Penemuan nada diatonis, sebutannya berasal dari rentetan kata-kata pujaan kepada Sancta Ioannis, murid termuda Yesus Kristus. Begini susunannya: (Ut) queant laxis, (Re)nonare fibris, (Mi)ra gestorum, (Fa)muli tuorum, (Sol)ve polluti, (La)bii reatum, (S)ancta (i)oannis. Susunan kata ini kalau kita baca menjadi ut, re, mi, fa, sol, la, si. Lalu bagaimana munculnya do? Bunyi do diambil dari kata Dominus, artinya Tuhan. Kemudian nada do menggantikan nada ut. Musik memang sangat religius!
Di Jawa, musik juga sangat kental dengan nuansa religius. Dulu saat penyiaran agama Islam, berlangsung pembenahan gamelan di Jawa oleh para wali. Para wali ini terdiri dari sembilan orang, lazim disebut sebagai walisanga. Salah seorang wali yang amat masyhur, bernama Sunan Kalijaga. Beliau menciptakan tembang,wayang punakawan; yakni Semar, Petruk, Gareng, Bagong, serta perangkat instrumen pelengkap gamelan; kenong, kempul, kendang,dan genjur. Ciptaan-ciptaan itu semua oleh Sunan Kalijaga dihubungkan dengan dakwah Islam.
Nama-nama instrumen kenong, kempul, kendang, dan genjur ada hubungannya dengan dakwah Islam. Perhatikan, kenong bunyinya nong-nong, kempul bunyinya pung-pung, pul-pul, kendang bunyinya dang-dang, genjur bunyinya gur.
Alat-alat ini dimaksudkan Sunan Kalijaga sebagai isyarat kepada umat manusia di mana-mana agar berkumpul cepat masuk Islam. Kalau dibuatkan kalimat, maksud susunan instrumen ini adalah, “nong kono kene, mumpung kumpul, ndang-ndang, jegur mlebu Islam”, artinya, “di sana-sini, mumpung dapat berkumpul, cepat-cepatlah menjeburkan diri ke dalam agama Islam”.
Bukankah semakin nyata dalam amatan kita, musik pada awalnya selalu berkaitan dengan tujuan-tujuan keagamaan? Musik tak bisa dilepaskan dari nuansa religiusitas. Lalu, bagimana perkembangan musik dewasa ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H