Mohon tunggu...
Abdu Rozaqi
Abdu Rozaqi Mohon Tunggu... - -

Stay Foolish, Stay Hungry

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kedaulatan Perbatasan, Sipadan-Ligitan, dan Kasus Papua Merdeka

9 Februari 2016   19:25 Diperbarui: 9 Februari 2016   19:33 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jangan remehkan lawan! Indonesia jangan pernah sekali-kali meremehkan determinasi atau kemampuan lawan, yang tentunya akan fatal akibatnya. Lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan dari genggaman, lepasnya Timor Timur (saat ini Timor Leste), serta masalah-masalah sengketa perbatasan lainnya yang suatu saat dapat memunculkan eskalasi baru. Terkait kasus Sipadan dan Ligitan, mungkin banyak media selalu memberitakan yang buruk-buruk tentang Malaysia, dan diperparah oleh percakapan kebencian yang sering dilontarkan para remaja atau orang awam yang sama sekali tidak mengetahui proses dibalik kemenangan Malaysia mendapatkan dua pulau tersebut.

Dan yang tak kalah penting, masalah OPM (Organisasi Papua Merdeka). Terakhir di Bali ada insiden terkait dengan pengibaran bendera West Papua (Bendera Papua Barat- Bintang Kejora), yang sebenarnya digunakan OPM untuk menarik simpatisan baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Ingat, bahwa Indonesia masih lemah dalam sengketa perbatasan dan sengketa maritim, serta kendala geografis lainnya, untuk itu nilai detterent Indonesia masih dipandang lemah di kancah ASEAN atau Asia Tenggara. Indonesia kalah dalam sengketa pulau Sipadan-Ligitan karena gegabah membawa kasus tersebut ke Mahkamah Internasional.

Indonesia gagal mendapatkan Timor Timur karena juga gegabah mengajukan referendum (yang sangat beresiko membuat Timtim lepas dari NKRI). Indonesia juga gagal membuat kesejahteraan di wilayah perbatasan Kalimantan Utara yang berbatasan langsung oleh Malaysia. Pemerintah tidak bisa berkutik ketika banyak anak SD di perbatasan Kaltim-Malaysia lebih memilih sekolah di sekolah Malaysia daripada sekolah di Indonesia. Dan barang-barang pun lebih murah di Malaysia daripada di Indonesia. Belum lagi ditambah dengan infrastruktur jalan yang selama puluhan tahun terbengkalai. Sungguh memalukan bagaimana negeri ini memperlakukan warganya di perbatasan.

Lalu, pertanyaannya, bagaimana cara meningkatkan nilai detterent Indonesia agar dipandang oleh negara lain sebagai negara yang tidak hanya kuat dalam militer, tetapi memiliki kedaulatan territorial dan perbatasan yang mendapat perhatian serius dari pemerintah. Jika Indonesia sungguh-sungguh ingin meningkatkan nilai tawarnya di kancah global, minimal di kancah ASEAN, maka tidak boleh lagi ada fasilitas atau SDM yang tidak diurusi secara serius oleh pemerintah. Kemiskinan mungkin susah untuk ditangani, tetapi minimal perbaikan jalan-jalan segera dilakukan, renovasi Sekolah Dasar yang ada di wilayah perbatasan dilakukan (dengan target Dirjen Pajak di tahun 2016 sekitar 2000 Triliun, masak merenovasi sekolah saja tidak becus?).

Maka dengan adanya perbaikan jalan (terutama di wilayah Kalimantan Utara, perbatasan dengan Timor Leste, kawasan pedalaman Papua, dan di wilayah pelosok baik di Sumatera maupun di Sulawesi, maka otomatis akan mengangkat roda perekonomian di daerah. Selain itu perbaikan jalan dan infrastrukturnya juga akan memudahkan dari segi transportasi yang akan berimbas pada peningkatan di sektor ekonomi daerah (ekonomi mikro). Tidak perlu berkoar-koar terus mengenai prioritas akan alutsista matra laut dan udara, tetapi masalah kesejahteraan di wilayah perbatasan dan perbaikan sarana infrastruktur itulah yang terlebih dahulu dipikirkan.

Beban tidak hanya di pundak TNI saja sebagai kekuatan pengamanan terluar, tetapi harus terlibat didalamnya Menteri Sosial, Menteri Budaya, Menteri Pendidikan, dan elemen-elemen lain di dalam pemerintahan. Kementerian Sosial misalnya, mengurusi masalah kesejahteraan masyarakat perbatasan, Kementerian Budaya misalnya, berfungsi memberikan pemahaman dan wawasan budaya untuk masyarakat perbatasan, bisa juga memberikan hiburan di daerah perbatasan dengan cara penggelaran acara berbau seni dan budaya (agar mendekatkan anak-anak soal wawasan budaya yang selama ini jarang mereka ketahui), dan Kementerian Pendidikan,

membantu dalam melayani masyarakat dari aspek pendidikan termasuk pelayanan pendidikan di daerah. Semua itu nantinya ditangani oleh Kementerian Keuangan dari aspek finansial dan dijalani dengan benar oleh pemerintah. Jika itu dilaksanakan dengan baik, maka perlahan-lahan Indonesia akan kembali disegani negara lain karena berdaulat dan mandiri di perbatasan.

Kembali ke masalah sengketa wilayah. Terkait masalah sengketa Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Malaysia, Malaysia memang sengaja membawa kasus tersebut ke ranah internasional, karena memang Malaysia tahu bahwa mereka akan kalah jika kasus Sipadan-Ligitan di bahas dan diselesaikan di ASEAN. Malaysia menghindar dari penyelesaian Sipadan-Ligitan dari segi politik (ASEAN) dan memilih menyelesaikannya dari segi penyelesaian hukum (PBB/ICJ). ICJ sendiri adalah International Court of Justice (Mahkamah Internasional) yang menangani sengketa perebutan wilayah atau pulau. ICJ merupakan bagian dari PBB yang berkantor di luar AS, yakni di Den Haag, Belanda.

Orang awam pasti langsung menghujat Malaysia dan menganggap bahwa Malaysia maling pulau, padahal itu hanya pemikiran orang awam dan tidak berdasarkan pada kesimpulan yang logis. Ada aturan-aturan yang berlaku dalam ICJ terhadap kasus tersebut. Kita tidak bisa menyimpulkan bahwa Malaysia adalah maling dan Indonesia adalah pemukul-maling, atau Malaysia buruk dan Indonesia baik, tidak bisa. Itu hanyalah pemikiran skeptis, yang penuh dengan kebencian dan provokasi yang tidak baik yang sebenarnya banyak dianut oleh masyarakat sok tahu (yang sebenarnya masih awam dalam hal seperti ini). Pulau Sipadan-Ligitan kasusnya jauh hari dari zaman pak Harto. Pernah dipersoalkan kedua negara di tahun 1989. Walaupun diskusi sempat vakum, namun di tahun 2000-an masalah ini kembali lagi di permukaan.

Setelah kasus dimenangkan oleh Malaysia di Mahkamah Internasional PBB, Indonesia harus ‘legowo’ dan menerima dengan lapang dada keputusan tersebut. Kita tidak bisa secara sepihak menuduh “Malaysia mencuri pulau kita” dan sebagainya. Mengapa? Karena jika masalah sengketa ini sudah dibawa kasusnya ke ICJ, maka Indonesia sebagai negara yang terlibat harus setuju terhadap “Apapun hasil keputusannya dan tidak dapat menolak”, itupun berlaku bagi Malaysia jika seandainya kasus Sipadan-Ligatan dimenangkan Indonesia. Oleh karena kesadaran itulah, Indonesia tidak boleh serta-merta menuduh yang aneh-aneh terhadap Malaysia karena kedua negara sudah setuju kasus tersebut dibawa ke ranah Internasional. Nah, pertanyaannya, mengapa bisa sampai dimenangkan Malaysia?

Walau Indonesia menunjukkan bukti bahwa kapal induk Belanda pernah berpatroli di dua wilayah itu, namun itu tidak dapat dijadikan justifikasi yang “kuat” di mata Mahkamah Internasional. Bukan berarti jika kapal induk Belanda pernah berpatroli atau bahkan berkunjung ke Sipadan-Ligitan, bukan menjadi bukti kuat. Kecuali jika ada kesepatakan tertulis antara belanda dan Indonesia terkait kedua pulau, mungkin bisa dijadikan bukti yang kuat untuk kasus yang dibawa ke ICJ. Sedangkan Malaysia membeberkan bukti yang lebih valid dan kuat dengan perjanjian antara Sultan Sulu dengan pihak Inggris terhadap Sipadan-Ligitan. Otomatis setelah Malaysia lepas dari cengkraman Inggris, kedua pulau yang pernah disekapati oleh Inggris itu jatuh ke tangan Malaysia. Sedangkan Indonesia tidak memiliki kesepakatan apapun dan dengan siapapun.

Ada juga bukti yang memperlihatkan bahwa Inggris pernah melakukan penarikan pajak di pulau itu di tahun 1930. Serta terdapat mercusuar dengan tulisan; “dibangun oleh Inggris.” Jika Indonesia sudah paham bahwa apapun hasilnya nanti semua pihak harus berlapang dada, tidak etis jika Indonesia kemudian memprotes keputusan mutlak Mahkamah Internasional tersebut. Jika tidak ingin Malaysia mendapatkan Sipadan-Ligitan, seharusnya Indonesia tidak usah gegabah membawa masalah itu ke ranah PBB. Indonesia boleh optimis, tetapi juga harus realistis dan bijak menanggapi setiap persoalan sengketa perbatasan dan pulau, terutama dengan negara-negara tetangga. Karena akibatnya bisa fatal dan pulau tidak bisa diklaim kembali.

          Hal ini tidak hanya pulau Sipadan-Ligitan saja. Indonesia setidaknya harus belajar terhadap dua masalah yang sangat penting di negeri ini; pertama, yakni tambang emas Freeport. Yang kedua, masalah separatisme yang ada di Papua (OPM). Jangan terlalu berdebat mengapa OPM tidak dianggap teroris? mengapa hanya separatis!? Dan mengapa penanganan nya tidak seperti Densus 88 yang menggerebek rumah-rumah terduga teroris di pulau Jawa misalnya. Sesungguhnya pertanyaan-pertanyaan itu adalah pertanyaan remeh-temeh, pertanyaan permukaan yang akan membuat kita pusing dan mendapatkan perdebatan panjang, namun esensi dari diskusi tersebut tidak berarti apa-apa.

Ibaratnya dua orang yang sedang bertengkar memperebutkan sesuatu. Dan dua orang itu berdebat sesuatu itu apa? Tanpa mempermasalahkan pertengkaran atau mencari solusi dari pertengkaran itu sendiri. Ada satu hal yang ironi menurut saya. Saat kita sedang panas-panasnya berdebat mengapa OPM tidak sama dianggap teroris, saat itu juga negara-negara seperti Jerman, Inggris, Swedia, Australia, AS, Senegal, Fiji, serta banyak negara Afrika dan Eropa lainnya. Ada tulisan yang menyebut bahwa Uni Eropa tidak akan mendukung OPM atau lebih menghormati NKRI, itu ada benarnya, tapi tunggu dulu.

Negara-negara seperti Inggris dan Jerman secara resmi memang tidak berkomentar karena akan menganggu hubungan diplomatik dan meningkatkan eskalasi politik secara langsung kepada Indonesia. Meski begitu, kedua negara itu (Inggris dan Jerman) secara bulat bisa dipastikan akan lebih mendukung terbentuknya Papua merdeka. Walaupun UE sudah menyatakan bahwa tidak mungkin mereka mendukung kemerdekaan papua dan lebih menghargai kedaulatan NKRI. Namun negara-negara Eropa banyak membuka kantor perwakilan atau kantor cabang yang bertujuan untuk mendukung pergerakan papua merdeka. Memang tidak sama sekali menyiratkan dukungan resmi pemerintah disana,

tetapi menyiratkan bahwa kantor perwakilan untuk menghimpun dukungan terhadap kemerdekaan papua terus berkembang dan terus mendapat dukungan dari sebagian kecil warga sana. Belum lagi ditambah dengan Lembaga HAM Internasional sebagai penentang keras HAM yang dapat dipastikan akan berkoar-kaor mengutuk perlakuan Indonesia terhadap rakyat Papua. Australia dan AS memang secara resmi menyatakan bahwa mereka tidak akan mendukung OPM, tetapi dunia intelijen berkata lain.

Ambil contoh di Australia misalnya. Media-media seperti Canberra Times, The Saturday Ages, Fairfax Australia selalu berbicara yang buruk-buruk terhadap Indonesia. Pembicaraan yang negatif itu tidak jauh-jauh dari HAM dan militer, bukan politik. Majalah The Canberra Times bahkan menyatakan bahwa ada senator Partai Demokrat AS Dianne Feinstein, Uskup Desmon Tulu, serta anggota parlemen Inggris dari Partai Buruh Andrew Smith yang secara terang mendukung gerakan OPM dan menginginkan papua merdeka. Australia juga pernah membocorkan yang katanya 19 dokumen rahasia milik Kopassus terkait dengan operasi mereka di Papua yang dibocorkan oleh media Fairfax Australia.

Pada intinya laporan yang “katanya” dibocorkan itu berisi informasi mengenai monitoring intelijen kopassus terhadap orang-orang yang dianggap sebagai anggota OPM atau simpatisan OPM. Dikatakan pula bahwa intelijen TNI di Papua selalu memantau dengan ketat mengenai warga negara asing yang berkunjung ke papua, terutama mereka yang masuk ke papua sebagai turis-turis asing. Saturday Age (media Australia) bahkan pernah mengungkap daftar informan (mata-mata) yang memasok informasi kepada kopassus.

Informan ini dikatakan mulai dari wartawan, mahasiswa, birokrat, pemimpin gereja, guru, kepala suku, bahkan hingga tukang ojek, petani, dan para pekerja di hutan. Entah apa maksud pembeberan media-media Australia tersebut dan apa kepentingan mereka. Yang jelas Australia sejak lama memiliki niat yang tidak baik (baca; kepentingan) terhadap Papua itu sendiri seperti yang pernah Australia tunjukkan di tanah Timtim (dimana wajah asli Australia sangat kelihatan disana).

Yang jelas, sudah banyak sekali dukungan negara-negara asing untuk Papua. Sudah ada lembaga khusus PBB yang memenangkan Papua jika sekiranya ada satu-dua orang pejabat Indonesia yang gegabah yang menyodorkan referendum tanpa syarat kembali. Dan ada aktivis dan lembaga-lembaga HAM Internasional yang siap pasang badan 100 persen untuk mendukung kemerdekaan Papua dengan alasan yang lazim, mengutuk Indonesia atas pelanggaran HAM di Papua.

Anda boleh saja mengatakan bahwa TNI tidak akan membiarkan papua lepas dari NKRI. Anda sah-sah saja mengatakan bahwa kekuatan TNI cukup besar di Papua. Dan bahwa pembentukan Kodam Papua Barat serta pembentukan markas-markas TNI lain di Papua menunjukkan penambahan kekuatan disana. Sekali lagi, jangan pernah meremehkan kasus OPM atau papua merdeka. Hanya cukup satu-dua orang pejabat Indonesia yang “bodoh” (jika tidak mau disebut gegabah) yang sebenarnya sudah cukup untuk melepaskan Papua dari tangan Indonesia. Semoga Tuhan memberkati tanah Papua. Amin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun