Perbedaan ini menegaskan bahwa standar pariwisata halal tidak bisa dipaksakan secara universal di seluruh wilayah Indonesia. Pendekatan yang inklusif dan adaptif sangat diperlukan agar setiap daerah dapat mengembangkan potensi wisatanya tanpa terjebak dalam label yang menyempitkan.
Kesimpulan dan Saran
Secara keseluruhan, perdebatan tentang definisi pariwisata halal tidak seharusnya mengaburkan tujuan utama industri pariwisata: menciptakan pengalaman yang menyenangkan, aman, dan inklusif. Penerapan nilai syariah dalam pariwisata hendaknya dilihat sebagai upaya untuk menciptakan lingkungan wisata yang etis dan harmonis, tanpa harus mengikis kearifan lokal.
Pelajaran dari Arab Saudi dan Malaysia menunjukkan bahwa inovasi serta adaptasi kebijakan dapat berjalan seiring dengan pelestarian nilai budaya dan keagamaan. Indonesia harus memanfaatkan semangat pluralisme dan kearifan lokal untuk mengembangkan pariwisata yang inklusif, adaptif, dan berdaya saing di pasar global.
Hindari Label Kaku: Fokus pada penerapan nilai etika, keamanan, dan kenyamanan dalam pariwisata, daripada terjebak dalam label "halal" atau "haram."
Kembangkan Inovasi Berdasarkan Kearifan Lokal, Setiap daerah di Indonesia perlu mengembangkan konsep pariwisata yang sesuai dengan konteks budaya dan tradisi setempat.
Bangun Dialog Terbuka, Pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat harus membuka ruang dialog untuk menyempurnakan definisi serta implementasi pariwisata yang responsif terhadap keberagaman.
_________
Referensi
Kementerian Agama Republik Indonesia. (2021). Wamenag Sebut Wisata Halal Bukan Islamisasi Wisata. Diakses dari https://kemenag.go.id/nasional/wamenag-sebut-wisata-halal-bukan-islamisasi-wisata-76x9mp
Kompas. (2024, 1 Mei). Pariwisata Minyak Baru Arab Saudi. Diakses dari https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2024/05/01/pariwisata-minyak-baru-arab-saudi