Ada juga bukti yang memperlihatkan bahwa Inggris pernah melakukan penarikan pajak di pulau itu di tahun 1930. Serta terdapat mercusuar dengan tulisan; “dibangun oleh Inggris.” Jika Indonesia sudah paham bahwa apapun hasilnya nanti semua pihak harus berlapang dada, tidak etis jika Indonesia kemudian memprotes keputusan mutlak Mahkamah Internasional tersebut. Jika tidak ingin Malaysia mendapatkan Sipadan-Ligitan, seharusnya Indonesia tidak usah gegabah membawa masalah itu ke ranah PBB. Indonesia boleh optimis, tetapi juga harus realistis dan bijak menanggapi setiap persoalan sengketa perbatasan dan pulau, terutama dengan negara-negara tetangga. Karena akibatnya bisa fatal dan pulau tidak bisa diklaim kembali.
Hal ini tidak hanya pulau Sipadan-Ligitan saja. Indonesia setidaknya harus belajar terhadap dua masalah yang sangat penting di negeri ini; pertama, yakni tambang emas Freeport. Yang kedua, masalah separatisme yang ada di Papua (OPM). Jangan terlalu berdebat mengapa OPM tidak dianggap teroris? mengapa hanya separatis!? Dan mengapa penanganan nya tidak seperti Densus 88 yang menggerebek rumah-rumah terduga teroris di pulau Jawa misalnya. Sesungguhnya pertanyaan-pertanyaan itu adalah pertanyaan remeh-temeh, pertanyaan permukaan yang akan membuat kita pusing dan mendapatkan perdebatan panjang, namun esensi dari diskusi tersebut tidak berarti apa-apa.
Ibaratnya dua orang yang sedang bertengkar memperebutkan sesuatu. Dan dua orang itu berdebat sesuatu itu apa? Tanpa mempermasalahkan pertengkaran atau mencari solusi dari pertengkaran itu sendiri. Ada satu hal yang ironi menurut saya. Saat kita sedang panas-panasnya berdebat mengapa OPM tidak sama dianggap teroris, saat itu juga negara-negara seperti Jerman, Inggris, Swedia, Australia, AS, Senegal, Fiji, serta banyak negara Afrika dan Eropa lainnya. Ada tulisan yang menyebut bahwa Uni Eropa tidak akan mendukung OPM atau lebih menghormati NKRI, itu ada benarnya, tapi tunggu dulu.
Negara-negara seperti Inggris dan Jerman secara resmi memang tidak berkomentar karena akan menganggu hubungan diplomatik dan meningkatkan eskalasi politik secara langsung kepada Indonesia. Meski begitu, kedua negara itu (Inggris dan Jerman) secara bulat bisa dipastikan akan lebih mendukung terbentuknya Papua merdeka. Walaupun UE sudah menyatakan bahwa tidak mungkin mereka mendukung kemerdekaan papua dan lebih menghargai kedaulatan NKRI. Namun negara-negara Eropa banyak membuka kantor perwakilan atau kantor cabang yang bertujuan untuk mendukung pergerakan papua merdeka. Memang tidak sama sekali menyiratkan dukungan resmi pemerintah disana,
tetapi menyiratkan bahwa kantor perwakilan untuk menghimpun dukungan terhadap kemerdekaan papua terus berkembang dan terus mendapat dukungan dari sebagian kecil warga sana. Belum lagi ditambah dengan Lembaga HAM Internasional sebagai penentang keras HAM yang dapat dipastikan akan berkoar-kaor mengutuk perlakuan Indonesia terhadap rakyat Papua. Australia dan AS memang secara resmi menyatakan bahwa mereka tidak akan mendukung OPM, tetapi dunia intelijen berkata lain.
Ambil contoh di Australia misalnya. Media-media seperti Canberra Times, The Saturday Ages, Fairfax Australia selalu berbicara yang buruk-buruk terhadap Indonesia. Pembicaraan yang negatif itu tidak jauh-jauh dari HAM dan militer, bukan politik. Majalah The Canberra Times bahkan menyatakan bahwa ada senator Partai Demokrat AS Dianne Feinstein, Uskup Desmon Tulu, serta anggota parlemen Inggris dari Partai Buruh Andrew Smith yang secara terang mendukung gerakan OPM dan menginginkan papua merdeka. Australia juga pernah membocorkan yang katanya 19 dokumen rahasia milik Kopassus terkait dengan operasi mereka di Papua yang dibocorkan oleh media Fairfax Australia.
Pada intinya laporan yang “katanya” dibocorkan itu berisi informasi mengenai monitoring intelijen kopassus terhadap orang-orang yang dianggap sebagai anggota OPM atau simpatisan OPM. Dikatakan pula bahwa intelijen TNI di Papua selalu memantau dengan ketat mengenai warga negara asing yang berkunjung ke papua, terutama mereka yang masuk ke papua sebagai turis-turis asing. Saturday Age (media Australia) bahkan pernah mengungkap daftar informan (mata-mata) yang memasok informasi kepada kopassus.
Informan ini dikatakan mulai dari wartawan, mahasiswa, birokrat, pemimpin gereja, guru, kepala suku, bahkan hingga tukang ojek, petani, dan para pekerja di hutan. Entah apa maksud pembeberan media-media Australia tersebut dan apa kepentingan mereka. Yang jelas Australia sejak lama memiliki niat yang tidak baik (baca; kepentingan) terhadap Papua itu sendiri seperti yang pernah Australia tunjukkan di tanah Timtim (dimana wajah asli Australia sangat kelihatan disana).
Yang jelas, sudah banyak sekali dukungan negara-negara asing untuk Papua. Sudah ada lembaga khusus PBB yang memenangkan Papua jika sekiranya ada satu-dua orang pejabat Indonesia yang gegabah yang menyodorkan referendum tanpa syarat kembali. Dan ada aktivis dan lembaga-lembaga HAM Internasional yang siap pasang badan 100 persen untuk mendukung kemerdekaan Papua dengan alasan yang lazim, mengutuk Indonesia atas pelanggaran HAM di Papua.
Anda boleh saja mengatakan bahwa TNI tidak akan membiarkan papua lepas dari NKRI. Anda sah-sah saja mengatakan bahwa kekuatan TNI cukup besar di Papua. Dan bahwa pembentukan Kodam Papua Barat serta pembentukan markas-markas TNI lain di Papua menunjukkan penambahan kekuatan disana. Sekali lagi, jangan pernah meremehkan kasus OPM atau papua merdeka. Hanya cukup satu-dua orang pejabat Indonesia yang “bodoh” (jika tidak mau disebut gegabah) yang sebenarnya sudah cukup untuk melepaskan Papua dari tangan Indonesia. Semoga Tuhan memberkati tanah Papua. Amin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H