Mohon tunggu...
Abdur Rauf
Abdur Rauf Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STIQ Kepulauan Riau

Aku berkarya, maka aku ada. Buku Solo: 1. Di Bawah Renungan Al-Qur'an (2017). 2. The Good Muslim: Menjadi Muslim Berjiwa Kuat, Berakhlak Dahsyat, Berpribadi Hebat, dan Hidup Bermanfaat (2024). Buku Antologi: 1. IMM di Era Disrupsi: Membaca Kecenderungan Baru Gerakan (2022). 2. Kembali Berjuang (2023). 3. Mumpung Masih Muda: Spesial Quotes About Youth (2023).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kisah Sepotong Roti: Menjadi Manusia Bertauhid

5 Januari 2025   17:30 Diperbarui: 5 Januari 2025   17:22 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari sepotong roti kita belajar menjadi Muslim bertauhid. Dimensi tauhid tidak melulu berbicara tentang hubungan manusia dengan Tuhannya. Tapi, justru bertauhid itu juga erat kaitannya dengan dimensi kemanusiaan. Mengaku bertauhid, tapi mengabaikan dimensi kemanusiaan adalah tanda ketidaksempurnaan iman dalam diri seorang Mukmin. 

Maka, manusia bertauhid adalah mereka yang secara vertikal sangat baik hubungannya dengan Allah, tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun. Sedangkan secara horizontal, manusia bertauhid itu adalah mereka yang senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama manusia dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan itu.

Seorang ustaz bercerita bagaimana ia mendidik anaknya dengan nilai-nilai tauhid itu. Suatu waktu, setelah selesai mengajar, ia pulang ke rumah. Setibanya di rumah, di depan halaman rumahnya itu ia dapati anaknya sedang makan roti. Tak ada soal dengan itu. Yang jadi soal, anaknya makan roti sementara temannya yang ada di hadapannya hanya melihat saja dengan memasang wajah pengin. Tapi, anak sang ustaz itu asyik makan sendiri tanpa ada rasa empati dan ingin berbagi.

Tentu saja, sang ustaz tidak membenarkan tindakan anaknya tersebut. Tapi, tidak langsung ditegur di situ. Khawatir anaknya akan tersinggung dan malu jika ditegur di depan temannya. Itulah di antara cara bijak dalam memberi nasihat.

Biasanya, kita juga tidak terima jika dinasihati di depan orang-orang. Apalagi dengan membeberkan deretan kesalahan-kesalahan yang telah kita buat. Sungguh, sangat tidak mengenakkan. Inilah kaidah Al-Qur’an yang harus kita ikuti dalam memberi nasihat, yaitu bil hikmah, dan mau’idzhatul hasanah, (QS. 16: 125). Karena menaati kaidah Al-Qur'an, maka sang ustaz punya cara bijak dalam memberi nasihat kepada anaknya.

Pada esok harinya, seperti biasa, setelah selesai mengajar di kampus tempat ia mengajar, sang ustaz mampir ke toko roti sebelum pulang ke rumahnya. Sang ustadz membeli roti sekantong plastik. Tentu banyak sekali isinya. Cukuplah untuk dimakan beberapa teman anaknya.

Setelah sampai di rumah, anaknya senang bukan main melihat kedatangan sang ayah. Saat sang ustaz tiba itu, anaknya sedang asyik bermain bersama teman-temannya di sekitar halaman sekolah, yang kebetulan jarak antara rumahnya dan halaman sekolah itu hanya sepelemparan batu.

Sang ustaz pun memanggil anaknya. Di samping hendak memberikan roti yang baru dibelinya itu, sang ustaz juga ingin menyoroti dan memberi nasihat atas sikap anaknya kemarin kepada temannya.

Sang ustaz memulai, “Nak, kemarin ayah lihat kamu makan roti, sementara temanmu ada di depanmu tidak kamu berikan walau hanya sepotong”.

Sang anak diam saja. Sang ustaz melanjutkan, “Sekarang ayah tanya kamu, bagaimana jika kamu di posisi temanmu? Pasti kamu juga ingin menikmati roti itu, bukan? Nah, begitu juga dengan temanmu itu”. 

Sang ustaz melanjutkan lagi, “Nak, roti yang kamu makan itu adalah rezeki dari Allah melalui perantaraan ayah. Cara mensyukuri nikmat rezeki itu adalah dengan berbagi. Kalau kamu suka berbagi, Allah senang, nak. Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”.

“Iya, ayah, aku mengerti”, jawab sang anak dengan raut wajah penuh penyesalan.

“Bagus kalau kamu menyadari, nak. Lain kali jangan kamu ulangi lagi”, pungkas sang ustaz kepada anaknya.

Tak berapa lama kemudian, sang ustadz berkata, “Nak, ayah punya satu roti, kamu mau?”, tanya sang ustadz.

“Mau, ayah”, jawab sang anak.

Meskipun roti yang dibeli sang ustaz lebih dari satu, tapi kali ini sang ustaz sengaja bilang cuma ada satu. Sang ustaz hendak menguji, apakah nasihat yang disampaikan tadi benar-benar dipahami sang anak atau tidak.

“Tapi, ayah cuma ada satu roti. Nanti temanmu itu bagaimana?”, sambung sang ustaz.

“Oh iya ya, ayah. Gini aja, ayah, rotinya aku bagi dua. Sepotong untukku, yang sepotong lagi untuk temanku”, jawab sang anak.

Tampaknya nasihat sang ustaz benar-benar masuk di kepala anaknya. Lalu sang ustaz berkata, “Setelah roti ini kamu potong, bagian untuk temanmu itu, kamu yang pilihkan atau mempersilahkan dia untuk memilih sendiri?”.

“Saya pilihkan sendiri, ayah”, jawab sang anak.

Sang ustaz menimpali, “Kalau kamu pilihkan sendiri, nanti bagiannya kamu pilihkan potongan yang paling kecil dari punyamu”.

“Oh, kalau gitu dipotong secara adil aja, ayah”, jawab sang anak.

Sang anak pun mengukur rotinya dengan menggunakan susunan jari-jemarinya. Sang ustaz menahan tawanya saat melihat tingkah konyol anaknya yang sedang mengukur roti dengan menyusun jari-jemarinya itu.

“Sudah, sudah, sudah. Tidak perlu kamu potong roti itu, nak. Ini ayah punya sekantong roti. Silahkan dibagi-bagi, ya, ke teman-temanmu”, kata sang ayah yang tidak tega melihat tingkah konyol anaknya itu.

Sang anak pun menerimanya dengan penuh kegirangan. Segera sang anak bergegas berlari mendatangi teman-temannya untuk memberikan roti dari ayahnya itu.

Pesan Moral Kisah

Sahabat! Demikianlah sepotong kisah tentang sepotong roti yang memuat pesan-pesan moral yang sangat kuat. Dari kisah di atas, kita belajar bagaimana cara berakhlak kepada Allah dan cara berakhlak kepada sesama manusia. Berakhlak kepada Allah dengan syukur. Sementara berakhlak kepada sesama manusia dengan saling menyayangi.

Senang berbagi adalah bentuk kasih sayang kita kepada sesama manusia. Di samping itu, dari kisah di atas juga, kita diajari oleh sang ustaz tentang bagaimana pola pendidikan Islam dalam mendidik anak. Benar-benar kita memperoleh pelajaran yang sangat berarti dalam hal mendidik anak.

Dalam hadis Nabi pun disebutkan, bahwa tidak bertauhid seseorang itu jika kita kenyang sementara tetangga kita lapar. Hal yang demikian itu menunjukkan bahwa orang yang bertauhid itu adalah mereka yang dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaannya sama-sama baik.

Inilah keindahan ajaran Islam, selalu mengedepankan keseimbangan dan keharmonisan. Maka, tak heran jika umat Islam disematkan Al-Qur’an sebagai ummatan wasathan, yaitu moderat, adil, dan pilihan, (QS. 2: 143).

Orang Islam itu, sebagaimana dikatakan dalam hadis Nabi, adalah orang yang Muslim lainnya merasa selamat dari gangguan lisan dan tangannya.

Begitu juga dalam hadis lain dikatakan bahwa:

“Seorang di antara kalian tidak (dikatakan) beriman sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Semoga Allah membimbing kita untuk terus berada dalam ketaatan kepada-Nya dan senantiasa berbuat baik di antara sesama manusia. Aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun