Kata hudā yang terdapat dalam QS. Al-Fātiḥah (1) ayat 6 tersebut merupakan bentuk fi’l amr, yaitu kalimat perintah. Hal ini tidak berarti kita memerintah Allah agar memberikan petunjuk kepada kita. Tapi, kalimat tersebut adalah bentuk permohonan (doa) kita kepada Allah, dengan maksud agar Allah menganugerahkan kita hidayah. Kalimat doa itulah yang diajarkan Allah kepada Nabi Muhammad dan umatnya.
Kemudian kata al-shirāth, menurut Prof Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, terambil dari kata saratha yang memiliki arti “menelan”. Jalan yang lebar disebut sirāth, oleh karena lebarnya itu maka ia seperti menelan orang yang berjalan. Kata shirāth berbeda dengan sabīl, meskipun sama-sama selalu diartikan sebagai jalan. Menurut Prof Quraish Shihab, penggunaan kata shirāth menunjukkan bahwa jalan itu hanya satu dan selalu bersifat benar dan ḥaq. Sedangkan sabīl menunjukkan kepada banyak jalan, boleh jadi jalan yang benar dan boleh jadi pula jalan yang salah.
Al-Shirāth itu umpama jalan tol: besar dan luas. Semua orang dapat melaluinya tanpa berdesak-desakan. Sementara sabīl, ia banyak tapi hanya berupa jalan-jalan kecil atau lorong-lorong. Meskipun masih menyusuri sabīl, kita tak perlu khawatir, selagi sabīl yang kita lewati itu mengarahkan kita kepada al-shirāth. Sebab, kepada al-shirāth bermuara semua sabīl yang baik.
Selanjutnya, al-mustaqīm. Kata ini berasal dari kata qāma-yaqūmu yang memiliki arti “berdiri” atau “tegak lurus”. Dalam QS. Al-Fātiḥah (1) ayat 6, kata al-mustaqīm diartikan “lurus”. Dengan demikian, al-shirāth al-mustaqīm dapat berarti jalan yang lebar dan luas lagi lurus, tidak berkelok-kelok. Sebab, jika berkelok-kelok hanya akan memperpanjang rute perjalanan dan memakan waktu tempuh yang lama. Sementara al-shirāth al-mustaqīm adalah jalan terdekat mencapai tujuan.
Muatan Ihdinā al-Shirāth al-Mustaqīm
Lalu apa muatan dari kalimat ihdinā al-shirāth al-mustaqīm itu? Mari kita lihat penafsiran Buya Hamka tentang kalimat tersebut. Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menuturkan bahwa menurut sebagian mufasir, petunjuk jalan yang lurus itu mencakup di antaranya:
Pertama, al-Irsyad. Artinya, memohon agar Allah menganugerahkan kepandaian dan kecerdasan sehingga bisa membedakan yang benar dan salah.
Kedua, al-Taufiq. Artinya, memohon agar kehendak kita memiliki kesesuaian dengan apa yang direncanakan Allah.
Ketiga, al-Ilham. Artinya, memohon agar diberikan petunjuk dalam mengatasi kesulitan.
Keempat, al-Dilalah. Artinya, memohon agar ditunjukkan dalil-dalil dan tanda-tanda di mana tempat berbahaya, di mana tempat yang tidak boleh dilewati, dan seterusnya.
Di samping itu, menurut beberapa riwayat, al-shirāth al-mustaqīm adalah agama Islam. Sementara Ibnu Mas’ud menafsirkan bahwa yang dimaksud al-shirāth al-mustaqīm adalah Kitab Allah (Al-Qur’an). Demikian yang dijelaskan oleh Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar.