Mohon tunggu...
Abdur Rauf
Abdur Rauf Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STIQ Kepulauan Riau

Aku berkarya, maka aku ada.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

5 Penghalang Kesalehan

8 Januari 2025   11:30 Diperbarui: 8 Januari 2025   11:29 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Facebook mengingatkan saya status beberapa tahun lalu. Status itu saya tulis pada 5 Januari 2019. Kalau tidak salah ingat, status itu adalah hasil ringkasan yang saya buat ketika mendengarkan tausiah seorang ustaz.

Mohon maaf saya lupa siapa ustaz yang menyampaikannya. Memori hafalan saya lemah sekali. Untung saja, ada Facebook yang mengingatkan isi status ini. Inilah di antara manfaat jika Facebook atau media sosial lainnya kita jadikan sebagai wasilah dalam menyampaikan kebaikan. Maka, gunakanlah media sosial sebagai media untuk kebaikan.

Hasil ringkasaan saat mendengarkan tausiah yang saya tulis jadi status Facebook itu berisi tentang lima perkara yang menjadi penghalang kesalehan kita. 

Ali bin Abi Thalib pernah berkata bahwa seandainya tidak ada lima keburukan di dunia ini, tentunya manusia akan menjadi saleh semuanya. Kelima keburukan itu adalah: Pertama, merasa senang dengan kebodohan. Kedua, ambisi dan tamak dalam urusan dunia. Ketiga, bakhil dengan kelebihan harta. Keempat, riya' dalam beramal. Kelima, membanggakan diri.

Mari kita bahas satu per satu!

Pertama, Merasa Senang dengan Kebodohan

Kebodohan itu adalah sifat yang seringkali disematkan kepada orang yang tidak tahu, tidak paham. Tapi, sering juga orang yang telat pahamnya kita sebut juga sebagai bodoh. Berulangkali dijelaskan persoalan tertentu, tapi tidak paham-paham. Pahamnya ketika sudah seratus kali dijelaskan.

Oke, kita tidak menyalahkan kebodohan pada situasi di atas yang ada pada diri seseorang. Barangkali ia memang punya kelemahan dari sisi kognitif. Kelemahan itu mungkin pula karena faktor-faktor tertentu yang tidak kita ketahui.

Lalu, yang jadi persoalan adalah ada orang yang merasa senang dengan kebodohan. Artinya, secara fisik ia sempurna, tapi malas belajar. Orang-orang yang malas belajar adalah orang-orang yang merasa senang dengan kebodohan. Belajar tentang apa pun, yang itu bermanfaat bagi perkembangan dirinya. 

Imam Syafi'i pernah berkata:

"Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan."

Perkataan Imam Syafi'i ini popular sekali, terutama di kalangan para pelajar. Guru-guru sering menyampaikan pesan Imam Syafi'i ini untuk memotivasi semangat belajar murid-muridnya. Karena memang belajar itu melelahkan sekali.

Oleh sebab itu, orang malas itu selamanya tak akan pernah sukses dalam menuntut ilmu. Mengentaskan kebodohan hanya dengan rajin belajar dan terus mau belajar. Jangan sampai, kita merasa senang dengan kebodohan yang kita miliki.

Orang-orang yang merasa senang dengan kebodohan itu ada ciri-cirinya. Jika ciri-ciri ini ada pada diri seseorang, maka ia bisa kita katakan sebagai orang yang senang dengan kebodohan.

Pertama, orang yang merasa senang dengan kebodohan itu selalu merasa paling benar sepanjang waktu. Kedua, senang menyalahkan orang lain atas kesalahannya sendiri. Ketiga, suka marah-marah jika merespons suatu permasalahan. Keempat, mereka tidak punya rasa empati terhadap orang lain, egois. Kelima, merasa lebih baik dari siapa pun.

Sahabat! Coba cek, ada tidak dalam diri kita kelima ciri orang yang merasa senang dengan kebodohan itu?

Kalau ada, sadarlah, segera perbaiki. Kalau tidak ada, syukur alhamdulillah, berarti Anda termasuk orang saleh. Orang saleh itu adalah orang yang terus mau belajar dan membenahi diri.

Jika suatu waktu kita dihadapkan dengan orang-orang yang bodoh itu, maka bersabarlah, tidak perlu kita ladeni secara serius. Anggap saja angin lalu. Atau dengarkan tips Al-Qur'an ini:

"Apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan salam." (QS. 25: 63)

Kedua, Ambisi dan Tamak dalam Urusan Dunia

Nah, ini berbahaya sekali. Orang-orang yang ambisius dan tamak dalam urusan dunia seringkali menghalalkan segala cara untuk memperolehnya. Dia tidak peduli dengan nasib orang lain. Bahkan, senang sekali menzalimi orang lain.

Potret orang-orang yang ambisius dan tamak dalam urusan dunia ini banyak sekali kita saksikan. Contoh paling mudah, lihat saja para elite politik di negeri kita ini. Banyak di antara mereka yang mengejar kedudukan dengan cara-cara kotor seperti money politic, memfitnah secara keji yang menjadi pesaingnya, pencitraan (hipokrit), dan sebagainya.

Belum lagi kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat dan politisi murahan itu. Para pejabat dan politisi itu secara gaji dan tunjangan besar sekali, fasilitas lengkap disediakan, tapi masih korupsi, merampok uang rakyat sejadi-jadinya. Benar-benar suatu bentuk kebiadaban dan kezaliman.

Itulah di antara gambaran orang-orang yang ambisius dan tamak dalam urusan dunia. Hati-hati! Inilah yang disebut dengan penyakit wahn sebagaimana yang dikatakan Nabi, yaitu cinta dunia dan takut mati. Penyakit wahn ini berbahaya sekali. Apalagi menimpa umat Islam dalam jumlah yang besar. Bisa-bisa, Islam hanya tinggal nama saja, jika penyakit wahn ini sudah mengidap di tubuh umat Islam.

Ketiga, Bakhil dengan Kelebihan Harta

Bakhil berarti kikir, pelit. Penyakit ini sering sekali menimpa orang-orang yang punya kelebihan harta. Mereka sayang terhadap hartanya sehingga enggan mau berbagi terhadap orang-orang yang membutuhkan.

Kalaupun mereka mau berbagi, sering diiringi dengan ucapan-ucapan yang tidak mengenakkan hati si penerima. Kalaupun mereka mau berbagi, sering juga diikuti sikap riya', ingin pamer, dan mengharapkan pujian orang lain.

Islam tidak menghendaki perilaku yang demikian itu. Sebab, perilaku yang demikian itu, sesungguhnya termasuk pendustaan terhadap agama. Inilah yang disebutkan di dalam QS. Al-Ma'un:

"Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya', dan enggan (memberikan) bantuan." (QS. 107: 1-7)

Ketahuilah bahwa orang-orang yang kikir terhadap hartanya sekali-kali hartanya itu tidak membawa manfaat sedikit pun bagi dirinya, lebih-lebih lagi di akhirat kelak. Harta yang bermanfaat itu adalah harta yang dibelanjakan di jalan Allah. Inilah perumpamaan bagi orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah yang dilukiskan Al-Qur'an: 

"Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui. Orang yang mengginfakkan hartanya di jalan Allah, kemudian tidak mengiringi apa yang dia infakkan itu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi tindakan yang menyakiti. Allah Mahakaya, Maha Penyantun." (QS. 2: 261-263)

Keempat, Riya' dalam Beramal

Di atas tadi juga sudah disinggung. Orang yang riya' adalah orang yang melakukan suatu perbuatan hanya untuk pamer, ingin dilihat orang lain. Oleh sebab itu, riya' menjadi sebab amal yang kita kerjakan menjadi tidak bernilai sedikit pun di hadapan Allah.

Sebagai orang beriman, tentu saja, riya' dalam beramal adalah suatu kerugian yang besar. Sebab, mereka tidak memperoleh apa pun atas apa yang mereka kerjakan. Maka, pentingnya kita menjaga niat. Niat orang beriman dalam beramal adalah semata-mata mengharapkan keridhaan Allah, bukan yang lain.

Al-Qur'an mengingatkan:

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya' (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir." (QS. 2: 264)

Kelima, Membanggakan Diri

Sikap yang suka membanggakan diri menunjukkan keangkuhan pada diri seseorang. Orang angkuh itu biasanya tidak mau menerima kebenaran dan suka merendahkan orang lain. Watak seorang Muslim itu tawaduk, rendah hati, bukan angkuh, sombong. Rendah hati menunjukkan kemuliaan akhlak yang ada pada diri seseorang. Orang yang rendah hati akan ditinggikan derajatnya.

Nabi mengatakan: "Tawaduk, tidak ada yang bertambah bagi seorang hamba kecuali ketinggian (derajat). Oleh sebab itu, tawaduklah kamu, niscaya Allah akan meninggikan derajatmu".

Al-Qur'an juga menyatakan: "Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati", (QS. 25: 63).

Sahabat! Demikianlah lima perkara yang menjadi penghalang kesalehan kita. Mudah-mudahan Allah menjauhkan kita dari terinfeksinya virus yang lima itu. Aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun