Di era saat ini, geliat kehidupan sosial, terutama dunia kerja di berbagai sektor, semakin menggelora. Hal ini sejalan dengan berkembangnya jumlah angkatan kerja yang semakin membludak tiap tahunnya. Menurut proyeksi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Indonesia akan dipenuhi oleh 233 juta angkatan kerja atau sebanyak 70% penduduk pada 2045. Namun, kuantitas tersebut akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan kualitas yang mumpuni.
Berkaca dari fenomena tersebut, pendidikan vokasional hadir untuk memenuhi kebutuhan serta memecahkan masalah yang ada pada dunia kerja. Dengan memaksimalkan pembinaan dan pengembangan hard dan soft skill, pendidikan vokasi diharapkan bukan hanya menjadi pilihan alternatif saja, tetapi juga dapat menjadi pilihan utama dalam meningkatkan kompetensi dalam dunia kerja. Namun, apakah pendidikan vokasional di Indonesia sudah sangat efektif dalam menjaga dan meningkatkan kualitas angkatan kerja?.
Dalam sejarahnya, sejak era penjajahan, Belanda telah memperkenalkan prototype awal dalam pendidikan vokasi melalui Ambachtsschool di Kalisosok, Surabaya. Selanjutnya, Jepang mengubahnya menjadi STM (Sekolah Teknik Menengah). Setelah kemerdekaan Indonesia, Pemerintah mengubah STM menjadi SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) untuk memperluas jangkauan pendidikan agar tak hanya sebatas bidang teknik, tetapi juga ekonomi, kesehatan, dan lain sebagainya.
Dalam dunia perguruan tinggi, strata diploma sebagai jenjang vokasi diperkenalkan pada 1970. Mulai dari ahli pratama (D1), ahli muda (D2), ahli madya (D3), hingga sarjana terapan yang dicetuskan 12 tahun kemudian. Intensifnya pengembangan pendidikan vokasional ini akhirnya melahirkan Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Hal tersebut menegaskan keseriusan pemerintah untuk memajukan vokasi yang berkualitas.
Pendidikan vokasional memang memiliki keunggulan tersendiri, terutama alokasi pembelajaran yang bertumpu pada praktik aplikatif. Model ini sangat cocok bagi para pelajar dan mahasiswa untuk lebih mengenal dunia jurusan mereka secara lebih mendalam, bukan hanya sekedar bergelut dengan teori di buku paket saja. Pendekatan ini akhirnya mengasah serta mengembangkan kemampuan mereka, sehingga memiliki pengalaman kerja yang lebih baik serta lebih dibutuhkan di dunia kerja yang sesuai.
Di era menyongsong Indonesia Emas 4.0 serta Revolusi Industri 5.0, kebutuhan akan individu yang menguasai sektor vital secara praktikal semakin tinggi dan pendidikan vokasional adalah solusi yang sangat tepat untuk menciptakan generasi gemilang tersebut. Namun, dibalik megahnya prospek dan tumpukan harapan, tersimpan banyak sekali hambatan yang mencederai sistem pendidikan tersebut. Jika luka tersebut dibiarkan menganga, pendidikan vokasional ditakutkan akan gagal memanfaatkan seluruh potensinya.
Hambatan pertama adalah buruknya stigma masyarakat terhadap peserta didik vokasi. Pendidikan vokasional seringkali dianggap sebagai pelarian bagi mereka yang tidak diterima SMA maupun Sarjana. Beberapa rekan dari vokasi, baik SMK maupun Diploma, mengeluhkan bahwa mereka seringkali diremehkan dan dianggap nakal. Padahal, kemampuan serta pengalaman mereka yang sudah terlatih bisa jauh lebih baik serta bermanfaat di dunia kerja.
Sayangnya, walaupun Pemerintah sudah berusaha mengangkat pendidikan vokasi, tapi lapangan kerja untuk lulusan masih sangat sempit. Bahkan, hal ironis tersebut terjadi dalam tes sekelas CPNS. Beberapa sektor pemerintahan masih terlalu mengutamakan sarjana daripada diploma dengan alasan yang beragam. Kenyataan pahit ini seolah menegaskan keraguan akan konsistensi Pemerintah dalam memajukan generasi emasnya dengan cara yang lebih efektif.
Hambatan eksternal tersebut diperparah dengan hambatan internal. Seperti umumnya masalah pendidikan Indonesia, banyak sekali terjadi penyelewengan tanggung jawab antar civitas akademika. Banyak rekan mengeluhkan kurangnya perhatian guru dalam membimbing serta memantau perkembangan siswanya. Akhirnya, learning loss tidak terelakkan dan siswa gagal mengembangkan potensinya. Bahkan, banyak dari mereka gagal dalam dasar materi jurusan yang tentu sangat vital karena menjadi landasan pembelajaran.
Beberapa manajer tempat para siswa vokasi menyelenggarakan magang bertajuk Praktek Kerja Lapangan (PKL) mengeluhkan kurangnya kompetensi peserta. Bahkan, seorang Manajer Sumber Daya Manusia (HRD) mengeluhkan di media sosial tentang buruknya kemampuan karyawan magangnya dalam dunia administrasi perkantoran. Mereka kesulitan dalam mengoperasikan aplikasi vital seperti Microsoft Excel. Bahkan, para karyawan cukup kesulitan mengerjakan beberapa formula matematika dasar.
Hal ironis tersebut tentu sangat menegaskan betapa banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi seluruh pihak dalam memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh pendidikan vokasional. Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi melalui Balai Besar Pengembangan Penjaminan Mutu Pendidikan Vokasi (BBPPMPV) yang tersebar di 7 wilayah telah berusaha menyelenggarakan pembinaan secara intensif dan mendalam. Namun, ada banyak hal yang sebenarnya harus lebih diperhatikan dan diperbaiki.
Perbaikan tersebut meliputi evaluasi rutin baik sebelum dan setelah pelatihan. Walaupun lulusan yang dihasilkan memiliki kemampuan yang baik, belum tentu ia memiliki ketahanan kualitas dan performa yang mumpuni di dunia kerja. Di dunia kerja, para lulusan tentu akan menemukan banyak ilmu, relasi, serta pengalaman baru yang berpengaruh pada fluktuasi kinerja mereka. Oleh sebab itu, pihak yang berwenang harus selalu memantau dan meninjau perkembangan kemampuan, konsistensi performa, serta jangkauan ketahanan kerja lulusan.
Selain itu, masalah dalam sistem pendidikan vokasional sering terjadi akibat kurangnya komunikasi dan integrasi antar pihak yang berkutat. Maka, sinergi antara wewenang pemerintah sebagai pengawas, institusi pendidikan sebagai penyelenggara, dukungan orang tua sebagai penyokong, dan kesadaran siswa sebagai peserta sangat dibutuhkan untuk menjaga kegiatan pembelajaran tetap pada jalan yang seharusnya atau bahkan lebih baik.
Dengan menjalankan sistem pendidikan tersebut secara efektif dan optimal di seluruh sektor, nama baik vokasi akan semakin terangkat derajatnya dan semerbak wanginya di tengah masyarakat. Tak hanya itu, lambat laun tatanan sosial akan memberikan stigma vokasi yang lebih baik, bukan hanya sekedar 'buangan' atau 'produk gagal'. Pada akhirnya, pendidikan vokasional dapat menjadi salah satu pencetak terbaik generasi emas Indonesia dalam menghadapi tantangan di era globalisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H