Mohon tunggu...
Abdu Rozaqi
Abdu Rozaqi Mohon Tunggu... - -

Stay Foolish, Stay Hungry

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Minat Baca Buku yang Rendah dan "Spirit Renaissance"

31 Agustus 2017   12:53 Diperbarui: 2 September 2017   11:55 2894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Linkedin.

Mengapa orang Indonesia tidak suka baca buku? Ini adalah pertanyaan yang menggelitik setiap orang yang peduli terhadap SDM Indonesia, yakni mengenai minat baca orang Indonesia yang rendah. 

Dengan hadirnya era informasi dan internet bersamaan dengan arus globalisasi, dapat dimaklumi bahwa setiap orang lebih memilih internet sebagai sarana pembelajaran dibandingkan membaca buku. Tapi bukan berarti bahwa penyebab minat baca orang Indonesia yang rendah disebabkan oleh internet. 

Jika itu yang dijadikan patokan, maka orang barat, walaupun sudah 50 tahun lebih maju dibandingkan SDM Indonesia dan sudah mengenal internet dari jauh hari, tetap saja minat baca mereka tetap tinggi terhadap buku. Buku-buku jenis apapun laris dijual bahkan jutaan eksemplar, terutama di Amerika Serikat. 

Bahkan buku biasa dengan topik umum seperti psikologi, sosial, dan buku wawasan hampir semua genre apapun laris diminati bahkan sepuluh kali lipat dibandingkan buku dengan topik serupa yang dijual di Indonesia. Mengapa? Karena minat baca mereka tinggi dan minat baca orang Indonesia rendah.

Tidak usah saya berikan data, angka, statistik, mari kita kembali ke sejarah untuk mengetahui apa penyebab minat baca orang Indonesia yang rendah. Lho, mengapa kembali ke sejarah? Karena jika kita menengok sejarah, kita bisa dengan cermat melihat ada hubungan minat baca yang rendah terhadap budaya dan sosiologi dari penelusuran secara historis. 

Indonesia adalah negara yang baru terlepas dari era penjajahan di masa silam, sama seperti banyak negara lainnya yang dijajah kolonial asing. Ada lima kategori generasi SDM di Indonesia dilihat dari kronologi historis. Generasi pertama (generasi era kolonial) adalah generasi yang hidup atau lahir sebelum tahun 1945 dan merupakan generasi yang secara langsung mengalami sendiri kondisi era penjajahan. 

Generasi Kedua, yakni generasi kelahiran tahun 45-60an yang terlahir beberapa tahun setelah era penjajahan Belanda berakhir. Generasi Ketiga, yakni generasi kelahiran tahun 65 hingga akhir tahun 80an. Generasi Keempat, yakni generasi unik kelahiran tahun 1989an hingga 1995. Dan Generasi Kelima, yakni generasi kelahiran tahun 1996 hingga 2000an atau disebut Generasi Milenial. 

Generasi Pertama dan Kedua jelas masih berpikiran kuno dan old-school (lawas). Dalam artian dalam memandang dunia, masyarakat generasi pertama masih sangat berwawasan sempit dan terkekang oleh isolasi bertahun-tahun yang dialami di era kolonial. Sedangkan Generasi Kedua sangat trauma dan emosial terhadap isu komunisme yang berkembang di tanah air, namun wawasan mereka terhadap dunia global dan ilmu pengetahuan juga sama sempitnya. 

Ingat, wawasan sempit bukan berarti bodoh, tetapi dia tidak mampu membuka wawasan lebih luas dan hanya puas dengan pengetahuan lokal saja. Sedangkan Generasi Ketiga, meskipun sedikit modern dari generasi sebelumnya, namun ketertarikan mereka terhadap bacaan literasi juga masih rendah. 

Generasi Keempat, bisa dibilang unik karena wawasan mereka sedikit terbuka dan open-minded terhadap segala sesuatu. Secara keseluruhan, memang orang Indonesia sangat tidak suka atau alergi terhadap bahasa inggris. 

Sebenarnya bukan karena bahasa inggris itu sulit, menurut saya lebih dikarenakan mayoritas dari mereka malas karena tidak merasa butuh atau tidak melihat manfaat langsung dari kegunaan bahasa inggris tersebut. 

Tapi dibandingkan Generasi Pertama, Kedua, Ketiga, Generasi Keempat lebih baik dan lebih berwawasan. Generasi Kelima adalah generasi online, tanpa internet, apalah artinya hidup. Namun Generasi Kelima atau generasi Milenial ini kebanyakan hanya ber-internetan untuk bermain game online saja, walaupun memang potensi keingintahuan mereka cukup besar.

Anehnya, Kelima generasi tersebut, minat baca mereka juga rendah, terutama terhadap buku bacaan. Dan saya ingatkan, dengan adanya internet dan ebook digital, bukan berarti dapat dijadikan alasan minat baca buku yang rendah di Indonesia. 

Amerika Serikat contohnya, walaupun 50 tahun lebih maju dibanding Indonesia, tetap saja, minat baca bukunya sangat tinggi dan orang berlomba-lomba saling berbagi ilmu dan mencari wawasan seluas-luasnya. Oke lah, dunia ini hanya sementara, tapi bukan berarti seseorang hanya puas dengan keterbatasan ilmu dan wawasan yang ia miliki. Seseorang harus terus menggali lebih dalam pengetahuan dunia. 

Saya berikan contoh SDM Indonesia dengan SDM Amerika. Di Indonesia, orang membaca buku bisnis hanya karena dia pebisnis. Orang membaca buku filsafat karena dia mahasiswa filsafat dan karena tuntutan perkuliahan. Orang baca buku psikologi karena tuntutan profesinya. Orang baca buku sejarah karena dia sejarawan. Memang itu tidak salah dan seharusnya begitu. 

Tapi di Amerika, Orang membaca buku filsafat karena dia suka filsafat walaupun dia tidak kuliah di jurusan filsafat. Orang membaca buku psikologi karena dia tertarik psikologi manusia dan ingin memahami sifat bawaan manusia. Orang belajar matematika, bukan karena agar dapat diterima bekerja, tapi karena ingin menggali lebih dalam ilmunya agar bermanfaat. Orang belajar sejarah, bukan hanya karena dia sejarawan, tetapi karena ia ingin tahu sejarah dunia. Dari sini mungkin anda sedikit banyak mengerti apa yang saya maksud. 

Ya, Passion (minat atau ketertarikan). Bisa disimpulkan bahwa kurangnya passion bisa menyebabkan rendahnya atau bahkan tidak ada sama sekali minat baca buku. Passion yang rendah ini sangat berkontribusi terhadap rendahnya minat baca bukan saja di Indonesia, tetapi juga di negara-negara berkembang lainnya.

Ingat, bahwa mayoritas orang Indonesia memiliki sudut pandang yang keliru hampir terhadap segala sesuatu. Ini bukan merendahkan tetapi merupakan sebuah kesimpulan analisis mengenai fenomena masyarakat Indonesia. Ciri-ciri ini, jika anda pengamat sosial, budaya, dan psikologi, dapat anda saksikan di hampir semua masyarakat di negara-negara berkembang. 

Bahkan kekeliruan sudut pandang ini hampir dialami semua generasi di Indonesia mulai dari generasi pertama hingga generasi keempat. Generasi Kelima tidak terjerumus ke dalam pemikiran lama yang kaku dan sempit, tapi mencoba membuka pemikiran baru mereka. Tapi tetap saja minat baca Generasi Kelima juga rendah.

Contoh, mayoritas orang Indonesia bangga dijajah 350 tahun lamanya. Dan bangga bahwa mereka telah berjuang melawan penjajahan Belanda di Indonesia. Bangga dengan perjuangan bangsa boleh saja, bangga dengan kemerdekaan yang diraih oleh darah rakyat silahkan saja. Tapi soal dijajah 350 tahun, itu pengecualian. 

Sudah lumrah bahwa yang orang penjajah lebih pintar daripada yang dijajah. Jika yang dijajah lebih pintar, harusnya sejak tahun 1603 Indonesia sudah merdeka. Masalahnya saat itu masyarakat di negara berkembang sangat kuno, kolot, tidak berwawasan, dan hidup tanpa pencarian ilmu pengetahuan jika dibandingkan dengan masyarakat di negara barat.

Hal itu dikarenakan masyarakat barat baru saja mengalami periode gemilang yang disebut periode Rennaissance. Periode Rennaissance ini merupakan periode di mana SDM di negara-negara barat mengalami perubahan pemikiran dan sudut pandang. Periode ini juga juga membuka wawasan mereka akan dunia eksplorasi (termasuk kolonalisasi, eksplorasi maritim, eksplorasi emas, eksplorasi wilayah koloni, dll). 

Di era Renaissance ini, banyak penemuan-penemuan baru diciptakan, memudahkan mereka menciptakan ilmu navigasi dan pelayaran, ilmu membuat peta, dan banyak orang berlomba-lomba menjadi explorer demi menjelajah lautan dan mencari hal-hal baru. 

Para ilmuwan dan pakar science bermunculan. Para Explorer ini, niat awal mereka sebenarnya bukan untuk menjajah, tetapi untuk melakukan eksplorasi maritim di wilayah-wilayah baru di seluruh dunia. Periode Rennaissance ini juga ditandai oleh ketertarikan masyarakat di barat terhadap filsafat, psikologi, humanisme, sastra, musik, teknologi, arsitektur, geografi, science, ilmu maritim, taktik perang, dan sebagainya. 

Bisa disebut Rennaissance merupakan Revolusi Mental orang barat yang sudah terbentuk jauh hari sebelum Indonesia di tahun 2016 mulai mencoba menerapkan Revolusi Mental. Namun, Periode Rennaissance yang terjadi di awal tahun 1400an hingga 1700an bukan saja merupakan revolusi mental umat manusia di barat, tetapi juga merupakan revolusi manusia dari segi pemikiran, dan membuka cakrawala yang lebih luas lagi terhadap teknologi dan ilmu pengetahuan. 

Nah, periode Rennaissance inilah awal mula mengapa orang barat suka membaca buku. Karena buku adalah sumber ilmu dan wawasan. Dari sinilah kita bisa mengetahui perbedaan minat baca antara orang Indonesia dan orang barat yang sudah jauh-jauh hari mengalami revolusi dari segi pemikiran dan science.

Bukan hanya itu saja. Pada tahun 1800an, Periode Enlightment muncul di barat. Periode ini disebut juga periode Age of Reason (periode science/logika pemikiran). Periode Pencerahan ini muncul 100 tahun setelah periode Rennaissance. Pemikiran dan pandangan lama di era Rennaissance, mulai dianalisa dan diperbaiki di Periode Pencerahan. 

Science mulai disempurnakan kembali dan teori-teorinya dipisahkan antara mana teori yang akurat dan yang tidak terlalu akurat. Pandangan seperti Kebebasan Berpendapat, toleransi, hubungan antar manusia, ilmu pemerintahan, berkembang pesat. 

Zaman Pencerahan ini melengkapi apa-apa yang harus diperbaiki dan dilengkapi di zaman sebelumnya. Periode Pencerahan juga sangat menjunjung tinggi science, bacaan, sastra, ilmu pengetahuan, dan hal-hal yang bermanfaat lainnya. Semua orang merasa seperti terlahir kembali, terlahir dengan revolusi mental pemikiran dan logika yang sempurna. 

Sisi minus dari Periode Pencerahan ini adalah mulai diterapkannya paham sekuler yakni pemisahan absolut antara pemerintahan dan agama. Tapi masih tetap berpegang teguh terhadap agama dan tetap memelihara eksistensi gereja. Sisi minus lainnya dari Abad Pencerahan itu adalah kurangnya Spiritual Awareness (Kesadaran Spiritual/kesadaran beragama) dan manusia-manusia barat pada saat itu lebih berfokus kepada Scientific-Oriented Thinking, Tolerance, Humanity, Arts, and Masterpieces.

Dua Periode di atas, yakni Rennaissance dan Enlightment, merupakan dua periode gemilang yang membuka mata manusia akan pencarian absolut akan ilmu pengetahuan dan science. Jika Rennaissance membuka mata akan hampir semua ilmu, Enlightment melengkapinya dengan pemikiran science dan logika berpikir yang sistematis dan cemerlang. Dua periode itu, bisa dikatakan merupakan sumbangsih yang besar bagi masyarakat dunia barat dan merupakan dua periode yang membuat mengapa masyarakat barat saat ini begitu "kecanduan" terhadap buku dan literatur.

Sekarang bandingkan dengan masyarakat yang ada di negara-negara berkembang di tahun 1700-1800an yang sama sekali tidak melakukan pencarian ilmu dan tidak berfokus terhadap penelitian science, serta pandangan dan pemikiran mereka tidak mengalami revolusi pencerahan. Jelas dari kondisi tersebut terdapat dua jenis SDM yang jelas-jelas sangat berbeda. Bukan masalah pintar, atau bodoh, tetapi lebih kepada SDM yang ber-wawasan, memaknai science sebagai ilmu absolut, dan "haus" akan ilmu pengetahuan. 

Yang satu menjunjung tinggi ilmu absolut dan menghargai semua karya orang lain. Yang satunya merupakan SDM yang masih berpikiran sempit dan tradisional yang masih percaya takhayul dan masih berkutat di mistisme-klenik serta pemujaan dan pemaknaan yang berlebihan terhadap lingkungan sekitar, alam, makhluk halus, sesajen, dan sebagainya. 

Ingat, bahwa di tahun 1800an, orang Indonesia masih kental dengan mistisme dan memiliki sisi animisme-spiritual yang tinggi bahkan sebelum agama Islam masuk ke Indonesia. Mereka menyembah apa saja selain daripada Tuhan, bahkan kepada pohon yang dipercaya terdapat penunggu gaib di dalamnya. 

Dari kedua jenis manusia tersebut, anda tahu sendiri mana di antara keduanya yang tertarik membaca buku. Si A yang pemikiran dan pandangannya terbuka, yang menghargai karya orang lain, dan sangat ingin tahu. Atau si B, yang masih suka memuja makhluk gaib dan meminta bantuan kepada mereka, dan sama sekali tidak tertarik ilmu pengetahuan, science dan logika berpikir. 

Namun yang si B sama sekali masa bodoh terhadap science dan wawasan global. Revolusi pemikiran dan mental mereka juga tidak berkembang. Ibarat dua sisi mata uang. Orang Barat saat itu sudah melakukan revolusi mental dan pencerahan pemikiran besar-besaran. Sedangkan orang Indonesia saat itu masih identik dengan klenik dan tidak berevolusi secara pemikiran.

Revolusi Mental tidak akan berhasil jika semua orang masa bodoh dan masih berpandangan sempit. Revolusi Mental juga tidak akan berhasil jika suatu masyarakat di satu negara sama sekali tidak menghargai hasil karya orang lain dan hanya memikirkan soal uang dan status sosial semata. 

Jika Indonesia saat ini baru mengupayakan Revolusi Mental, itu wacana cerdas dari Jokowi yang sebenarnya bertujuan untuk membuat SDM Indonesia makin maju di era globalisasi saat ini dan tidak melulu hanya paham kearifan lokal semata tetapi juga berwawasan secara global. Jokowi jelas ingin membuat SDM Indonesia agar setara dengan negara-negara lain di era globalisasi. 

Namun dalam prakteknya, jelas Revolusi Mental gagal total dan tidak bisa dipaksakan di negara berkembang, terutama di Asia, karena umumnya masyarakat di negara berkembang masa bodoh dan tidak peduli dengan science atau pencarian terhadap wawasan keilmuan, mereka tidak berkutat dengan sejarah, tidak melakukan riset serius, dan tidak "melek" globalisasi. 

Alergi terhadap bahasa Inggris sebeanrnya merupakan salah satu faktor yang menghambat arus informasi dan globalisasi. Bahasa Inggris harus dilihat sebagai suatu kebutuhan di era modern, bukan sesuatu yang dilihat sebagai monster yang menjadi momok ancaman bagi kedaulatan negara dan Bahasa Indonesia. 

Mayoritas masyarakat kelas bawah peduli hanyalah nasionalisme ekstrem dan pemujaan berlebihan terhadap militerisme tanpa kebijaksanaan ilmu. Pandangan seperti itu disebut ideologi Fasisme. Yaitu pemujaan nasionalisme dan militerisme yang sangat ekstrem dan selalu menyalahkan atau mencari kesalahan negara lain, atau membesar-besarkannya, dan mengajak orang lain untuk membenci negara tersebut. 

Ingat, bahwa di tahun 2017, masyarakat di negara berkembang belum juga mengalami Revolusi Mental dan Pemikiran. Jauh-jauh hari tepatnya di awal abad ke-15, Rennaissance sudah tumbuh subur di barat dan pemikiran masyarakatnya sudah sangat terbuka. Abad ke-18, Periode Englightment menciptakan suatu kerangka berpikir yang kuat mengenai Kebebasan Berpikir, Logika, Science, Hukum Pemerintahan dan Tata Negara, Humanisme, dan sebagainya. 

Saya tidak mengatakan masyarakat di negara berkembang tidak mampu dan masyarakat di negara barat pintar. Melainkan, mayoritas masyarakat yang ada di negara berkembang tidak mengalami revolusi mental dan pemikiran seperti layaknya mereka yang "sudah tercerahkan" oleh evolusi kemajuan dari segi teknologi, iptek, sejarah, science, berkat keterbukaan dan kemajuan pemikiran mereka sejak 400 tahun sebelumnya. Itulah mengapa orang barat sekarang sangat senang membaca buku apapun. 

Bukan cuma komik dan novel saja seperti tema-tema populer yang menjadi santapan, tetapi buku-buku dengan tema berat seperti filsafat, psikologi, sejarah, dan lain-lain menjadi santapan mayoritas masyarakat barat saat ini. Itu karena mereka memang senang mencari ilmu dan selalu haus akan wawasan. 

Mereka merasa masih bodoh dan masih terus belajar menggali ilmu tanpa batas. Karena mereka sudah terbiasa dengan rutinitas tersebut dan rutinitas "berteman dengan buku" sudah berlangsung dari sejak 600 tahun silam sejak Rennaissance merambah dunia barat. Perbedaan mendasar ratusan tahun antara SDM negara kolonial dan SDM negara yang terjajah. Bahkan sampai sekarang pun perbedaan itu masih ada, dalam cara memandang, menghargai, serta memaknai hakekat ilmu pengetahuan dan hasil karya orang lain.

Harap dimengerti bahwa Revolusi mental dan pemikiran sejak era Rennaissance tidak semuanya positif dan cocok untuk masyarakat dan budaya timur yang agamis. Rennaissance juga membawa sisi negatif yakni meneguhkan paham ateisme berdasarkan evolusi darwinisme dan science, banyak ilmuwan-ilmuwan dan filsafat berorientasi pada Atheism-Based Logic (logika ilmu berdasarkan ideologi bahwa science menegaskan tidak ada campur tangan Tuhan), paham sekulerisme, liberalisme, dan kebebasan yang kebablasan tanpa mengenal Tuhan. Dari 100% ilmu pengetahuan yang ada di Periode Rennaissance, hampir 30% negatif dan tidak bisa dijadikan landasan berpikir bagi masyarakat timur. 

Sisanya, dapat kita ambil sisi baiknya. Ingat, bahwa satu syarat seseorang sudah mengalami Revolusi Mental dan Pemikiran adalah dia "selalu haus" akan ilmu pengetahuan, menghargai karya orang lain (sesuatu yang jarang ada di negara berkembang), menghargai orang lain (terutama di jalan raya), budaya tertib, dan senang dengan buku. 

Apalagi ditambah dengan ilmu wawasan spiritual dan agama yang tinggi, lengkaplah ia menjadi orang yang berevolusi baik secara mental, ilmu, dan spiritual bahkan mengalahkan revolusi pemikiran barat. Itulah sebenarnya esensi Spirit Rennaissance (Semangat Rennaissance) sejati. Sesuatu yang tidak ada dalam budaya masyarakat Indonesia dan masyarakat di negara berkembang pada umumnya yang tidak tertarik bacaan, ilmu, dan science. 

Spirit Rennaissance adalah suatu semangat dan hasrat terpendam yang dimiliki seseorang yang haus akan wawasan dan ilmu pengetahuan, seseorang yang mengalami revolusi mental dan pemikiran seperti itu tidak akan pernah merasa kesepian dan bosan bahkan jika ia berada sendirian di sebuah ruangan, dengan hanya satu buku yang dapat mencerahkan pemikirannya. 

Karena dengan satu buku itu, pemikiran dia akan terbang jauh luas melintasi cakrawala bahkan walaupun fisiknya terkurung di satu ruangan. Ia senang mendapatkan pengetahuan dan wawasan baru yang belum pernah ia dapat sebelumnya, spirit Revolusi Mental dan Pemikiran sejati. Uang tidak membuat dia bahagia selamanya, tapi dengan sedikit ilmu, ia merasa ia dapat menggenggam dunia ini. Itulah esensi pencarian ilmu sejati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun