Mohon tunggu...
Abdur Rauf
Abdur Rauf Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STIQ Kepulauan Riau

Aku berkarya, maka aku ada. Buku Solo: 1. Di Bawah Renungan Al-Qur'an (2017). 2. The Good Muslim: Menjadi Muslim Berjiwa Kuat, Berakhlak Dahsyat, Berpribadi Hebat, dan Hidup Bermanfaat (2024). Buku Antologi: 1. IMM di Era Disrupsi: Membaca Kecenderungan Baru Gerakan (2022). 2. Kembali Berjuang (2023). 3. Mumpung Masih Muda: Spesial Quotes About Youth (2023).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tadabur QS. Al-Fatihah Ayat 6: Menyingkap Makna Ihdina al-Shirath al-Mustaqim

20 Januari 2025   06:35 Diperbarui: 20 Januari 2025   06:32 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Jalan Lurus (Sumber: Meta AI)

Bagi setiap Muslim, paling tidak, 17 kali kita memohon kepada Allah supaya diberikan petunjuk jalan yang lurus. Permohonan tersebut terselip dalam bacaan Al-Fātiḥah kita ketika salat. Ihdinā al-shirāth al-mustaqīm, yang artinya: “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus”. Begitulah bunyi permohonan kita setiap waktu yang termuat dalam QS. Al-Fātiḥah (1) ayat 6. 

Saya tak bisa membayangkan, bagaimana hidup tanpa petunjuk? Begitu banyak jalan yang dapat menjerumuskan kita dalam kehidupan ini. Saat terjebak kepada jalan yang salah, niscaya kecelakaan dan kerugian yang akan kita derita. Saya yakin, siapa pun kita pasti tidak senang terhadap penderitaan, lebih-lebih lagi penderitaan di akhirat kelak. Na’ūdzubillāh.

Sahabat, coba perhatikan! Jangankan dalam konteks kehidupan yang luas ini, untuk pergi ke suatu tempat saja kita butuh petunjuk jalannya. Kita butuh map untuk mengarahkan kita ke tujuan. Seandainya tidak ada petunjuk jalan atau map tersebut, boleh jadi kita akan tersesat. Kalau sudah tersesat, sudah tentu kita tak akan sampai ke tempat yang hendak dituju. Kerapkali orang yang tersesat berada dalam kebingungan, apalagi enggan bertanya, bertambahlah ia dalam kebingungan itu.

Maka penting bagi kita mencari, mempelajari, dan memahami petunjuk kehidupan. Hidup di atas petunjuk mengantarkan kita kepada keselamatan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Jika abai terhadap petunjuk, maka jangan heran kita terlihat seperti orang linglung, bingung, dan tak tahu bagaimana cara menjalani ataupun mengelola kehidupan. Oleh sebab itu, jangan biarkan hidup kita terombang-ambing seperti kapal tanpa nahkoda.

Perlu kita sadari bahwa pada dasarnya sejak lahir kita sudah dibekali petunjuk oleh Allah. Lihat saja bayi yang baru lahir. Saat pertama kali keluar dari rahim ibunya, ia menangis. Tangisan bayi adalah petunjuk baginya untuk mengisyaratkan sesuatu. Ketika lapar, ia menangis. Ketika buang air, ia menangis. Ketika terasa sakit, ia menangis. Dan ajaibnya, kita tak pernah tahu bagaimana bayi yang baru lahir bisa langsung mencucut air susu ibunya, kalau bukan karena anugerah ilham dan petunjuk dari Allah.

Semakin hari kita semakin tumbuh dan berkembang. Pertumbuhan dan perkembangan kita tidak luput dari ilham dan petunjuk Allah. Dengan petunjuk itu kita dapat mengenal aneka macam benda yang tersedia. Semakin hari akal dan pikiran kita pun mulai tumbuh dan berkembang. Dengan akal dan pikiran itu kita dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Meskipun demikian, akal dan pikiran saja belum cukup dijadikan sebagai pedoman. Sebab, kita banyak menyaksikan berbagai pengalaman hidup yang telah dilalui orang, bahwa banyak juga di antara manusia itu yang justru terjerumus dalam kehidupan karena terlalu mendewakan akal dan pikirannya. Akal dan pikiran itu dipergunakannya hanya untuk memuaskan nafsu syahwatnya. Maka tak heran, syahwat dan nafsunya itu mencelakakan dan menyengsarakan hidupnya.

Ini menjadi nasihat buat kita, bahwa akal saja tidak cukup untuk menggapai kebahagiaan dan keselamatan hidup. Oleh sebab itu, harus ada tuntunan terhadap akal itu sendiri. Dengan tuntunan itu, maka akal dan pikiran kita ditunjukkan bagaimana mengelola dan menjalani kehidupan ini dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, akal dan pikiran yang sesuai dengan tuntunan akan membawa kemaslahatan hidup, baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain.

Menyingkap Makna Huda, Shirath, dan Mustaqim

Lalu apa yang menjadi tuntunan, pedoman, atau petunjuk hidup kita itu? Maka, kembali lagi kepada permohonan kita yang tertuang dalam QS. Al-Fātiḥah (1) ayat 6 di awal tadi. Ada tiga kata kunci dalam ayat tersebut, yaitu hudā, al-shirāth, dan al-mustaqīm. Kata hudā berakar dari kata hada yang memiliki arti “memberi petunjuk”. Dalam bahasa kita sehari-hari hudā diidentikkan dengan hidayah. Secara leksikal, hidayah berarti “petunjuk yang diberikan secara halus dan lemah lembut”.

Kata hudā yang terdapat dalam QS. Al-Fātiḥah (1) ayat 6 tersebut merupakan bentuk fi’l amr, yaitu kalimat perintah. Hal ini tidak berarti kita memerintah Allah agar memberikan petunjuk kepada kita. Tapi, kalimat tersebut adalah bentuk permohonan (doa) kita kepada Allah, dengan maksud agar Allah menganugerahkan kita hidayah. Kalimat doa itulah yang diajarkan Allah kepada Nabi Muhammad dan umatnya. 

Kemudian kata al-shirāth, menurut Prof Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, terambil dari kata saratha yang memiliki arti “menelan”. Jalan yang lebar disebut sirāth, oleh karena lebarnya itu maka ia seperti menelan orang yang berjalan. Kata shirāth berbeda dengan sabīl, meskipun sama-sama selalu diartikan sebagai jalan. Menurut Prof Quraish Shihab, penggunaan kata shirāth menunjukkan bahwa jalan itu hanya satu dan selalu bersifat benar dan ḥaq. Sedangkan sabīl menunjukkan kepada banyak jalan, boleh jadi jalan yang benar dan boleh jadi pula jalan yang salah.

Al-Shirāth itu umpama jalan tol: besar dan luas. Semua orang dapat melaluinya tanpa berdesak-desakan. Sementara sabīl, ia banyak tapi hanya berupa jalan-jalan kecil atau lorong-lorong. Meskipun masih menyusuri sabīl, kita tak perlu khawatir, selagi sabīl yang kita lewati itu mengarahkan kita kepada al-shirāth. Sebab, kepada al-shirāth bermuara semua sabīl yang baik.

Selanjutnya, al-mustaqīm. Kata ini berasal dari kata qāma-yaqūmu yang memiliki arti “berdiri” atau “tegak lurus”. Dalam QS. Al-Fātiḥah (1) ayat 6, kata al-mustaqīm diartikan “lurus”. Dengan demikian, al-shirāth al-mustaqīm dapat berarti jalan yang lebar dan luas lagi lurus, tidak berkelok-kelok. Sebab, jika berkelok-kelok hanya akan memperpanjang rute perjalanan dan memakan waktu tempuh yang lama. Sementara al-shirāth al-mustaqīm adalah jalan terdekat mencapai tujuan. 

Muatan Ihdinā al-Shirāth al-Mustaqīm

Lalu apa muatan dari kalimat ihdinā al-shirāth al-mustaqīm itu? Mari kita lihat penafsiran Buya Hamka tentang kalimat tersebut. Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menuturkan bahwa menurut sebagian mufasir, petunjuk jalan yang lurus itu mencakup di antaranya: 

Pertama, al-Irsyad. Artinya, memohon agar Allah menganugerahkan kepandaian dan kecerdasan sehingga bisa membedakan yang benar dan salah. 

Kedua, al-Taufiq. Artinya, memohon agar kehendak kita memiliki kesesuaian dengan apa yang direncanakan Allah. 

Ketiga, al-Ilham. Artinya, memohon agar diberikan petunjuk dalam mengatasi kesulitan. 

Keempat, al-Dilalah. Artinya, memohon agar ditunjukkan dalil-dalil dan tanda-tanda di mana tempat berbahaya, di mana tempat yang tidak boleh dilewati, dan seterusnya.

Di samping itu, menurut beberapa riwayat, al-shirāth al-mustaqīm adalah agama Islam. Sementara Ibnu Mas’ud menafsirkan bahwa yang dimaksud al-shirāth al-mustaqīm adalah Kitab Allah (Al-Qur’an). Demikian yang dijelaskan oleh Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar.

Nabi Muhammad SAW juga pernah mengilustrasikan al-shirāth al-mustaqīm itu. Al-shirāth al-mustaqīm itu adalah suatu jalan yang lurus. Pada dua sisi jalan itu dibatasi dengan tembok yang tinggi. Di setiap tembok itu terdapat pintu-pintu yang terbuka tapi ada penutupnya seperti gordin. 

Sementara di ujung jalan yang lurus itu ada satu orang berdiri seraya berseru: “Wahai sekalian manusia! Masuklah ke dalam shirāth ini semuanya, janganlah kalian berpecah belah”. Lalu dari sisi atas shirāth ada pula penyeru yang lain mengingatkan jika ada manusia hendak menyingkap gordin dan masuk ke salah satu dari pintu-pintu itu maka ia berkata: “Celaka! Jangan kamu buka itu! Jika dibuka, maka kamu akan terperosok ke dalamnya”.

Kemudian Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa al-shirāth al-mustaqīm itu adalah agama Islam. Kedua tembok yang membatasi dua sisi jalan itu adalah batas-batas yang telah ditentukan Allah. Sementara pintu-pintu yang terbuka itu adalah segala sesuatu yang diharamkan Allah. Penyeru yang berdiri di ujung jalan lurus itu adalah Kitab Allah (Al-Qur’an), dan penyeru dari sisi atas shirāth adalah pemberi nasihat (wa’izh) dari Allah yang ada pada setiap diri seorang Muslim.

Dari beragam penafsiran tentang al-shirāth al-mustaqīm itu, Buya Hamka mencoba mengompromikan penafsiran tersebut. Beliau mengatakan bahwa al-shirāth al-mustaqīm adalah agama yang benar, yaitu agama Islam. Sumber utama petunjuk ajaran Islam adalah Al-Qur’an. Lalu representasi dari Al-Qur’an adalah Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu, untuk memahami dan mengaplikasikan petunjuk Al-Qur’an itu, maka semestinya kita menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai suri teladan utama dalam setiap sendi kehidupan.

Sahabat, lihatlah! Betapa Mahabaiknya Allah kepada kita. Dengan kelemah-lembutan-Nya, kita dituntun untuk memanjatkan doa. Narasi doanya pun langsung dari Allah: Ihdinā al-shirāth al-mustaqīm. Kita tak perlu repot-repot merangkai kata menyusun doa. Tinggal kita saja menghadirkan hati yang khusyuk melangitkan doa tersebut setiap waktu. Doa tuntunan Allah ini menjadi kunci sukses bagi kita dalam mengarungi samudera kehidupan ini. Al-shirāth al-mustaqīm inilah yang mengantarkan kita kepada jalan keselamatan, keberkahan, dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun