Saya ingat dulu sewaktu menjadi pembimbing santri (musyrif) di Pesantren Mahasiswa KH Ahmad Dahlan Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, saya selalu mendengar apa yang disampaikan oleh seorang santri setiap ia memberikan kuliah tujuh menit (kultum) setelah shalat shubuh. Jadi, setiap tiba jadwalnya memberikan kultum, hal ini tak luput dari penyampaiannya. Hal yang sering disampaikannya itu adalah pembagian jenis-jenis manusia.
Ia mengatakan, manusia itu terbagi dalam lima tipe. Di antaranya adalah manusia wajib, manusia sunah, manusia mubah, manusia makruh, dan manusia haram. Apa maksudnya dari jenis-jenis manusia tersebut?
Pertama, Manusia Wajib
Manusia tipe ini adalah manusia yang kehadirannya sangat diharapkan dan ketidakhadirannya sangat tidak diinginkan. Keberadaannya begitu bermanfaat bagi orang lain. Sementara ketiadaannya, membuat orang merasa sangat kehilangan. Sebab, tak ada yang bisa menggantikan posisinya. Inilah jenis manusia yang paling spesial.
Kedua, Manusia Sunah
Manusia tipe ini adalah manusia yang kehadirannya memberikan manfaat bagi orang lain. Sementara ketiadaannya, tidak mengurangi apa pun, sebab masih ada yang bisa menggantikan posisinya.
Ketiga, Manusia Mubah
Manusia tipe ini adalah manusia yang ada atau tidak adanya tidak memberikan pengaruh apa pun. Kehadirannya tak membawa manfaat, sementara ketidakhadirannya pun tidak mendatangkan mudharat (keburukan).
Keempat, Manusia Makruh
Manusia tipe ini adalah manusia yang kehadirannya tak mendatangkan manfaat apa pun bagi orang lain. Sementara ketiadaannya malah mendatangkan manfaat.
Kelima, Manusia Haram
Manusia tipe ini adalah manusia yang ada atau tidak adanya menjadi sumber masalah. Kehadirannya membawa masalah, ketiadaannya pun meninggalkan masalah.
Lima tipe manusia di atas dapat dijadikan tolok ukur bagi kita untuk melihat di mana posisi kita, tergolong ke dalam tipe manusia macam apakah kita?
Syukur-syukur tipe manusia pertama, atau paling tidak, tipe manusia kedua, yakni manusia wajib atau manusia sunah.
Sebab, itulah tipe manusia terbaik sebagaimana yang diungkapkan dalam hadis Nabi SAW: "Khairunns anfa'uhum linns". Artinya: "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia", (HR. Ahmad, Ath-Thabrani, Ad-Daruqutni).
Setiap kita memiliki peluang menjadi manusia bermanfaat. Oleh sebab itu, jadikan hidup kita yang singkat ini sebagai hidup yang bermanfaat, bagi siapa pun dan di mana pun.
Dalam satu kesempatan Buya Hamka pernah menuturkan:
“Dalam umur yang sekian pendeknya kita lalui di dunia, ia bisa kita panjangkan. Dengan apa? Dengan sebutan, dengan amal, dengan bekas tangan, dengan iman dan amal saleh.”
Buya Hamka melanjutkan:
“Sebelum engkau mati, peliharalah sebutan dirimu yang akan dikenang orang dari dirimu, karena kenangan atas ketika hidup yang dulu itu adalah umur yang kedua kali bagi manusia.”
Dari nasihat Buya Hamka di atas, kita dapat memahami bahwa kebermaknaan hidup itu terletak pada jejak-jejak kehidupan yang ditinggalkan.
Jika meninggalkan jejak-jejak yang buruk, maka sulit bagi orang untuk mengenang hidup kita, bahkan adanya kita pun tidak dianggap sebagai ada. Tapi, jika meninggalkan jejak-jejak yang baik, maka kita akan selalu dikenang, meskipun jasad hancur dikandung tanah.
Jejak-jejak hidup yang baik itulah yang menjadikan kita hidup untuk yang kedua kalinya di dunia, setelah kita mati. Inilah yang disebut dengan amal jariyah, amal yang terus mengalir kebaikan-kebaikannya untuk kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H