan kepada Sancta Ioannis, murid termuda Yesus Kristus. Begini susunannya: (Ut) queant laxis, (Re)nonare fibris, (Mi)ra gestorum, (Fa)muli tuorum, (Sol)ve polluti, (La)bii reatum, (S)ancta (i)oannis. Susunan kata ini kalau kita baca menjadi ut, re, mi, fa, sol, la, si. Lalu bagaimana munculnya do? Bunyi do diambil dari kata Dominus, artinya Tuhan. Kemudian nada do menggantikan nada ut. Musik memang sangat religius!

Di Jawa, musik juga sangat kental dengan nuansa religius. Dulu saat penyiaran agama Islam, berlangsung pembenahan gamelan di Jawa oleh para wali. Para wali ini terdiri dari sembilan orang, lazim disebut sebagai walisanga. Salah seorang wali yang amat masyhur, bernama Sunan Kalijaga. Beliau menciptakan tembang,wayang punakawan; yakni Semar, Petruk, Gareng, Bagong, serta perangkat instrumen pelengkap gamelan; kenong, kempul, kendang,dan genjur. Ciptaan-ciptaan itu semua oleh Sunan Kalijaga dihubungkan dengan dakwah Islam.

Nama-nama instrumen kenong, kempul, kendang, dan genjur ada hubungannya dengan dakwah Islam. Perhatikan, kenong bunyinya nong-nong, kempul bunyinya pung-pung, pul-pul, kendang bunyinya dang-dang, genjur bunyinya gur.

Alat-alat ini dimaksudkan Sunan Kalijaga sebagai isyarat kepada umat manusia di mana-mana agar berkumpul cepat masuk Islam. Kalau dibuatkan kalimat, maksud susunan instrumen ini adalah, “nong kono kene, mumpung kumpul, ndang-ndang, jegur mlebu Islam”, artinya, “di sana-sini, mumpung dapat berkumpul, cepat-cepatlah menjeburkan diri ke dalam agama Islam”.

Bukankah semakin nyata dalam amatan kita, musik pada awalnya selalu berkaitan dengan tujuan-tujuan keagamaan? Musik tak bisa dilepaskan dari nuansa religiusitas. Lalu, bagimana perkembangan musik dewasa ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun