Mohon tunggu...
Abdul Wahid Ola
Abdul Wahid Ola Mohon Tunggu... Politisi - Tenaga Ahli Anggota Komisi III DPR RI 2019-2024

Sedang Belajar Membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik

Siasat Prabowo Meninggalkan Jokowi

24 Agustus 2024   17:44 Diperbarui: 24 Agustus 2024   17:47 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kecenderungan Prabowo ingin bebas dari belenggu Jokowi tampak nyata. Sebab, pergerakan Partai Gelora sebagai inisiator gugatan ke MK patut dipertanyakan. Bagaimana bisa Gelora yang menjadi bagian dari koalisi besar Prabowo menjadi pemicu gelombang kemarahan rakyat pada Jokowi?

Ini seperti ungkapan Anas Urbaningrum saat ditetapkan sebagai tersangka: "Nabok Nyilih Tangan (memukul meminjam tangan),". Dalam bahasa Jawa, istilah ini untuk menggambarkan seseorang yang ingin memukul orang lain, namun tidak memakai tangannya sendiri, melainkan menggunakan tangan orang lain.

Jika benar dinamika politik terkini bersumber dari upaya Prabowo meninggalkan Jokowi secara perlahan, maka ketidakhadiran mayoritas anggota DPR RI dalam rapat RUU Pilkada lalu adalah indikasi awal yang serius.

Sebab, dalam dinamika politik yang lumrah terjadi dengan koalisi gemuk dalam pemerintahan, maupun saat Pilpres dilaksanakan, partai koalisi selalu mendukung setiap agenda Jokowi melalui stempel DPR. Misalnya saat pembahasan UU KPK, UU Cipta Kerja, UU IKN, dan berbagai paket UU yang dikebut DPR beberapa waktu lalu.

Indikasi ketidakhadiran mayoritas anggota DPR ini jadi sinyal buruk, sekaligus menjadi alarm berbahaya bagi Jokowi pasca turun tahta pada Oktober mendatang. Berbahaya karna Prabowo tidak lagi bergantung pada Jokowi, berbahaya sebab Jokowi tidak memiliki partai yang akan menjadi pembelanya saat dituntut rakyat.

Prabowo mungkin sedang berupaya membangun aliansi politik baru pasca Pilpres 2024, termasuk berupaya melepaskan bayang-bayang Jokowi terhadap dirinya.

Doug Ramage dari Bower-Group Asia mengatakan, bahwa keberpihakan Prabowo pada Jokowi sebenarnya lebih merupakan strategi elektoral---bukan strategi pemerintahan.

Seorang pengamat luar negeri---Liam Gammon, dari Australian National University (ANU) juga mengatakan, aliansi Prabowo dan Jokowi hanya bisa bertahan selama Prabowo menilai itu sesuai dengan kepentingannya. Kalau tidak, aliansi itu akan putus dan Jokowi akan segera terpinggirkan.

Jika kepentingan keduanya tidak sejalan, maka saya meyakini iklim politiknya akan sama seperti yang terjadi di Filipina. Pada pemilu tahun 2022, kampanye Ferdinand "Bong-bong" Marcos Jr (kini Presiden Filipina) juga sangat bergantung pada Presiden petahana saat itu, yakni Presiden Rodrigo Duterte.

Presiden terpilih Marcos Jr saat itu mengambil Sara (puteri Presiden petahana Duterte) sebagai calon Wakil Presidennya. Sama seperti saat Prabowo berpasangan dengan Gibran---anaknya Presiden Jokowi saat ini.

Akan tetapi, dua tahun kemudian pasangan Marcos-Sara yang berkoalisi dalam pemilu, kini berselisih tajam dalam pemerintahan. Presiden petahana Duterte menyadari pengaruhnya sudah tidak optimal lagi menggerakan Presiden terpilih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun