Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bisnis Law

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menggugah Perspektif, Menembus Polemik Definisi Pariwisata Halal Modern.

2 Februari 2025   09:18 Diperbarui: 2 Februari 2025   09:18 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Agung Baiturrahman Aceh, salah satu tujuan wisata halal (foto : Kompas.com) 

Pariwisata halal kerap kali menjadi perdebatan yang menyulitkan pandangan kita terhadap industri pariwisata. Di tengah arus globalisasi, istilah "wisata halal" sering disalahpahami sebagai upaya yang membatasi kreativitas dan keunikan suatu destinasi. 

Banyak pihak khawatir bahwa penerapan indikator kehalalan secara kaku dapat menjebak, menciptakan stigma, bahkan menyempitkan ruang inovasi. 

Wakil Menteri Agama, Zainut Tauhid, mengakui bahwa masih ada masyarakat yang keliru paham mengenai konsep ini. Ia menegaskan bahwa wisata syariah atau wisata halal bukanlah tentang islamisasi wisata, melainkan penyesuaian seluruh aspek dalam lingkungan pariwisata agar sesuai dengan nilai-nilai syariah.

 "Dalam syariat Islam, kita mengenal bahwa kebiasaan baik yang telah dijalankan oleh penduduk setempat tetap dipelihara dan dipertahankan selama tidak bertentangan dengan maqashid syariah," ujar Zainut Tauhid pada Grand Launching Aplikasi dan Website Treetan.com di Birawa Room Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu (17/11/2021). 

Pernyataan ini hendaknya menjadi pijakan untuk meluruskan pemahaman bahwa penerapan nilai syariah dalam pariwisata tidak harus mengikis kearifan lokal, melainkan dapat menjadi upaya mempertahankannya dalam kerangka etika yang inklusif.

Perbandingan Konsep Modern Pariwisata

Arab Saudi

Arab Saudi, yang selama ini identik dengan aturan sosial dan keagamaan yang ketat, kini tengah bertransformasi besar dalam sektor pariwisata. Transformasi ini tidak lepas dari upaya diversifikasi ekonomi---dari negara "minyak" menuju era pariwisata minyak baru. Seperti yang dilaporkan oleh Kompas (2024) dan Liputan6, Arab Saudi telah menggunakan kekayaannya untuk mengembangkan infrastruktur pariwisata dan menawarkan berbagai inovasi, antara lain:

Kemudahan Visa dan Pelonggaran Aturan Sosial: Proses penerbitan visa dipermudah, sehingga wisatawan internasional dapat menikmati pesona budaya dan alam Arab Saudi dengan lebih leluasa.

Aturan Pakaian yang Tetap Ditegakkan: Meski modernisasi sudah berjalan, aturan berpakaian yang sopan dan sesuai syariat tetap dijadikan pedoman guna menjaga nilai keislaman dan identitas budaya.

Inovasi Hiburan dan Pembangunan Taman Hiburan: Pembukaan bioskop, konser musik, pembangunan tempat hiburan, serta taman hiburan modern merupakan bagian dari gebrakan radikal yang menunjukkan sisi progresif Arab Saudi.

Kebijakan Sewa Kamar Tanpa Surat Nikah: Kebijakan ini memodernisasi sektor perhotelan dengan memudahkan akses bagi wisatawan asing, tanpa harus terikat oleh aturan tradisional yang kaku.

Pendekatan ini mencerminkan upaya Arab Saudi untuk menyeimbangkan modernisasi dengan pelestarian nilai keislaman, sehingga sektor pariwisatanya tetap autentik namun inovatif.

Malaysia

Di sisi lain, Malaysia menerapkan sistem hukum ganda yang memisahkan regulasi antara non-Muslim dan umat Muslim. Pendekatan ini terlihat jelas di berbagai destinasi wisatanya, dengan ciri khas sebagai berikut:

Fasilitas Hiburan untuk Non-Muslim: Di destinasi seperti Genting Highlands, non-Muslim dapat menikmati fasilitas hiburan modern seperti kasino dan hiburan malam, mencerminkan kebebasan berkreasi di sektor pariwisata.

Perlindungan untuk Umat Muslim, Di lingkungan yang diperuntukkan bagi umat Muslim, penerapan hukum syariah dijalankan secara ketat guna memastikan bahwa aktivitas yang bertentangan dengan nilai keagamaan tidak terjadi.

Ruang bagi Keberagaman: Sistem hukum ganda memberikan fleksibilitas, sehingga setiap segmen masyarakat dapat menikmati fasilitas yang sesuai dengan norma dan nilai masing-masing tanpa terjadi konflik.

Pendekatan Malaysia menunjukkan model pariwisata yang inklusif, di mana keberagaman dihargai dan perlindungan terhadap nilai-nilai keagamaan tetap terjaga.

Indonesia, Negara Pluralisme dengan Semangat Bhineka Tunggal Ika

Indonesia, sebagai negara yang kaya akan keberagaman budaya, agama, dan etnis, memiliki tantangan tersendiri dalam mengembangkan pariwisata. Semangat "Bhineka Tunggal Ika" harus dijadikan landasan dalam merumuskan kebijakan pariwisata agar kearifan lokal tidak tergerus oleh label-label sempit.

Misalnya, di Provinsi Aceh terdapat upaya integrasi nilai syariah dalam regulasi daerah sebagai bagian dari identitas lokal yang kuat. Sementara di Nusa Tenggara Timur (NTT), kebijakan daerah yang menghalalkan Miras merupakan respons terhadap konteks budaya dan kearifan lokal yang unik. 

Perbedaan ini menegaskan bahwa standar pariwisata halal tidak bisa dipaksakan secara universal di seluruh wilayah Indonesia. Pendekatan yang inklusif dan adaptif sangat diperlukan agar setiap daerah dapat mengembangkan potensi wisatanya tanpa terjebak dalam label yang menyempitkan.

Kesimpulan dan Saran

Secara keseluruhan, perdebatan tentang definisi pariwisata halal tidak seharusnya mengaburkan tujuan utama industri pariwisata: menciptakan pengalaman yang menyenangkan, aman, dan inklusif. Penerapan nilai syariah dalam pariwisata hendaknya dilihat sebagai upaya untuk menciptakan lingkungan wisata yang etis dan harmonis, tanpa harus mengikis kearifan lokal.

Pelajaran dari Arab Saudi dan Malaysia menunjukkan bahwa inovasi serta adaptasi kebijakan dapat berjalan seiring dengan pelestarian nilai budaya dan keagamaan. Indonesia harus memanfaatkan semangat pluralisme dan kearifan lokal untuk mengembangkan pariwisata yang inklusif, adaptif, dan berdaya saing di pasar global.

Hindari Label Kaku: Fokus pada penerapan nilai etika, keamanan, dan kenyamanan dalam pariwisata, daripada terjebak dalam label "halal" atau "haram."

Kembangkan Inovasi Berdasarkan Kearifan Lokal, Setiap daerah di Indonesia perlu mengembangkan konsep pariwisata yang sesuai dengan konteks budaya dan tradisi setempat.

Bangun Dialog Terbuka, Pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat harus membuka ruang dialog untuk menyempurnakan definisi serta implementasi pariwisata yang responsif terhadap keberagaman.

_________

Referensi

Kementerian Agama Republik Indonesia. (2021). Wamenag Sebut Wisata Halal Bukan Islamisasi Wisata. Diakses dari https://kemenag.go.id/nasional/wamenag-sebut-wisata-halal-bukan-islamisasi-wisata-76x9mp

Kompas. (2024, 1 Mei). Pariwisata Minyak Baru Arab Saudi. Diakses dari https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2024/05/01/pariwisata-minyak-baru-arab-saudi

Liputan6. (2020). 6 Kebijakan Radikal Pemerintah Arab Saudi Demi Gaet Turis Asing. Diakses dari https://www.liputan6.com/lifestyle/read/4087688/6-kebijakan-radikal-pemerintah-arab-saudi-demi-gaet-turis-asing

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun