Dalam politik, lawan tanding dalam pemilu bisa berubah jadi kawan bersanding dalam pemilu berikutnya---atau dalam pemerintahan.
Ungkapan ini mewakili gaya politik Jokowi saat merangkul Prabowo dan parpol lain dalam pemerintahannya.
Gaya politik Jokowi ini nampak sejak didukung koalisi gemuk pasca pemilu periode pertama. Kabinet gemuk Jokowi-JK mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen, yakni tujuh dari 10 partai politik yang ada di parlemen atau menguasai sekitar 66 persen dari total kursi di DPR.
Dukungan ini diraih Jokowi setelah merangkul tiga kekuatan lawan politiknya pada Pilpres 2014, yakni Partai Golkar, PAN, dan PPP. Ketiga parpol tersebut mendapatkan kursi menteri di Kabinet Kerja.
Memasuki periode kedua Jokowi, dukungan parpol parlemen kepadanya makin gemuk. Sembilan parpol yang mendapatkan kursi di DPR, tujuh di antaranya menjadi pendukung Jokowi. Ia pun berkawan dengan Prabowo setelah berlawanan pada Pilpres 2019.
Mendekati akhir periode kedua Jokowi, Demokrat bergabung ke Kabinet Indonesia Maju. Dengan demikian, pemerintahan Jokowi didukung oleh delapan dari sembilan parpol parlemen yang menguasai 91 persen atau 525 kursi di DPR.
Akibatnya, apapaun kebijakan dan progam Jokowi hampir tak pernah mendapatkan kritik yang berarti di parlemen. Bahkan, dalam penyusunan beberapa undang-undang yang mendapatkan kritik keras dari masyarakat, mayoritas fraksi di DPR dan pemerintah cenderung bungkam terhadap suara publik. Seperti revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja.
Sesaat publik dibius oleh gaya politik Jokowi yang merangkul, meski kini (seolah) berubah memukul bagi yang menolak ambisinya.
Partai PDIP yang jadi rumah tempat Jokowi dibesarkan, kini merasa ditinggalkan Jokowi karna alasan tersebut. Jokowi menggunakan kuasa Anwar Usman sebagai ketua Mahkamah Konstitusi (MK) saat itu guna meloloskan anak sulungnya Gibran sebagai Cawapres. Aturan pembatasan usia direvisi iparnya di MK, pengerahan aparatur negara digerakkan senyap, dan bantuan sosial disalurkan secara masif.
Belakangan dua kader PDIP di reshuffle Jokowi dari kabinet Indonesia Maju. Tersisa 5 kader PDIP yang bertahan.
Ambisi Jokowi kembali memuncak saat ingin meloloskan putra bungsunya Kaesang Pangarep untuk maju di Pilgub Jawa Tengah. Publik membaca cara yang sama akan dilakukan Jokowi, seperti saat Mahkamah Konstitusi (MK) Â mengeluarkan putusan kontroversial nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden. Alhasil, Gibran lolos pencalonan dan kini terpilih jadi Wakil Presiden.
Putusan MK ini menjadi dosa konstitusi yang dikenang sejarah, meski kini ditebus oleh MK dengan dua putusan terbarunya terkait Pilkada.
Ambisi Jokowi mamajukan Kaesang ditampakan melalui putusan Mahkamah Agung (MA) No.23 P/HUM/2024. Syarat batas usia calon kepala daerah "terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih", sesuai kondisi Kaesang yang belum cukup umur saat pencalonan.
Namun, kini publik menolak keras dengan turun ke jalan pasca mendapat energi baru dari putusan Mahkamah Konstitusi.
Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang syarat usia calon Kepala Daerah yang terhitung pada saat penetapan pasangan calon oleh KPU dipastikan menjegal Kaesang untuk maju di Pilkada Jateng.
Sejak demo penolakan berbagai elemen masyarakat atas siasat Baleg DPR yang ingin merevisi RUU Pilkada sebagai cara membatalkan putusan MK, ada kutipan di media sosial yang menggelitik saya, bunyinya;
 "Enak ya punya bapak tukang kayu, anaknya dibikinin kursi satu-satu".
Ini kalimat yang sarkastik namun tampak relevan dengan keadaan demokrasi kita belakangan ini.
Tapi dari semua laguh-lagahnya dinamika politik terkini, saya menangkap sinyal Gerindra ingin meninggalkan Jokowi---setidaknya pasca demo beberapa hari lalu.
Demo RUU Pilkada nampaknya jadi pintu masuk Gerindra untuk tampil menjadi pendengar suara rakyat. Mulanya politikus Gerindra Habiburokhman (Wakil Ketua Komisi III DPR) menemui massa aksi yang berdemo di depan gedung DPR RI.
Dalam gedung parlemen, rencana Rapat Paripurna DPR dengan agenda persetujuan DPR dan pemerintah terkait RUU Pilkada dibatalkan dengan alasan tidak kuorum. Hanya 89 anggota DPR yang hadir dari total 575 anggota DPR.
Di depan media, Wakil Ketua DPR yang juga orang kepercayaan Prabowo, Sufmi Dasco mengatakan bahwa pengesahan RUU Pilkada batal dilaksanakan. Sehingga pelaksaan Pilkada tetap merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Selain tampil di depan media, Dasco juga mendatangi Polda Metro Jaya untuk menjadi pihak penjamin bagi 301 orang pedemo tolak RUU Pilkada yang ditangkap kepolisian.
Beberapa jam sebelum pendemo ini ditangkap kepolisian, mereka berhasil menembus barikade gerbang Pancasila di belakang kompleks gedung DPR RI. Beberapa foto menunjukan pendemo berhasil masuk di komplek parlemen.
Ini gejala yang tidak biasa ditengah kemarahan pendemo terhadap DPR dan sikap defensif aparat kepolisian yang seolah membiarkan barikade ditembus para demonstran. Biasanya aparat kepolisian sangat ofensif (menyerang) terhadap pendemo, seperti saat unjuk rasa menolak UU Cita Kerja.
Gejala ini memicu dugaan kuat jika sang Jenderal terpilih perlahan hendak meninggalkan Jokowi.
Tentu semua dinamika diatas tidak terjadi begitu saja, pasti direncanakan. Seperti ungkapan Presiden AS ke-32, Franklin D Roosevelt (1882-1945) bahwa;
"Dalam politik, tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, anda dapat bertaruh hal itu pasti direncanakan"
Rasanya tidak mungkin tanpa sebuah perencanaan saat barikade kepolisian dan gerbang DPR bisa ditembus pendemo. Begitupun gestur politik politisi Gerindra menemui demonstran, mengumumkan pembatalan RUU Pilkada, dan menjadi penjamin bagi 301 pendemo di kepolisian, pasti direncanakan.
Selain itu, ketiadaan nama Jokowi sebagai Ketua Dewan Pembina DPP Golkar yang semula diisukan jadi tanda tanya.
Bukan hanya itu, Munas ke XI Partai Golkar juga digugat kader dan pengurus Partai Golkar ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Bahlil Lahadalia yang dinilai kepanjangan tangan Jokowi terancam turun panggung. Situasinya makin rumit jika Prabowo melalui Menkumham Supratman Andi (kader Gerindra) berpihak pada kelompok penggugat.
Dalam konteks Pilkada Jawa Tengah, Jokowi hanya memiliki satu kartu truf untuk merubah konstelasi, yakni mengeluarkan Perppu untuk membatalkan putusan MK terkait usia yang menjegal putranya.
Tentu, dengan kalkulasi yang sangat beresiko bagi Jokowi yang sudah kadung buruk di mata rakyat, ia memutuskan untuk taat pada putusan MK kali ini. Sebab, jika dipaksakan rakyat bisa memaksanya turun seperti Soeharto pada 1998.
Kecenderungan Prabowo ingin bebas dari belenggu Jokowi tampak nyata. Sebab, pergerakan Partai Gelora sebagai inisiator gugatan ke MK patut dipertanyakan. Bagaimana bisa Gelora yang menjadi bagian dari koalisi besar Prabowo menjadi pemicu gelombang kemarahan rakyat pada Jokowi?
Ini seperti ungkapan Anas Urbaningrum saat ditetapkan sebagai tersangka: "Nabok Nyilih Tangan (memukul meminjam tangan),". Dalam bahasa Jawa, istilah ini untuk menggambarkan seseorang yang ingin memukul orang lain, namun tidak memakai tangannya sendiri, melainkan menggunakan tangan orang lain.
Jika benar dinamika politik terkini bersumber dari upaya Prabowo meninggalkan Jokowi secara perlahan, maka ketidakhadiran mayoritas anggota DPR RI dalam rapat RUU Pilkada lalu adalah indikasi awal yang serius.
Sebab, dalam dinamika politik yang lumrah terjadi dengan koalisi gemuk dalam pemerintahan, maupun saat Pilpres dilaksanakan, partai koalisi selalu mendukung setiap agenda Jokowi melalui stempel DPR. Misalnya saat pembahasan UU KPK, UU Cipta Kerja, UU IKN, dan berbagai paket UU yang dikebut DPR beberapa waktu lalu.
Indikasi ketidakhadiran mayoritas anggota DPR ini jadi sinyal buruk, sekaligus menjadi alarm berbahaya bagi Jokowi pasca turun tahta pada Oktober mendatang. Berbahaya karna Prabowo tidak lagi bergantung pada Jokowi, berbahaya sebab Jokowi tidak memiliki partai yang akan menjadi pembelanya saat dituntut rakyat.
Prabowo mungkin sedang berupaya membangun aliansi politik baru pasca Pilpres 2024, termasuk berupaya melepaskan bayang-bayang Jokowi terhadap dirinya.
Doug Ramage dari Bower-Group Asia mengatakan, bahwa keberpihakan Prabowo pada Jokowi sebenarnya lebih merupakan strategi elektoral---bukan strategi pemerintahan.
Seorang pengamat luar negeri---Liam Gammon, dari Australian National University (ANU) juga mengatakan, aliansi Prabowo dan Jokowi hanya bisa bertahan selama Prabowo menilai itu sesuai dengan kepentingannya. Kalau tidak, aliansi itu akan putus dan Jokowi akan segera terpinggirkan.
Jika kepentingan keduanya tidak sejalan, maka saya meyakini iklim politiknya akan sama seperti yang terjadi di Filipina. Pada pemilu tahun 2022, kampanye Ferdinand "Bong-bong" Marcos Jr (kini Presiden Filipina) juga sangat bergantung pada Presiden petahana saat itu, yakni Presiden Rodrigo Duterte.
Presiden terpilih Marcos Jr saat itu mengambil Sara (puteri Presiden petahana Duterte) sebagai calon Wakil Presidennya. Sama seperti saat Prabowo berpasangan dengan Gibran---anaknya Presiden Jokowi saat ini.
Akan tetapi, dua tahun kemudian pasangan Marcos-Sara yang berkoalisi dalam pemilu, kini berselisih tajam dalam pemerintahan. Presiden petahana Duterte menyadari pengaruhnya sudah tidak optimal lagi menggerakan Presiden terpilih.
Semoga ini tidak dialami oleh Presiden Jokowi kelak!
---Bekasi, 24 Agustus 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H